Gorontalo, mimoza.tv – Meski belum ada pengumuman resmi dari KPU, namun hampiar dipastikan, paslon nomor urut 01 Joko Widodo –Ma’ruf Amin yang meraih perolehan suara sementara 55,79 persen, atau 91.181 suara, jadi pemenang atas paslon nomor urut 02 prabowo Subianto – Sandiaga Uno, yang meraih perolehaan sementara 44,21 persen, atau 72, 265 suara. Masyarakat di berbagai penjuru tahan air kini bahkan telah memiliki gambaran tentang siapa yang akan memimpin mereka lima tahun kedepan.
Meski belum ada pengumuman resmi dari KPU, namun hasil hitung cepat berbagai lembaga survei sudah bisa memberi gambaran tentang hasil tersebut. Sekarang, ketika masyarakat telah selesai memilih pemimpin, serta gambaran pemimpin terpilih sudah ada, yang menjadi tugas kita bersama kemudian adalah melakukan rekonsiliasi kebangsaan.
Rekonsiliasi kebangsaan usai Pilkada serentak 2018 menjadi sangat penting karena, kita tahu, Pemilu serentak yang baru saja kita laksanakan dengan pelbagai variabel politik elektoralnya, sehingga menciptakan persaingan politik yang kuat dan bisa memberi dampak yang meluas dalam kehidupan masyarakat.
Ketika Pemilu serentak usai dan pemimpin terpilih sudah ditetapkan, maka jelas akan ada pihak yang kecewa atas kekalahannya. Kekecewaan atas kekalahan pada dasarnya adalah hal yang wajar, namun akan menjadi persoalan ketika kekecewaan tersebut tidak dilebur, namun malah terus dikobarkan hingga menjadi sakit hati, kebencian, bahkan dendam terhadap lawan politik yang berlarut-larut. Sakit hati yang menjadi dendam dan kebencian akan menjadi kekuatan perusak yang bisa menulari siapa saja, bahkan masyarakat luas.
Seorang calon pemimpin yang tak terima dengan kekalahannya, memendam sakit hati, kebencian, dan bahkan dendam, bukan tidak mungkin akan terus merongrong lawan politik yang terpilih menjadi pemimpin.
Kebencian yang terus dipelihara bukan tak mungkin menggerakkan orang untuk balas dendam, sehingga terus-menerus melakukan hal-hal negatif yang mengganggu efektivitas jalannya program pemerintahan, hal yang akan kontraproduktif dan mengganggu pembangunan di masyarakat. Di samping itu, kebencian yang terus disimpan bisa menular ke kalangan pendukung, simpatisan, bahkan publik secara luas sehingga mengganggu keharmonisan dan kedamaian di tengah masyarakat.
Rekonsiliasi kebangsaan
Melihat betapa besar potensi kerusakan yang bisa diakibatkan dari kebencian dan dendam tersebut, maka jelas bahwa yang perlu dikedepankan usai gelaran pesta demokrasi ini adalah membangun rekonsiliasi kebangsaan. Rekonsiliasi kebangsaan usai Pilkada serentak 2018 akan menjadi momentum untuk memulihkan persaudaraan kebangsaan setelah sebelumnya terbagi-bagi dalam pelbagai kubu dan kepentingan politik.
Rekonsiliasi kebangsaan berarti adanya kebesaran hati, kesadaran untuk membuka ruang komunikasi dan diplomasi antar anak bangsa usai berkompetisi, dengan dilandasi ikatan persaudaraan dan dorongan untuk sama-sama membangun bangsa menjadi lebih baik. Dalam konteks Pilkada, rekonsiliasi kebangsaan bisa dimaknai sebagai adanya upaya dari masing-masing calon kepala daerah, baik yang terpilih maupun yang tidak, untuk saling merangkul, kembali memulihkan dan menguatkan persaudaraan, serta mengesampingkan persaingan politik yang ada sebelumnya.
Rekonsiliasi kebangsaan harus tumbuh dari kesadaran masing-masing pihak atau lebih, yang sebelumnya bersaing. Rekonsiliasi akan sulit dibangun jika ada pihak-pihak yang masih enggan untuk bersatu. Dalam arti, kesadaran untuk memulihkan persaudaraan dan menciptakan perdamaian harus dilakukan oleh dua belah pihak, baik yang menang maupun yang kalah.
Bagi yang terpilih atau menang, semangat rekonsiliasi kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk “merangkul” yang kalah atau yang sebelumnya menjadi lawan politiknya. “Merangkul” di sini tak sekadar merangkul dalam arti bersalaman atau berpelukan semata. Lebih jauh, merangkul artinya adanya niat baik untuk kembali mengajak pihak yang kalah, dan semua pendukungnya, untuk bersama-sama membangun daerah atau bangsanya.
Hal tersebut bisa dilakukan, misalnya, dalam bentuk kebesaran hati untuk turut mendengarkan dan mengakomodir pelbagai ide, gagasan, atau visi-misi dari calon yang lain, yang dinilai positif untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat luas. Keterbukaan atas perbagai masukan, kritik, dan saran dari calon lain yang tidak terpilih menjadi ukuran sejauh mana seorang pemimpin memiliki semangat rekonsiliasi kebangsaan. Hal ini didasari kesadaran bahwa tidak ada program yang benar-benar sempurna, sehingga diperlukan adanya kerjasama, kolaborasi, dan kemauan untuk mendengar pendapat-pendapat lain.
Sedangkan bagi yang belum terpilih, semangat rekonsiliasi kebangsaan bisa diwujudkan dengan, pertama-tama kebesaran hati menerima kekalahan. Kemudian, adanya keterbukaan untuk membantu dan mendukung calon terpilih. Tidak ada yang salah jika memilih konsisten menjadi oposisi, justru itu menjadi penyeimbang yang dibutuhkan untuk mengontrol jalannya sebuah pemerintahan.
Menjadi oposisi pun harus tetap beradab, mengkritik dengan cara-cara yang etis, benar-benar didasari niat baik untuk mengawal program pemerintahan demi kepentingan masyarakat luas, bukan atas dasar kebencian dan balas dendam.
Jika yang terpilih mau merangkul dan mendengarkan pendapat atau program calon yang lain, kemudian calon yang tidak terpilih terbuka untuk membantu dan mendukung calon terpilih, akan terjadi suasana yang harmonis, rukun, dan damai. Imbasnya, suasana kerukunan tersebut akan menular sehingga menciptakan keharmonisan dan kedamaian di kalangan masyarakat luas.(luk)