Gorontalo, mimoza.tv – ‘Tidak ada yang aneh dengan nama Gogodu, atau yang akrab di telinga orang Gorontalo “Roti Goreng”.. Hanya sejenis kue basah, yang lazim disediakan di acara kerja bakti atau jelang pesta. Kue ini serumpun dengan kolombeng dan apang. Namun, roti goreng atau gogodu lebih murah ongkosnya. Lebih gampang membuatnya. Hanya saja gogodu sulit ditemui karena tidak pasaran.
Lantaran sulit ditemui dan tidak pasaran, nama kue ini diasosiasikan dengan tipologi sekolompok politisi. Yang memopulerkan istilah politisi gogodu adalah seorang warga, sebut saja Ka Ito. Usianya tidak tua amat dan tidak muda juga. Istilah ini secara spontan dilontarkan pria berkumis ini, saat diskusi informal. Pertemuan itu tidak sengaja. Menghadiri undangan syukuran sejawat di sebuah warung kopi. Kita duduk berdua, agak terpisah dengan yang lain.
Diskusi diawali dengan temanya ringan, tak jauh dari epicentrum politik lokal. Seperti Aristoteles mengajarkan kepada muridnya apa itu politik dan zoon politicon. Ka Ito menjelaskan gogodu atau roti goreng adalah kue aji mumpung. Sekadar memanfaatkan yang masih berguna. Kue ini salah rancang, tapi terpaksa dibuat dari pada rugi. Membuat gogodu tidak butuh proses panjang. Tidak harus pintar seperti koki pengalaman. Karena kue asal buat, cita rasanya juga tidak memuaskan. Kata Ka Ito hanya bagus saat digoreng.
“Hanya cocok dimakan masih panas, karena baunya menggoda, tapi kalau sudah dingin, tidak laku.”
Ciri-ciri gogodu kata Ka Ito melekat pada sejumlah politisi. Khususnya yang ikut dalam kontestasi pemilu legislative. Tanpa menyebut siapa, tapi idiom sinisme ini bisa ditebak siapa caleg yang dimaksud.
Apa kelebihan gogodu? Bagaimana ciri2 politikus gogodu?
“Hanya cocok dimakan masih panas, karena baunya menggoda, tapi kalau sudah dingin, tidak laku.”
Politisi gogodu adalah manifestasi Caleg ajimumpung. Asal dicomot tanpa melihat potensi. Terkesan apa adanya. Tidak melihat bobot dan kualifikasi sebagai calon legislator.
Politisi gogodu hampir merata di semua kontestan Pemilu 2019. Malah pemilu sebelumnya sudah ada beberapa partai melakukan. Gen-gen politik gogodu lahir akibat kegagalan Parpol sebagai produsen.
Pengurus parpol di daerah tidak punya arsitektur politik internal. Tidak ada rancang bangun yang jelas dan tepat. Pimpinan partai sulit menguatkan fondasi, lantaran bingung menentukan letak ruang tamu, dan ruang dapur. Para penghuni tidak faham yang boleh dilakukan di kamar tidur dan apa yang patut dibahas di ruang makan. Kalau arsitekturnya amburadul, maka tak lama lagi partai itu akan ditinggalkan secara berjamaah.
Sebenarnya modal para caleg minimal faham dengan perannya sebagai politisi. Seharusnya kata Dr Johannes Leimena seorang politisi adalah kader parpol atau aktivis politik yang faham dengan perannya, untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kepentingan umum lainnya.
Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Panggung pemilu 2019 dihiasi politisi gogodu. Salah satu ciri politisi gogodu menjadi kutu loncat. Mereka juga dikenal politisi abal-abal dan politisi karbit. Modalnya hanya sederhana. Cukup mengatakan siap dicalonkan, maka pengurus parpol langsung baiat menjadi caleg.
Ini fakta. Ada beberapa partai kesulitan menyusun formasi terbaik. Macam-macam kendalanya. Tidak etis diurai di catatan ini.
Andai mereka bernasib mujur, meraih kursi di legislative,maka politisi gogodu dikhawatirkan bisa mereduksi kualitas demokrasi. Mereka bisa melemahkan check and balance kepada eksekutif. Dengan sendirinya tidak ada jaminan politisi gogodu akan membawa harapan baru (new hope) untuk para pemilih. Mereka akan terlena dengan beragam fasilitas. Sehingga lupa bahwa mereka telah menjadi lokomotif yang harus memandu gerakan perubahan (social movement).
Malah, melahirkan pesimisme kepada rakyat. Bahkan, kata Yudi Latif, mantan rector Paramadina, politisi model gogodu akan mewariskan mentalitas politik ketakutan (politics of fear). Mereka akan menjauhkan asa bagi konstituen. Politik ketakutan akibat kelemahan para politikus memberi tawaran kepada rakyat. Tapi, para caleg kata Yudi mengkambinghitamkan para pemilih, dengan beragam tudingan bahwa rendahnya mutu demokrasi karena sikap pragmatism, disertai rendahnya Pendidikan rakyat dan kurangnya kesadaran politik.
Lalu, kesimpulan apa yang bisa ditarik dari maraknya politisi gogodu. Karena mereka ibarat resep gagal yang saying dibuang, tapi enggan dicicipi. Tentu saja, masih ada harapan. Walaupun sulit menyandarkan harapan kepada mereka. Salah satunya dengan mendorong politisi gogodu memaksimalkan kelebihan yang dimiliki. Karena setiap orang pasti ada potensi hanif, potensi kebaikan.
Seperti kata Donna Zajonc dalam bukunya The Politics of Hope, Reviving The Dream of Democrazy. Donna yang pengalaman menjadi konsultan politik menuturkan politisi harus membangkitkan politik harapan, sebuah bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis. Semoga. (*)
Catatan:Di Kota Manado, Gogodu merupakan kudapan yang terbuat dari campuran terigu,gula, dan air santan,lalu di goreng. Banyak disajikan dalam kegiatan kerja bakti atau kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Catatan: Di Kota Manado, Gogodu merupakan kudapan yang terbuat dari campuran terigu,gula, dan air ,lalu di goreng. Banyak disajikan dalam kegiatan kerja bakti atau kegiatan kemasyarakatan lainnya.