Oleh : Funco Tanipu (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Saat ini semua daerah di Gorontalo sedang berpesta politik, namun di media sosial mulai ada kecenderungan saling menghajar, menebar kebencian, merusak silaturrahmi.
Pertanyannya, apakah kebencian itu akan diwariskan ke anak-anak kita nanti? Apakah semua yang melakukan ini siap jika anaknya juga penuh kebencian? Saya kita tidak. Dalam hati masing-masing setiap orang tidak ingin anaknya seperti orang tuanya, sebejat apapun dia.
Pilkada adalah perhelatan per lima tahun, tidak setiap hari kita akan melakukan ini. Apalagi sudah serentak. Setelah ini berakhir, semua akan kembali pada profesi masing-masing. Namun, apakah dengan silaturrahmi dan keakraban yang hilang atau seperti apa, entahlah.
Pilkada bukan akhir segalanya. Ia hanya bagian dari proses politik panjang untuk peradaban. Bangunan struktur politik yang solid tidak ditentukan oleh sehari dua pilkada, ia ditentukan oleh seberapa lama warga bisa berpartisipasi setiap hari.
Partisipasi dimulai dari perencanaan pembangunan, proses, hingga evaluasi. Setiap warga wajib ikut dalam semua itu. Jika tidak, hasil pilkada akan di take over oleh beberapa orang demi akumulasi resources untuknya dan kelompoknya.
Cara berpolitik kita tergolong purba. Saking purbanya, dalam pilkada kita bukan mencari kebenaran, tapi mencari kesalahan. Padahal tidak semua sempurna, baik itu petahana maupun penantang baru.
Gorontalo beberapa ratus tahun lalu telah mempraktikkan model politik yang sederhana namun memiliki bobot luhur. Proses seleksi kepemimpinan di Gorontalo lampau lebih mengedepankan akal dan nurani sehat. Bukan sebaliknya. Pertanyaannya, apakah kita membiarkan sesuatu yang tidak sehat menggegoroti tubuh politik Gorontalo?
Kini, banyak calon kepala daerah yang siap-siap dengan segala potensinya. Tahapan kompetisi jangan dirusak dengan kebencian, sebab akan sulit memulihkan pasca itu. Tahapan konsolidasi pasca pilkada akan sulit jika kompetisi kita terlalu buas.
Sudah saatnya mengakhiri praktik politik yang merusak tatanan peradaban Gorontalo. Gorontalo terlalu banyak daftar masalahnya dibanding daftar solusinya. Praktik tata kelola pemerintahan saja kita sudah kelabakan, apalagi jika ditambah dengan pertikaian yang merusak.
Di tahun 2030 kita akan memasuki tahapan bonus demografi. Bonus itu tak akan kita nikmati jika kita mewariskan anak-anak hari ini dengan kebencian. Usia produktif secara usia bisa saja banyak, tapi secara mental sangat tidak produktif.
Bagi yang ingin masa depan Gorontalo akan lebih baik, lawan cara berpolitik yang menebar kebencian.