Gorontalo, mimoza.tv – Menyikapi permasalahan tambang secara umum yang ada di wilayah Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, Forum Penambang Rakyat Bone Bolango (FPRB) meminta pemereintah maupun pihak yang berkompeten untuk tidak tinggal diam.
Supriadi Alaina, selaku Ketua Pembina FPRB dalam keterangan persnya meminta Penjabat Gubernur Gorontalo dan intansi terkait jangan diam, dan meminta agar segera mengeluarkan apa yang sudah menjadi hak rakyat, yakni izin wilayah pertambangaan rakyat dan izin pertambangan rakyat yang sudah ditempati oleh rakyat lebih dari 15 tahun atau sejak 1991 sampai dengan saat ini.
“Kami dalam waktu dekat akan segera mengajukann gugatan untuk pembatalan izin wilayah pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus PT Gorontalo Minerals melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Atau Pengadilan Negeri. Bahwa sebelumnya perlu diketahui dan sudah menjadi rahasia umum rakyat bone bolango telah melakukan aktifitas pertambangan rakyat sejak tahun 1991 sampai dengan saat ini,” ucap Taufik kepada awak media, Jumat (18/11/2022).
Sejak dimulainya pengelolaan itu kata dia, masyarakat sudah berupaya baik kepada pemerintah kabupaten maupun provinsi. Sehingganya pada tahun 2008 itu Gubernur Fadel Mohammad mengusulkan alih fungsi hutan, lantaran disitu termasuk kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang nota bene ada masyarakatnya, sehingga ada hak-hak masyarakat disitu.
Lebih lanjut lagi dirinya menjelaskan, hak-hak yang dimaksud itu adalah; untuk masyarakat dan pemerintah masing-masing sebanyak 30 persen, dan sisanya 40 persen untuk kontrak karya, dari total keseluruhan wilayah yang mencapai luas 36 ribu hektare. Sehingganya pada tahun 2009 tim khusus dari PT. Gorontalo Minerals mempersentasikan hak-hak tersebut di DPRD Bone Bolango.
Namun dalam pemaparan itu kata dia, timbul pertanyaan dari salah satu anggota dewan yang menanyakan titik koordinat dari wilayah 30 persen itu. Apakah yang sudah sejak 1991 di garap oleh masyarakat, atau dimana. Selanjutnya pada tahun 2012 sewaktu pembagian tata ruang, 24.995 hektare untuk eksplorasi. Sementara sisanya di bagi kepada pemerintah atau WPN dan WPR.
“Tapi tidak jelas dimana titiknya. Tahun 2012 BPN Bone Bolango sempat mengeluarkan WPR, dan kemudian di cabut pada tahun 2014. Dan 2019 keluarlah izin eksplorasi dari PT Gorontalo Minerals. Sehingganya sampai hari ini, polemik yang terjadi, ini bukan persoalan batu hitam, tetapi persoalan wilayah,” imbuhnya.
Setali tiga uang, Ketua FPRB, Herton Ishak menyampaikan, secara umum polemik tambang yang khususnya da di Kecamatan Suwawa, hingga saat ini menjadi konsumsi masyarakat luas. Penyebanka kata dia, ada pembiaran dari pihak pemerintah.
“Kita sudah menggarap itu sejak tahun 1991. Sekarang atau tahun 2019 kemarin disahkan yang namanya izin kontrak karya untuk PP. Gorontalo Minerals. Selama sekitar 28 tahun ini sudah melebihi amanah undang-undang yang menyebutkan bahwa lokasi yang telah dikuasai oleh masyarakat lebih dari 15 tahun itu diprioritaskan untuk menjadi tambang rakyat. Artinya ada pembiaran terhadap undang-undang ini,” kata Herton didampingi Sekertaris FPRB, Jeffry Alaina.
Tidak ada juga keberpihakkan pemerintah kata dia terhadap masyarakat yang sudah mengelolanya selama 15 tahun. Tetapi malah memberikan izin kepada pihak lain.
“Kami FPRB menduga wilayah pertambangan milik PT Gorontalo Minerals dan izin usaha pertambangan khusus milik perusahaan tersebut adalah izin yang lahir dari proses yang tidak benar dan tidak prosedural. Dikarenakan telah mehilangkan hak rakyat yang sebelumnya telah melakukan aktifitas pertambang diwilayah tersebut. Olehnya kami meminta agar ada kepedulian dari pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk tidak diam terhadap hal ini. Karena ini menyangkut kehidupan masyarakat luas,” tandasnya.
Pewarta : Lukman.