Oleh : Funco Tanipu
Pemilihan Kepala Daerah se Gorontalo tahun 2024 kurang lebih 1.5 tahun lagi akan dimulai tahapannya. Bagi sebagian kalangan, itu pasti jauh. Ada yang bilang “ah masih mo tunggu hasil Pemilu dulu”, dan bahkan ada yang bilang “mana-mana jo”.
Tapi, pernyataan-pernyataan diatas bisa dijawab secara sederhana ; (1). Tak ada elektabilitas yang akan turun dari langit. Harus dikerjakan dan dicicil sejak saat ini. (2). Angka aman elektabilitas itu harus berada di minimal 30 % dari total jumlah kandidat, baik pada simulasi 10 nama, 8 nama, 5 nama dalam survey. Kalau tinggal 2 nama dalam survey, atau head to head, proporsi persen kandidat harus diatas lawan dan persentase yang menjawab belum tahu/tidak jawab. (3). Bagi yang tidak memiliki modal finansial kuat, harus memperkuat modal sosial, dan itu tidak bisa sekejap dan tiba-tiba setelah ditetapkan menjadi calon. (4). Situasi sosial-ekonomi termasuk kondisi infrastruktur yang menyebabkan banyak warga merasa kurang senang dengan pemerintah yang ada.
Bagi sebagian kalangan yang menunggu hasil pemilu baru akan “bergerak”, pasti mengabaikan fakta bahwa partai pasti akan memilih calon yang elektabilitas bagus, komunikasi politik lancar, apalagi modal sosial dan finansial kuat. Bagi yang ingin maju tapi memiliki kendala pada ketiga faktor itu, tentu mau tidak mau harus bergerak sejak dini. Dalam politik, semua bisa diupayakan, bisa dikomunikasikan, “asal bacirita bagus”.
Di Gorontalo, hanya satu incumbent yang memungkinkan maju (jika syarat administrasi pencalonan terpenuhi), yakni Syaiful Mbuinga di Pohuwato. Sisanya seperti di Kota Gorontalo, Boalemo, Gorontalo Utara, Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo, semuanya “tarung bebas”. Termasuk untuk Pemilihan Gubernur nanti.
Dari daerah non incumbent, misalnya di Kota Gorontalo sebut saja ada Adhan Dambea, Erwinsyah Ismail, Ryan F Kono , Risman Taha, Budi Doku, Ramli Anwar, Ismail Madjid dan banyak nama lainnya yg disebut-sebut berkeinginan maju di Pilwako nanti.
Di Gorut, walau akan habis periode pada Desember tahun ini, hingga “kosong” satu tahun, Thariq Modanggu dipastikan akan berupaya maju lagi, ada juga Roni Imran, Thomas Mopili, Hamzah Sidik Djibran, Ridwan Yasin, serta beberapa nama populer lainnya.
Di Bone Bolango, Hamim Pou memilih maju ke Pilgub, kemungkinan akan mendorong Wakil Bupati Merlan Uloli atau bahkan istrinya sendiri Lolly Pou Yunus untuk maju, ada pula Ishak Ntoma, Amran Mustapa, Kris Wartabone, juga calon lain dari lintas partai dan profesi.
Di Boalemo, Anas Jusuf, DeHam, Rum Pagau, Lahmuddin Hambali, Hardi Mopangga, Sherman Moridu dan banyak nama lain akan ikut menjadi kontestan.
Di Kabupaten Gorontalo, kemungkinan Nelson Pomalingo yang akan maju di Pilgub akan mendorong istrinya Fory Nawai, ada juga Wakil Bupati Hendra Hemeto, Syam T. Ase, Rustam Akili, Roni Sampir, Rahmiyati Yahya dan beberapa nama lain.
Di Pohuwato sendiri, Saiful Mbuinga jika performance saat ini dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, maka kemungkinan besar tidak akan mendapatkan lawan tanding yang sepadan. Kemungkinan hanya akan memperebutkan posisi Wakil Bupati saja. Apakah itu Nasir Giasi, Iwan S Adam Mopio, atau Wakil Bupati incumbent Suharsi Igirisa serta nama-nama lain.
Yang unik dari beberapa daerah, ada nama-nama mantan Sekda serta Sekda yang sedang menjabat seperti mantan Sekda Gorut Ridwan Yasin, Sekda Boalemo Sherman Moridu, Sekda Bone Bolango Ishak Ntoma, Sekda Kab Gorontalo Roni Sampir, dan Sekda Kota Gorontalo Ismail Madjid. Artinya, jika nama-nama tersebut sudah “disebut-sebut” bahkan masuk kategori berpeluang dan potensial, maka bisa jadi kinerja, performance atau karena “bae dia”, menjadi faktor penting yang menentukan Sekda atau mantan Sekda telah diunggulkan dalam bursa Pilkada 2024.
Potensi Sekda atau mantan Sekda tersebut sangat dipengaruhi dan tak lepas oleh posisi strategisnya sebagai Ketua TAPD Pemda, sehingga bisa fleksibel dalam membangun performance selama atau sementara menjabat.
Pada Pilgub sendiri, ada calon seperti Hamim Pou, Nelson Pomalingo, Marten Taha, Dany Pomanto, Abdullah Gobel, Elnino Mohi, Tony Uloli, Idah Syaidah, Idris Rahim, Andika Monoarfa hingga nama-nama populer di level nasional seperti Rahmat Gobel dan Zainudin Amali.
Beberapa diatas, kemungkinan masih memilih maju di Pemilu 2024 dulu, lalu akan melihat situasi dan dinamika, apakah memungkinkan maju Pilkada atau tidak. Walaupun akan kerja dua kali, tapi ikut Pemilu penting untuk mengukur kemampuan.
Tetapi, dengan jarak waktu yang sangat dekat, antara hasil Pemilu, pendaftaran calon Pilkada dan pelantikan anggota DPRD, maka alternatif-alternatif harus difilter dan dipertimbangkan dengan baik. Kecuali, jika memiliki total jumlah energi sebesar 300 %. Namun, kalau energi terbatas, hanya modal “manuver”, maka sudah harus ada skala prioritas.
Sayangnya, dalam banyak hal di Gorontalo, keputusan-keputusan politik seringkali tidak didasari pada “evidence based practice”. EBP biasa digunakan dalam dunia keperawatan. Hal ini bisa juga diadaptasi dalam politik.
Dalam EBP, langkah-langkahnya adalah Ask, Acquire, Appraise, Apply, dan Audit. Pada setiap level, akan ada penjabaran detail, termasuk penggunaan metode PICOT yakni mtode pencarian informasi klinis hingga eksekusi keputusan klinis yang merupakan akronim dari 4 komponen, yaitu P (patient, population, problem), I (intervention, prognostic factor, exposure), C (comparison, control), dan O (outcome). Komponen diatas bisa dijadikan perbandingan untuk menyusun instrumen sederhana dalam membangun keputusan politik. Apalagi jika didasari pada data dukung yang berupa hasil survey periodik, data statistik daerah, profiling calon lain, pemetaan jaringan massa, hingga studi aktor lokal.
Namun, di lapangan, keputusan politik banyak didasari pada insting dan subyektifitas semata, apalagi “baku campur” dengan “koprol hingga salto” yang “so ba lebe”. Hingga keputusan-keputusan tersebut kebanyakan tidak diambil secara bertahap, dan malah nanti pada detik-detik terakhir pendaftaran pasangan calon.
Pengambilan keputusan “gegabah” seperti pada paragraf diatas seperti ini biasanya berasal dari circle, ring satu, tangan kanan, orang dekat, keluarga dan tim sukses. Selalu mengandalkan kata dan kalimat ; “dorang bilang”, “kuat da’a ti Pak”, “ti Pak botiye bolo modetu Jas”, atau yang agak sporadis “lantik jo”.
Nah, seringkali, banyak tokoh yang suka puja dan puji dari circle seperti diatas dibandingkan melakukan metode EBP yang menjadi bahan untuk terus reflektif dan bahkan bisa melakukan otokritik terhadap dirinya. Sehingga, banyak tokoh potensial yang “terkapar” serta “berbujur kaku” saat Pilkada karena “talinga tipis”. Parahnya, lebih suka “sorga talinga” saja dibandingkan melakukan refleksi serta otokritik. Jadi, dalam Pilkada, banyak yang kalah bukan karena dikalahkan oleh “suara” lawan, tapi dikalahkan oleh “telinga sendiri”.
Padahal, momentum politik itu adalah momentum membuka diri, banyak mendengar, melakukan eksekusi yang tepat dengan jernih, agar hasil bisa dicicil setiap hari, bukan nanti menunggu tahapan dari KPU.
Jika dihitung dari Januari 2023, berarti tahapan Pilkada tinggal 400 – 500 hari lagi. Jumlah hari itu tak akan terasa berjalan cepat.
Banyak yang tak memperkirakan bahwa dibutuhkan modal yang cukup besar, termasuk dana milyaran rupiah siap dipertaruhkan. Ini akan menjadi kompetisi politik paling melelahkan dan mendebarkan serta paling seru dalam sepanjang sejarah rekrutmen kepemimpinan Gorontalo.
Nama-nama diatas, baik yang telah disebut maupun belum, adalah kombinasi tokoh yang mengagumkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Sejak sekarang, kita sebagai rakyat Gorontalo adalah pihak yang menjadi subyek sekaligus obyek pada proses politik dalam beberapa waktu kedepan. Kita akan menyeleksi, menelisik, meneliti hingga menetapkan pilihan untuk masa depan Gorontalo bersama.
Kita bukan sedang memilih kucing dalam karung, kita sedang berada pada salah satu ujung sejarah Gorontalo, dimana kombinasi nama diatas adalah orang yang akan kita pilih dan ini akan menjadi fakta sejarah kepemimpinan Gorontalo.
Nantinya, kita tidak sedang memilih penguasa, tetapi pemimpin. Sekarang adalah etape paling penting dalam sejarah Gorontalo karena Kepala dan Wakil Kepala Daerah adalah jabatan paling strategis dalam kelembagaan politik Gorontalo. Maka, siapapun dia, mesti kita periksa dan “telanjangi” dalam track record, kapasitas dan integritas.
Keuntungan dalam etape kali ini, kita disodori oleh nama-nama yang telah memiliki pengalaman panjang dalam bermasyarakat maupun pemerintahan. Namun, pengalaman itu bukanlah kitab suci yang tidak bisa diperiksa dan ditelisik secara mendalam. Kelas menengah Gorontalo mesti turun tangan dan bergandengan tangan untuk menyeleksi secara kuantitatif dan kualitatif agar nantinya bisa membantu mencerahkan masyarakat awam untuk bisa lebih mendalami pilihannya, bukan sekedar karena lembaran rupiah.
Dalam konstestasi nanti, kita tidak mau mereka dipilih dan terpilih secara sembarangan, kita mau proses seleksi yang lebih ketat. Kita harus mengupas memori dan ingatan kolektif rakyat untuk tidak melupakan pun seinci track record masing-masing.
Walapun dari semua calon tidak ada yang sempurna, tetapi kita yakin ada yang terbaik diantara mereka. Walaupun kita juga belum tentu dan yakin bahwa pilihan saat ini dan kedepan pasti benar sesuai keyakinan agama, politik, dan sosial-ekonomi tapi minimal alasan kita memilih bukan karena diberikan “ini” dan mendapat “itu”, tapi karena benar-benar ikhtiar untuk memperbaiki Gorontalo hari ini dan masa depan.
Sampai sejauh ini, memang masih belum terlihat diantara semua nama yang menyodorkan gagasan yang bersifat komprehensif untuk Gorontalo masa depan. Sejauh ini pula, kita masih “wait and see”. Situasi ketidakpastian masih sangat tinggi, dinamika masih akan tinggi pula.
Maka, kedepan semua tokoh harus berkeringat dan bekerja keras untuk memperlihatkan syarat mutlak kenapa mereka hadir sebagai Calon Kepala dan Calon Wakil Daerah. Syarat mutlak adalah tingkat pengenalan publik pada mereka, tetapi popularitas tidak cukup, mesti diikuti integritas, kapasitas dan moral yang tinggi. Pada tingkat itu, perang gagasan dan ide untuk Gorontalo menjadi penentu dalam beberapa waktu kedepan.
Momentum ini adalah rangkaian “ujian” kepemimpinan untuk Gorontalo baik untuk seluruh kandidat maupun untuk seluruh rakyat.
Etape ini adalah rangkaian “ujian” ketulusan bukan kepura-puraan, ini adalah waktu untuk keluhuran bukan keserakahan, etape ini adalah ujian kesabaran dalam memilih pemimpin masa depan.
Jika gagal melewati ujian sejarah ini, maka jangan bermimpi untuk meraih masa depan Gorontalo yang penuh kebaikan dan keberkahan.
Semoga dalam proses yang akan panjang ini, kita semua beroleh pertolonganNya dalam menjalani ujian sejarah ini.