Gorontalo, mimoza.tv – Bencana alam tsunami di Banten dan Lampung diperkirakan Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG) terjadi akibat longsor bawah laut karaena pengaruh dari erupsi Gunung Anak Krakatau. Gunung Anak Krakatau ini terbentuk setelah letusan hebat Gunung Krakatau pada tahun 1883 silam.
Jauh hari sebelumnya pada tahun 1992, Almarhum Prof John Ario Katili memperingatkan untuk tidak gegabah menentukan watak sebuah gunung berapi, apakah gunung itu sudah mati atau masih hidup.
Dengan tegas, pria kelahiran Gorontalo 9 Juli 1929 itu mengatakan, bahwa para pakar sepakat, tidak ada gunung api mati. Kebanyakan gunung api istrahat dan tidur.
Menurut mantan Dirjen Geologi Dan Sumber Daya Mineral ini, bisa saja tidurnya hanya puluhan tahun, beberapa ratus tahun, tapi tak sedikit ribuan tahun. Semakin lama gunung tidur, semakin berbahaya jika meletus.
Satu contoh adalah Gunung Krakatau di Selat Sunda dan Gunung Tambora di Sumbawa. Krakatau yang meletus pada 1883 membuat hanya sebagian saja dari gunung yang meletus. Guncangan dahsyatnya pun dirasakan oleh seluruh dunia. Debu menutupi kawasan sekitar 827.000 km persegi, dan berlangsung hampir setahun.
Gelombang air laut menghempaskan kapal-kapal dan rumah penduduk dalam radius 50-60 km dari pusat letusan. Terlebih lagi letusan Krakatau di penghujung abad 19 itu menelan 36.417 jiwa meninggal. 68 tahun sebelumnya, Gunung Tambora meletus dan menewaskan sekitar 10.000 jiwa meninggal. Letusannya terdengar hingga Jakarta dan Maluku Utara.
Mengacu pada dua gunung tersebut, memang sulit menentukan mati hidupnya sebuah gunung.
“Manusia hanya puluhan tahun hidup, sedangkan sejarah kehidupan gunung bisa ribuan taun. Bisa jadi gunung yang sudah dianggap ‘mati’ sebenarnya dalam skala waktu gunung masih hidup,” ujar Katili.
Untuk lebih mengenali cirri gunung yang masih hidup antara lain ditandai dengan bentuk kerucutnya yang ,masih bagus.
Sebagian dari gunung yang hidup ini kini sedang dalam keadaan tidur.
“Biasanya gunung yang sudah jutaan tahun tidak menampakkan kegiatannya. Secara fisik ini ditandai dengan adanya parit-parit akibat erosi air hujan. Bekas-bekas gunung api yang sudah mati ini dapat dijumpai di Plered, dekat Purwakarta,” ujar Katili.
Mengetahui kesukaan tidur gunung menjadi sangat penting.
Kelud, misalnya, mempunyai kesukaan tidur 0 – 21 tahun, Una-una 90 tahun dan Galunggung 60 – 70 tahun.
Kisaran waktu ini pun tidak bisa dijadikan patokan yang mutlak, tapi kalau masa-masa itu terlewati kewaspadaan setidaknya perlu ditingkatkan.
Lama waktu tidur ini juga berhubungan dengan daerah yang harus diwaspadai.
Suatu pegangan umum, lebih lama gunung api itu beristirahat akan lebih dahsyat letusannya.
Gunung Galunggung dan, Colo dengan masa istirahat 50-150 tahun dapat menghancurkan daerah dengan radius 10 km crtau lebih dari titik letusan.
Gunung Unzen di Jepang (200 th), Mt. Ruis di Kolumbia (500 th) dan Pinatubo di Filipino (600 th) bencananya bisa meliputi wilayah sampai radius 20 km, atau lebih.
Sedang Krakatau dan Tambora dengan masa tidur seribu tahun, letusannya mencapai radius 50 km.
Katili menyebut, tidur tidaknya gunung tergantung suplai magma dan ketebalan kerak bumi.
Begitu tekanan magma bisa menembus ketebalan kerak bumi, gunung akan meletus.
Di Indonesia sumber magma ada di palung dalam Samudera Hindia di kurang lebih 190 km, selatan Pulau Jawa.
(Artikel ini secara utuh pernah dimuat di Intisari edisi Januari 1992 dengan judul “Kerucut Indah yang Menyimpan Maut” ditulis oleh G. Sujayanta)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Prof Dr JA
Katili: Lebih Lama Gunung Api Beristirahat Akan Lebih Dahsyat Letusannya.