Gorontalo, mimoza.tv – Semua pihak prihatin dengan aksi pembunuhan dengan korban setidaknya 20 orang di Nduga, Papua pada Sabtu (1/12) lalu. Apalagi korbannya adalah masyarakat sipil. Namun, bagi pengacara senior HAM dari Papua, Gustav Kawer, perhatian harus diarahkan jauh ke belakang untuk menemukan jawaban dari mana KKSB memperoleh senjata dan amunisi.
Gustav menceritakan, konflik bersenjata sempat terjadi pada Juni lalu sebelum Pilkada di Nduga. “Pertanyaannya, mengapa ini terjadi lagi, padahal aparat saat itu ada banyak di Nduga. Kesimpulannya terlalu cepat. Begitu kasus terjadi, belum ada investigasi, kemudian media di Indonesia mempublikasikan bahwa yang terlibat adalah OPM. Padahal kita belum punya data cukup. Saya bersama teman-teman saat ini sedang menangani beberapa kasus amunisi. Ada di Wamena, Timika dan Jayapura,” kata Gustav Kawer kepada VOA.
Perdagangan Gelap Amunisi
Gustav Kawer saat ini menjadi pengacara masyarakat sipil, yang tertangkap membeli amunisi dari aparat. Dia meminta persoalan ini diinvestigasi menyeluruh, karena mungkin akar masalah ada disana. Ada dugaan, keterlibatan oknum aparat di dalamnya. Gustav menilai belum tentu aksi itu dilakukan oleh OPM. Di tengah perdagangan gelap, bisa jadi muncul kelompok-kelompok tertentu yang tujuannya hanya ingin mengacau Papua.
“Jadi, yang kasus amunisi ini, mereka bilang ini berhubungan dengan mereka yang berjuang di hutan. Cuma dalam proses di polisi, jaksa sampai pengadilan, kita nilai ada yang tidak dibongkar. Siapa yang memasok itu? Ada yang katakan dari polisi, ada yang dipasok dari militer. Ada satu kasus yang kita tangani di Jayapura, sudah ada vonisnya. Itu yang pasok kelompok ini dari Kodam. Itu tertangkap semua. Dari Kodam ada, dari kelompok ini ada. Tetapi dalam sidang tidak terungkap yang di Kodam Papua itu siapa dibalik dia, sehingga bisa terjual amunisi sekitar 500 lebih,” ujar Gustav.
Gustav mengingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan pendekatan militer di Nduga. Jika itu dilakukan, Indonesia mengulangi pelanggaran HAM yang berulang terjadi di Papua dan tanpa penyelesaian. Dialog adalah jalan keluar terbaik, jika benar pelaku aksi keji itu adalah OPM.
Dalam kasus jual beli amunisi, Gustav menemukan fakta bahwa barang itu setidaknya akan digunakan di Lanny Jaya, Timika dan Puncak Jaya. Bukan tidak mungkin, melihat geografinya, insiden Nduga memiliki keterkaitan dengan jalur perdagangan gelap tersebut.
Menurut Gustav, di Papua kini ada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Mereka memperjuangkan kemerdekaan melalui cara-cara damai. Sedangkan OPM merupakan kelompok bersenjata yang memilih berperang di hutan-hutan.
Selama melakukan pendampingan kasus perdagangan amunisi, Gustav menjadi yakin bahwa kelompok OPM memperoleh senjata dari dalam negeri. Untuk memutus rantai kekerasan, inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat. “Di jalan Trans Papua ini sudah berulangkali terjadi. Lalu aparat bilang akan mengejar pelakunya, namun tidak dapat. Tanggal 17 Agustus selalu kita dengar OPM menyerahkan senjata. Kita pikir sudah selesai, ternyata ada lagi peristiwa. Jadi, penembakan ini siapa sebenarnya pelakunya. Kita harus investigasi yang detil dan buat pernyataan yang sebenarnya,” tambah Gustav.
Polisi pernah memecat dan menyeret ke pengadilan anggota Polsek Nduga karena menjual 17 butir amunisi dan 2 magasin pada 2014. Awal 2015, aparat gabungan menangkap 5 personel TNI yang menjual amunisi ke OPM. Dalam persidangan mereka dipecat dan dihukum bervariasi mulai, 3 tahun, 5 tahun, 8 tahun, 10 tahun dan 12 tahun. Awal 2016, anggota Polres Jayawijaya juga ditangkap karena menjual 20 butir peluru kepada KKSB. Beberapa hari sebelumnya, Polres Jayapura menggeledah sebuah rumah dan menemukan 241 butir amunisi, dua pucuk senjata api, dan empat bom pipa. Pada 2017, TNI menerima penyerahan enam pucuk senjata api terdiri dari SS1, Revolver pabrikan, Jungle, dua senjata api rakitan Engkel Loop, dan Revolver rakitan. Ada pula dua magasin dan 120 butir amunisi 5,56 mm, 7,62 mm dan 9 mm.
Agustus 2018, seorang warga negara Polandia ditangkap karena menjual 104 butir amunisi kaliber 5,56 mm dan 35 butir amunisi kaliber 9 mm kepada OPM. Sebulan kemudian, seorang pemuda ditangkap di Bandara Timika karena membawa 153 amunisi dan uang Rp110 juta. Dalam tindak lanjut, aparat menggeledah sebuah rumah di Mimika dan menemukan amunisi kaliber 5,56 berjumlah 104 butir, amunisi revolver 11 butir, 1 butir amunisi 7,62, bom molotov 7 botol, dan selembar bendera bintang kejora.
Dalam keterangan kepada media di Jakarta, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Kolonel Infantri Muhammad Aidi menyatakan, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) di Nduga, memiliki senjata ilegal berstandar militer. Sebagian senjata kelompok Egianus Kogoya ini bahkan memenuhi standar organisasi The North Atlantic Treaty Organization (NATO). Dikatakannya, senjata standar militer itu diperoleh dengan merampas milik anggota TNI-Polri dan pasokan luar negeri secara ilegal.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga meyakini, senjata KKSB diperoleh dari luar negeri, khususnya Papua Nugini, tetapi tidak melibatkan pemerintah tetangga itu. Ada juga yang diperoleh dari perampasan aparat dan sisa konflik Ambon. “Dulu banyak senjata beredar di situ. Gudang Brimob saja dijebol,” kata Tito kepada sejumlah media di Jakarta.
Pembangunan Tanpa Operasi Militer
Presiden Joko Widodo diYogyakarta hari Kamis (6/12) menyatakan serangan terhadap para pekerja PT Istaka Karya dalam pembangunan jembatan di Nduga, tak akan menghentikan prosespembangunan di Papua. “Kemarin kita tahu ada masalah di lapangan, yaitupembangunan jembatan diserang oleh kelompok kriminal bersenjata, yang sampaitadi malam informasi yang saya terima yang gugur ada 20 orang. Inalillahiwainailaihi rojiun, tapi itu tidak menyurutkan kita membangun Papua,” kataJokowi.
Tokoh pemuda Nduga, Otis Tabuni juga mengingatkan bahwa pemerintah, khususnya presiden dan menteri pertahanan harus melihat sejarah sebelum bertindak. Operasi militer di Papua sudah dilakukan berkali-kali namun tidak menghentikan gerakan bersenjata. “Operasi semacam ini sudah 12 kali dilakukan dalam catatan saya. Seharusnya ini menjadi acuan mereka kalau ingin melakukan itu lagi. Kenapa gerakan ini terus lahir dan tumbuh sumbur? Karena itu negara harus memikirkan pendekatan lain,” kata Otis Tabuni.
Otis menilai dialog yang selama ini dilakukan tidak ideal karena hanya melibatkan pusat dan daerah. Dia merekomendasikan ada pihak ketiga yang netral dan keikutsertaan sayap politik seperti ULMWP. Jika organisasi politik terlibat dalam dialog, kemudian meminta aksi kekerasan bersenjata dihentikan, Otis yakin OPM akan mengikuti keputusan itu.
“Perlu komisi kebernaran dan rekonsiliasi seperti di Afrika. Supaya pelurusan sejarah sesuai dengan apa yang menjadi roh lahirnya UU Otonomi Khusus. Selama ini negara hanya bangga dengan gelontoran dana triliunan tetapi aksi semacam ini ada terus. Maka para pihak seperti OPM, kemudian para diplomat di luar negeri, seperti ULMWP, kemudian tokoh gereja, tokoh agama, pemangku kepentingan di Papua maupun pusat harus berdialog. Apa yang harus dilakukan untuk Papua,” ujar Otis.
Dia menambahkan, kelompok-kelompok yang kini muncul di daerah asalnya itu, didominiasi anak muda dan terdidik. “Mereka sudah mengerti bagaimana perjuangan Che Ghuevara, misalnya. Mereka mempelajari gerakan Fretilin di Timor Leste. Mereka pelajari metodenya, caranya. Kalau sudah angkat senjata, sangat susah untuk diatasi nanti,” pungkas Otis Tabuni. (ns/lt/luk)