Gorontalo, mimoza.tv – Adanya kasus pengaiayaan yang dilakukan oleh seorang murid kepada gurunya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Ichtus, Kelurahan Mapanget Barat, Kota Manado, pada hari Senin (21/10/2019), mengindikasikan betapa masih banyak kekerasan dalam dunia pendidikan.
Jika membaca sekilas judul tulisan diatas maka pembaca semua pasti sepakat untuk menghapuskan kekerasan dalam dunia pendidikan. Namun bagaimana bila kata kekerasan digantikan dengan kata ketegasan?? Karena secara harfiah arti kedua kata ini memang berbeda. Kekerasan lebih cenderung kepada tindakan yang bersifat menyakiti dan bertujuan menganiaya. Sedangkan ketegasan lebih bersifat kepada hukuman yang diambil sebagai akibat dari pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku dan bertujuan untuk mendidik secara moral dan perilaku. Hukuman sebenarnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan karena melanggar norma atau aturan yang berlaku. Dalam teori perilaku (behavior), hukuman merupakan penguat negatif yang bisa berupa pelemahan atau penekanan perilaku tertentu, atau penghilangan perilaku. Tentu perilaku yang ingin dilemahkan, ditekan atau dihilangkan adalah perilaku yang tidak sesuai aturan. Singkatnya, hukuman merupakan salah satu alat dalam mendidik.
Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan. Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir. Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut dapat diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya “Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah “The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence” (Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif). Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah: “Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya. Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu, tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa: “Tindakan tegas itu adalah hukuman”. Sudah barang tentu bahwa hukuman dalam Pendidikan Islam mengandung makna pembelajaran dan memiliki konsekuensi terhadap ketidakberdayan dalam melakukannya kembali perilaku atau perbuatan melanggar tersebut, sehingga dengan adanya ketegasan dalam arti sempit sebuah hukuman, maka Pendidikan Islam mengarahkan peserta didik pada proses pendewasaan diri terhadap prilaku menyimpang anak.
Perilaku santri dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Islam memang melalui fase yang panjang, mulai dari kondisi, faktor dan pemicu hingga pada masalah-masalah yang kompleks. Santri bertindak agresif dipengaruhi oleh berbagai penyebab, seperti keluarga, masyarakat dan media massa. Keluarga yang terbiasa mendidik anak secara otoriter dan kotor dalam bahasa kerap membawa anak terbiasa dengan kekerasan. Begitu juga dengan sikap masyarakat, yang menuntut keinginannnya disertai kekerasan menjadi pelajaran buruk bagi anak. Seperti unjuk rasa para buruh pabrik, mahasiswa atau massa pilkada yang melakukan pengerusakan. Anak akan menyimpulkan bahwa dengan kekerasan keinginan mereka terhadap sesuatu akan terpenuhi. Peran media massa dalam mendidik kekerasan tidak sedikit. Banyak gambar dan tayangan, baik berita terlebih hiburan menyuguhkan adegan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal (bahasa) seperti kata-kata kotor maupun tidak terpuji. Celakanya, berbagai kekerasan itu mempengaruhi keluarga dan lembaga pendidikan akibatnya kekerasan semakin meningkat, karena kekerasan selalu diatasi dengan kekerasan. Intinya setiap individu hadir ke dalam lembaga pendidikan sudah berbekal bakat untuk bertindak agresif.
Pembentukan karakter peserta didik dalam Pendidikan Islam perlu ditanamkan sejak dini agar keterlibatan peserta didik dalam perilaku menyimpang dapat diminimalisir dengan baik. Sehingga pada kenyataannya bahwa perilaku menyimpang anak adalah akibat dari pemerolehan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dapat dicarikan solusi terbaiknya. Meminimalisir perilaku menyimpang seorang peserta didik adalah bagian dari proses dewasanya institusi Pendidikan khususnya Islam. Kini sudah saatnya islam membenahi Pendidikan mereka dengan mencarikan solusi atas pelanggaran dan perilaku menyimpang siswa. Sebab pemberian hukuman dalam bingkai ketegasana hendaknya tidak dibenturkan dengan pelegalan terhadap perlakuan fisik atas pemberian hukuman pada siswa. Pemberian hukuman yang tidak mendidik, dan tidak memeiliki efek jera dalam Pendidikan Islam semestinya tidak berlaku lagi, hanya saja beberapa permasalah di lapangan didapat bahwa pemberian hukuman dengan konsep yang lama selalu saja statis dan tidak memiliki inovasi dan eksistensi, sehingga membenturkan hukuman dengan perlakuan fisik terhadap siswa atau peserta didik akan menjadi solusi sesaat yang justru dalam pandangan islam tidak dibenarkan secara syariat. Sebab pemberian hukuman dengan cara pembenturan fisik harus dengan koridor dan aturan yang dalam islam juga digariskan. Bukan dengan serta merta melakukan dan memberikan hukuman fisik semata.
Dalam memberikan hukuman yang terpenting adalah harus berprinsip pada pedoman misalnya di hukum karena telah bersalah dan di hukum agar tidak lagi berbuat kesalahan. Dalam sudut pandang pendidikan, dengan adanya hukuman dapat menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar. Menurut kartono “memberikan hukuman kepada siswa harus mengandung nilai-nilai pedagogis”. Pertama, hukuman harus menumbuhkan sikap tanggung jawab dan mandiri. Kedua, hukuman harus memperkenalkan kebaikan. Ketiga, hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam. Keempat, hukuman harus diberikan dengan sadar dan tidak dalam keadaan marah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa dan guru perlu membangun komunikasi dengan baik yang saling toleransi dan berempati satu sama lain.
Dalam Islam sendiri Rosullullah SAW telah memberikan teladan yaitu dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)”
Diperbolehkan memberikan hukuman kepada anak apabila melanggar syariat atau aturan dan norma dalam rangka memberikan pemahaman. Namun tentu tidak dengan mentah kita telan hadits ini. Ada kadar atau hisab yang diperhitungkan dalam memberikan hukuman.
Diberbagai lembaga Pendidikan, hendaknya pemberian hukuman pada pelanggaran atau perilaku menyimpang siswa hendaknya memperhatikan nilai dan norma yang berlaku. Selain tentunya islam melarang pemberian hukuman yang bersifat pembebanan dan pembenturan fisik, islam juga menganjurkan berlaku lemah lembut dalam setiap masalah atau pemberian hukuman terhadap siswa. Pondok Pesantren adalah lembaga Pendidikan yang setiap guru dan atau ustadz/ustadzah yang dalam istilah lain disebut pendidik hendaknya sudah dibekali pedoman SOP dan tatacara dalam pemberian hukuman / iqob terhadap santri yang melanggar aturan. Hukuman – hukuman seperti menulis dan menyalin ayat-ayat Al Quran, berjemur di lapangan push-up atau membersihkan sampah menjadi bagian dari bentuk hukuman yang diperbolehkan. Adapun hukuman fisik lainnya sebatas dalam kewajaran juga diberlakukan. Dan tidak dibenarkan pemberian hukuman dilakukan oleh santri kepada santri lain, peserta didik terhadap peserta didik lain. Menghukum santri,dalam hal ini misal senior memberikan hukuman pada junior. Keterlibatan organisasi santri pada lembaga atau institusi pendidikan hanya sebatas membantu dalam pengawasan dan pencatatan terhadap santri dengan perintah dan sepengetahuan guru pengawas. Termasuk dalam hal pemberian hukuman mutlak menjadi otoritas guru atau ustadz/ustadzah.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
والتي تخا فو ن نشو ز هن فعضو هن و ا هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن ج قا ت ا طعتكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternatif hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan. Secara tersirat dapat kita klasifikasikan bahwa tahapan dalam pemberian hukuman yang dibenarkan secara syariat adalah:
- Menasehati dengan cara dan waktu yang tepat
- Menegur kembali jika kesalahan tetap dilakukan meski sudah dinasehati
- Diabaikan yang dalam dunia Pendidikan dikenal “diisolasi” atau diskor
- Pemberian hukuman fisik dengan aturan dan batas kewajaran yang sesuai
Demikian pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman dengan fisik yang dibenarkan dan dengan Batasan yang ditawarkan oleh syariat islam.
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa harus terbangun kesepahaman antara orang tua dengan lembaga pendidikan yang mana telah dipercayakan untuk mendididk anak-anak hingga menjadi pribadi yang berakhlaqul karimah,berilmu dan beramal baik. Orang tua boleh memberikan kritik dan masukan yang bersifat membangun namun tidak melebihi batas domain dalam integritas lembaga pendidikan yang tentunya tidak begitu saja muncul dan telah diakui kredibilitas nya. Saling percaya adalah kunci yang utama. Karena kita semua sepakat apapun bentuk nya kekerasan di dunia pendidikan tidak dibenarkan. Ini adalah mata rantai yang harus di hapus,dan bagi pelakunya harus di berikan bimbingan bahkan hingga ke sanksi hukum.
Solusi Konkrit
Salah satu solusi konkrit yang selama ini telah diterapkan diberbagai lembaga Pendidikan adalah dengan menggunakan metode pengenalan karakter dan bakat santri melalui sidik jari (fingerprint). Dari rekam sidik jari ini akan diketahui setidaknya hingga 90% keakuratan karakter tiap-tiap individu,bagimana solusi menanganinya hingga apa dan bagaimana keunggulan yang dapat di eksploitasi hingga terbentuk individu yang berkualitas sesuai dengan bakat masing-masing. Dengan pedoman ini setiap guru dan atau ustadz/ustadzah memiliki gambaran penanganan perilaku dalam berinteraksi dengan santri. Dan pedoman dalam membimbing dan mengarahkan santri sangat mebantu dalam pembentukan karakter siswa. Metode ini sudah diterapkan di Pondok Pesantren Darul Huffaz yang mana pada semester ini akan digelar pada tanggal 05 Oktober 2019 yang akan dipandu oleh Kepala Guru BK Ibu Ferawati S.Pd.I dan semoga kedepan nya semakin maksimal dalam mengaplikasikan hasil dari uji metode tersebut. Dan tentunya hal ini tidak terlepas dari peran dan tanggungjawab kita bersama.
Dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya. Dan gambaran dari metode yang selama ini dilakukan Pondok Pesantren Darul Huffaz adalah salah satu dari banyaknya aspek yang menjadi solusi dalam mengurai keterlibatan siswa dalam perilaku menyimpang yang pada dasarnya pemerolehan prilaku menyimpang tersebut dominan didapat oleh peserta didik dari lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman fisik harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki. Namun secara umum, sanksi mendidik adalah sanksi yang mengarah pada pembenahan mental dan karakter peserta didik menuju karakter Qur’ani.
Cand. Dr. Subhan, M, Pd. Wakil Direktur Bidang Madrasah Pondok Pesantren Darul Huffaz