Gorontalo, mimoza.tv – Ekonom Gorontalo, Bobby Rantow Payu mengungkapkan, Permennaker No.2 Tahun 2022 yang menghebohkan buruh se NKRI itu dari sisi ekonomi dikebut dalam waktu yang singkat namun berdampak luas di masyarakat.
Alih-alih soal produk regulasinya, dari masalah likuiditas kata Bobby laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan tahun 2020 sudah bermasalah dalam arus kas dan ketidakseimbangan antara kenaikan investasi dan kenaikan jumlah klaim untuk JHT.
“Apapun model pengelolaan sistim jaminan itu, pasti mengadopsi sistim asuransi. Dimana premi-premi yang dibayarkan itu kemudian diasuransikan, ditempatkan di instrument tertentu yang diatur dengan regulasi, untuk memperoleh hasil. Nah yang diharapkan dari premi yang terbatas itu kemudian menghasilkan itu kemudian bisa membayar klaim yang ada,” kata Bobby di acara Forum Demokrasi Gorontalo (FDG) edisi Senin (21/2/2022).
Lanjut kata Dosen Ekonomi di Universitas Negeri Gorontallo ini, jika melihat kondisi keuangan BPJS tahun 2019, secara ringkas premi-premi yang muncul itu ditempatkan dalam instrumen.
“Kalau melihat regulasi OJK, minimal 50 persen saham itu ditempatkan di Surat Utang Negara (SUN). Tahun 2020, jumlah iuran yang dihimpun oleh BPJS Ketenagakerjaan itu ternyata tidak sebanding dengan jumlah klaim yang terjadi. Di situs BPJS Ketenagakerjaan kita bisa melihat kenaikannya dari 2019 ke 2020 angkanya hanya Rp 1,9 triliun. Sedangkan akumulasi klaim itu naik kurang lebih Rp 6 triliun. Itu defisit,” ujar Bobby.
Lebih lanjut kata Bobby, hingga saat ini laporan keuangan utk tahun 2021 belum dirilis. Namun, berita soal OJK yang mengungkapkan investasi saham BPJS Ketenagakerjaan masih minus Rp 32,8 triliun ini menjadi indikasi bahwa kondisi arus kas dan likuiditas lembaga tersebut semakin memburuk.
“Jika arus kas memburuk dan klaim meningkat maka mau tidak mau BPJS Ketenagakerjaan harus melepas aset investasinya yang berupa SUN (minimal 50 persen) dan di saham. Jika ini terjadi maka akan ada goncangan di pasar keuangan, dan memaksa pengambil kebijakan untuk mengambil langkah cepat untuk mencegah efek domino ke industri pasar keuangan,” imbuhnya.
Disinggung soal Permennake, kata dia regulasi ini lebih bersifat temporer untuk meredam kenaikan klaim JHT dalam jangka pendek. Apalagi kondisi ekonomi belum sepenuhnya membaik sehingga potensi kenaikan PHK di tahun 2021 dan paling tidak beberapa tahun kedepan akan meningkat.
“Karena temporer maka kemungkinan besar jika kondisi sudah pulih akan dicabut atau direvisi. Kan gak lucu kalo pas ada klaim, BPJS Ketenagakerjaan tolak dengan alasan bentar ya mas, mbak belum bisa diproses,” tutup Bobby.
Pewarta : Lukman.