Gorontalo, mimoza.tv – Sering kali jika makan di luar, kita tak memperhatikan berapa banyak sampah makanan yang kita hasilkan. Yang penting sudah membayar, perut kenyang, selesai perkara. Ini baru satu pelanggan saja.
Namun coba bayangkan jika satu restoran atau rumah makan yang kita kunjungi tersebut dikunjungi ratusan orang setiap hari. Tahukah anda, sekitar sepertiga makanan di seluruh dunia terbuang? Dan itu dapat mencukupi kebutuhan pangan dua miliar manusia?. Sementara di tempat lain, ada 800 juta orang setiap tahun mengalami kelaparan.
Lihat bagaimana kebiasaan kita sewaktu berada di pesta, berebutan mengambil makanan yang dihidangkan, menumpuknya di piring karena takut kedahuluan orang lain, sementara sebagian besar dari makanan yang kita ambil itu malah tak dihabiskan. Lihat juga bagaimana kebiasaan orang sewaktu menyantap bakso. Mereka menumpahkan saus tomat dan kecap sebanyak mungkin ke piring kecil, hanya untuk dicocol-cocol bakso, dan sisanya yang sangat banyak berakhir di tempat sampah. Lihat pula kita yang terbiasa membeli makanan berlebihan dan tak bisa menghabiskannya.
Di kutip dari https://zonautara.com/ di berbagai belahan dunia, krisis produksi pangan semakin mengkhawatirkan. Perubahan iklim menambah kekhawatiran itu dan menyebabkan harga pangan semakin meningkat.
Meski terlihat sepele, namun permasalahan sampah makanan ternyata sangat kompleks. Dikutip dari foodsustainability.eiu.com, data tahun 2016 dari Economist Inteligence Unit (EIU) mengatakan, setiap orang Indonesia bisa menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per tahun. Angka ini tentu cukup memprihatinkan, mengingat di sisi lain masih banyak saudara kita se tanah air yang susah mencari makan setiap hari.
Belum lagi saat bulan Ramadan. Di kutip dari Antaranews.com, Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo menyebut, jumlah sampah selama bulan suci Ramadan tahun 2017 mencapai 200 ton per hari. Jika setiap hari biasa jumlahnya mencapai 80 hingga 100 ton, maka pada bulan Ramadan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat.
Itu baru di Kota Gorontalo, bagaimana dengan Ibu Kota Jakarta ?. Data di Dinas Kebersihan DKI Jakarta menyebut, total sampah di Ibu Kota bisa naik 6.900 ton pada 10 hari pertama bulan Ramadan.
Memang tak bisa disepelekan, sampah makanan harus bisa diselesaikan. Namun sebelum itu, berikut lima fakta sampah makanan di Indonesia yang bikin kita heran dan menggelengkan kepala, seperti dilansir dari brilo.net.
- Kepala Perwakilan Badan Pangan PBB (FAO) Mark Smulders pada tahun 2016 lalu mengungkapkan, jumlah sampah makanan di Indonesia setiap tahunnya mencapai 13 juta ton. Sampah makanan ini kebanyakan dari ritel, katering, rumah makan,dan restoran. Perilaku orang direstoran yang sering tidak menghabiskan makanan berkontribusi terhadap besarnya jumlah sampah. Data tahun 2014 menyebut, jumlah sampah makanan di dunia sebanyak 1,3 miliyar ton, Indonesia menyumbang 21 juta ton.
- Sebanyak 13 juta ton sampah makanan per tahun di Indonesia tersebut jika dikelola dengan baik bisa menghidupi lebih dari 28 juta orang. Seperti dikutip dari bps.go.id, angka ini hampir sama dengan jumlah penduduk miskin atau sekitar 11% dari populasi Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2015.
- Dikutip dari foodsustainability.eiu.com, data dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2016 menempatkan Indonesia sebagai nomor dua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia setelah Saudi Arabia. Dalam data tersebut dijelaskan bahwa pola konsumsi makanan masyarakat yang buruk membuat produksi sampah makanan semakin meningkat per tahunnya.
- Dilansir dari katadata.co.id, total sampah di Jakarta pada tahun 2015 sebanyak 2,7 juta ton atau 7.500 ton per hari. Sejumlah 54% di antaranya adalah sampah organik seperti sisa makanan. Masih dari sumber yang sama, sampah di Ibu Kota Indonesia ini juga akan diperkirakan naik mencapai 9.000 ton per hari pada tahun 2025. Hal in berarti sampah makanan akan semakin meningkat juga per tahunnya.
- Dikutip dari antaranews.com, data BPS menunjukkan, impor limbah sisa makanan pada periode Januari-Oktober 2016 mencapai USD 2 miliar atau kurang lebih Rp 27 triliun. Artinya, Indonesia mengimpor sampah makanan dari luar negeri untuk keperluan seperti pakan ternak.
Padahal jika pengelolaan sampah dalam negeri ditingkatkan, Indonesia bisa menghemat lebih dari Rp 27 triliun. Salah satu caranya adalah memaksimalkan pengolahan sisa atau limbah makanan dari restoran, retail, maupun produsen. Nggak nyangka kan sisa makanan ternyata punya nilai triliunan?
Melihat data dan fakta di atas, kita semua pasti bertanya-tanya, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan?. Jawabannya mudah. Mari mulai dari diri sendiri. Kita bisa ubah kebiasaan saat makan atau berbuka puasa, baik di rumah maupun di restoran.
Bijaklah dalam berbelanja. Ini merupakan hal penting yang sering disepelekan, terutama kaum perempuan. Beberapa sumber menyebut,hampir 30 persen dari total belanja ibu-ibu di pasar berakhir jadi sampah makanan. Ukur dan pastikan saat berbelanja, kita tidak berlebihan, cukup untuk kebutuhan beberapa hari saja. Lebih baik sering berbelanja dengan jumlah sedikit, dapirada berbelanja dengan jumlah yang banyak.
Berikutnya adalah mengorganisir stok makanan. Terkadang, setiap membeli makanan atau bahan makanan, kita menyimpannya begitu saja, tanpa mengaturnya terlebih dahulu, Padahal langkah ini sangat penting untuk menentukan makanan mana yang harus dikonsumsi saat ini, mana yang bisa disimpan. Kadang-kadang, saking penuhnya lemari atau kulkas, kita bahkan lupa makanan apa yang sudah kita beli. Kalau lupa, akhirnya harus dibuang karena sudah tidak baik lagi kualitasnya. Jadi lebih baik mengatur lemari penyimpanan makanan atau kulkas dengan baik dan terorganisir.
Cara terbaik adalah dengan menggunakan sistem “first in first out”. Setiap kali kita membeli makanan atau bahan makanan baru, yang lama geser ke bagian depan, agar bisa dikonsumsi lebih dulu. Begitu seterusnya. Usahakan semua bisa terlihat dan tersusun rapi agar bisa mengontrol mana yang harus dikonsumsi.Dan satu hal yang penting, mari kita memperlakukan makanan sebagai cermin kepribadian dan peradaban kita. (luk)
Diolah dari berbagai sumber.