Gorontalo, mimoza.tv – Sebagai “Negeri Cincin Api’ Indonesia kerap mengalami sejumlah bencana alam, mulai dari erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami. Lokasinya bisa dimana saja, Waktunya pun bisa kapan saja.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, samoai saat ini belum ada satu pun teknologi di dunia yang mampu secara akuarat dan presisi memprediksi kapan bencana alam seperti gempa bisa terjadi.
Tsunami di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 malam menelan banyak korban jiwa. Hingga pukul 13.00 WIB, Selasa, 25 Desember 2018, korban meninggal dunia telah mencapai 429 orang. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, selain korban meninggal, ada 1.485 orang luka-luka dan 154 orang dinyatakan hilang. Sutopo juga menjelaskan, ada 16.082 orang mengungsi akibat tsunami. Korban meninggal terdapat di wilayah Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus.
Dari data terbaru itu tercatat, 882 unit rumah rusak, 73 penginapan rusak, 60 warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak, 24 kendaraan roda empat rusak, 41 kendaraan roda 2 rusak, 1 dermaga rusak, dan 1 shelter rusak. Dahsyatnya jumlah korban yang ditimbulkan dari tsunami akibat rapuhnya deteksi dini. BMKG menyebut air bah yang menghantam wilayah sekitar Selat Sunda itu diduga sebagai imbas aktivitas Gunung Anak Krakatau yang terus erupsi. Di lain pihak, Indonesia tak memiliki alat deteksi tsunami akibat kondisi tersebut.
“Tidak ada peringatan dini tsunami karena kita Indonesia tidak punya sistem alat pendeteksi tsunami akibat longsoran bawah laut dan erupsi gunung api,” tutur Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa (25/12/2018).
Menurut Sutopo, Indonesia baru memiliki alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan aktivitas tektonik seperti gempa bumi. BMKG terfasilitasi dengan sistem tersebut dan dapat cepat tanggap menghadapi kemungkinan bencana.
“Beda dengan tsunami yang dibangkitkan dengan gempa bumi, BMKG kurang dari 5 menit pasti bisa menyampaikan ke publik,” jelas dia.
Sutopo menilai, sistem peringatan dini ini harus diperkuat di Indonesia. Hal itu karena buoy atau alat deteksi tsunami di Indonesia juga sudah tidak beroperasi sejak 2012.
Selain itu, aksi vandalisme dan terbatasnya anggaran menjadi penyebab tidak berfungsinya buoy tsunami saat ini. Untuk itu, Sutopo menegaskan, perlunya membangun peralatan dan sistem untuk mendeteksi terjadinya tsunami akibat erupsi.
“Tidak adanya peralatan sistem peringatan dini menyebabkan potensi tsunami tidak terdeteksi sebelumnya. Tidak terpantau tanda-tanda akan datangnya tsunami, sehingga masyarakat tidak memiliki waktu evakuasi,” ucapnya.
Sutopo juga mencontohkan, bencana tsunami akibat longsor bawah laut sendiri sebelumnya sudah pernah terjadi di Maumere pada 1992 dan Palu pada 2018.
Menurut Sutopo, 13 persen populasi gunung berapi di dunia ada di Indonesia. Beberapa di antaranya ada di tengah laut dan pulau-pulau kecil, sehingga dapat menyebabkan tsunami dan erupsi.
“Tentu ini menjadi tantangan bagi PVMBG, BMKG, kementerian/lembaga dan perguruan tinggi membangun peringatan dini,” kata Sutopo.
Buoy Rusak Sejak 2007
Tiga unit mobil tertimbun reruntuhan rumah yang rusak setelah tsunami menerjang kawasan Anyer, Banten, Minggu (23/12). Tsunami menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Ketua Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Tiar Prasetya, mengungkapkan alat pendeteksi tsunami (buoy) untuk Perairan Selat Sunda sudah lama hilang. Adapun alat itu merupakan milik Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“11 tahun yang lalu sejak 2007, tak tahu ke mana. Buoy itu dari BPPT,” kata Tiar di kantornya, Jakarta, Minggu, 23 Desember 2018.
Dia menuturkan, sampai sekarang buoy tersebut belum terpasang di Selat Sunda. Dirinya mengatakan, pihaknya tidak memiliki alat tersebut.
Ketiadaan alat deteksi tsunami itu diakui Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim, Ridwan Jamaludin. Pria yang juga mantan Kepala Deputi BPPT ini menyebut kini buoy tidak ada lagi baik karena rusak maupun faktor teknis atupun dirusak.
“Kita semua tahu dulu ada buoy untuk mendeteksi gelombang tsunami ketika masih jauh dari pantai. Dia mau karena gempa, letusan gunung berapi, ataupun meteor, begitu ada gelombang tsunami, itu tugas buoy untuk mendeteksi. Tujuannya kan agar gelombangnya tidak datang bersamaan. Kalau Tide Gaude itu kan gelombangnya sudah di pantai,” jelas Ridwan.
Namun begitu, ia menilai buoy alami dapat digunakan dengan memanfaatkan pulau-pulau di sekitar.
“Kita punya Pulau Krakatau, Pulau Panjang yang berfungsi sebagai buoy alami. Sebelum sampai di Banten, dia (tsunami) sampai di pulau itu. Jadi, kita punya waktu sekitar 20 menit. Kalau belum punya buoy tsunami, kita gunakan itu,” kata Ridwan.
Tak hanya buoy yang hilang, alat pendukung lain untuk peringatan dini bencana gunung api juga tidak berfungsi dengan baik. BMKG mengungkapkan, seismograf yang memantau kegempaan Gunung Anak Krakatau sempat tak berfungsi maksimal sebelum tsunami Selat Sunda terjadi.
“Itu kejadiannya pada pukul 09.03 WIB alat rusak. Makanya tidak terpantau (aktivitas Gunung Anak Krakatau),” ujar Kasubid Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kristianto di Kantor Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau, Cinangka, Banten, Selasa (25/12/2018).
Menurut dia, seismograf rusak yang berada terletak di pos pemantauan Pulau Anak Krakatau. “Sementara pemantauan seismograf, kita masih beruntung, kita masih dapat di Pulau Sertung,” ucap dia.
Selain di Pulau Sertung, aktivitas Gunung Anak Krakatau juga dapat dipantau dari pos pemantauan Cinangka. Pantauan ini hanya dapat dilihat dari seismograf dan tak bisa dipantai langsung lantaran cuaca buruk.
“Jadi kita dapat melihat aktivitasnya masih tinggi. Terlihat dari amplitudo sampai lebih dari 40 milimeter. Simpangan dari seismografnya, memang aktivitas di sana masih tinggi. Kemungkinan di sana masih ada aktivitas lontaran material, aliran larva, dan awan panas pun masih terjadi di Pulau Anak Krakatau. Ketinggian abu vulkanik susah melihatnya karena cuaca,” terang Kristianto.
Mengenal Alat Deteksi Tsunami.
Selain Buoy, ada alat deteksi tsunami lainnya yang disebut Tide Gaude. Alat yang dipasang di pantai ini dapat mendeteksi gelombang dengan mengukur perubahan permukaan laut atau pasang surutnya air.
Sedangkan buoy merupakan alat yang dipasang di tengah laut atau diletakkan jauh di tengah samudera untuk membaca tsunami.
“Ini terbukti, empat Tide Gaude di Selat Sunda berfungsi dengan baik dan mencatat dengan baik,” ucap Kepala Pusat Meterologi Publik BMKG, Fachri Radjab, di kantornya, Jakarta, Senin 24 Desember 2018.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menambahkan, total total Tide Gaude yang berada di seluruh wilayah Indonesia berjumlah 200.
“Yang berdiri sekitar 170 dan ada tambahan sekitar 30, itu yang berfungsi,” kata Dwikorita.
Lebih jauh Dwikorita menjelaskan, banyak faktor yang membuat pihaknya merasa kesulitan memprediksi tsunami di Selat Sunda. Salah satunya adalah gelombang tinggi.
Dia menyebut, data Tide Gaude mencatat ketinggian tsunami Selat Sunda mencapai 0,9 meter. Namun, faktor gelombang tinggi dan pengaruh tofografi, diprediksi cukup berdampak.
Ke depan, dia meminta gempa-gempa vulkanik, terutama yang ada di laut, dapat segera diperoleh datanya. Sehingga BMKG dapat mem-backup Badan Geologi bila ada erupsi di gunung laut, kami bisa ikut memberikan peringatan dini.
“Itu kemarin kan gempa vulkanik, (sedangkan) yang masuk di BMKG adalah adalah sensor gempa tektonik. Selat Sunda ini ada vulkanik eruption, yang menimbulkan getaran, dan lemah hanya 3,5, tapi kami tidak punya informasi akibat getaran gunung berapi, sehingga kami tidak tahu,” tandas Dwikorita.(luk)
*Dari berbagai sumber