Oleh : Hersubeno Arief
Pada masa Orde Baru ada sebuah anekdot yang sangat terkenal di kalangan aktivis. Sebuah keluarga memiliki lima orang anak lelaki. Cita-citanya berbeda-beda. Ada yang ingin jadi jenderal, menteri, gubernur, anggota DPR, dan pengusaha.
Ketika meminta nasehat pada sang ayah, apa yang harus mereka lakukan? Jawabannya hanya satu: Masuk akademi militer! (AKABRI).
Sang Ayah tidak sedang bercanda. Pada masa itu seorang perwira militer, apalagi lulusan Akabri bisa memasuki hampir semua posisi di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan di bidang bisnis. Kamar Dagang Dan Industri Indonesia (KADIN) pernah dipimpin seorang jenderal.
Peran TNI —kala itu masih disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)— merasuk kemana-mana. Mulai di tingkat pusat, sampai daerah. ABRI juga punya perwakilan di MPR-DPR. Perwakilan mereka tergabung dalam Fraksi ABRI. Anggota F-ABRI tidak mengikuti pemilu, namun posisi dan perannya sangat menentukan.
Selain melalui F-ABRI, anggota TNI juga banyak berperan dalam politik praktis melalui Golkar di pusat maupun daerah. Dalam tubuh Golkar dikenal tiga jalur ABG. ABRI, Birokrasi, dan Golkar.
Rangkap jabatan anggota TNI di fungsi-fungsi sosial politik itu disebut sebagai Dwifungsi ABRI. Melalui konsep ini rezim Orde Baru mengontrol kekuasaan dengan TNI sebagai tulang punggungnya.
Dwifungsi ABRI berakhir bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru. Penghapusan Dwifungsi merupakan salah satu amanat reformasi. TNI dikembalikan ke barak. Mereka menjadi militer profesional yang tugas utamanya menjaga pertahanan negara.
Dalam negara demokrasi, militer berada dalam kendali sipil sebagai alat negara ( under civilian control ). Mereka boleh aktif dalam dunia politik setelah pensiun.
Beberapa orang jenderal kemudian mendirikan partai politik. Dua jenderal yang paling sukses di dunia politik adalah Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Prabowo Subianto.
SBY mendirikan Partai Demokrat dan berhasil menjadi presiden dua periode. Prabowo mendirikan Partai Gerindra dan saat ini mencalonkan diri menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Dua jenderal lain adalah Eddy Sudradjat dan Wiranto. Keduanya mantan Menhankam/Panglima ABRI. Eddy mendirikan PKPI dan Wiranto mendirikan Hanura. Kedua-duanya gagal. PKPI menjadi partai di luar parlemen. Hanura diperkirakan segera menyusul pada pemilu kali ini. Nasib Wiranto lebih tragis karena harus menyerahkan Hanura ke Osman Sapta Odang.
Mengembalikan peran Dwifungsi
Peran Dwifungsi itu, dalam batas-batas tertentu dikhawatirkan akan kembali, seiring restruktrisasi organisasi TNI yang baru saja dilakukan rezim Jokowi.
Dengan alasan untuk menampung banyaknya perwira menengah TNI yang menganggur, pemerintah baru saja mengumumkan adanya penambahan 60 jabatan jenderal di lingkungan TNI.
Ada beberapa pos yang statusnya ditingkatkan. Dari semula kolonel menjadi bintang satu. Bintang satu menjadi bintang dua, dan bintang dua menjadi bintang tiga.
Saat ini ada sekitar 500 perwira menengah TNI yang tidak mempunyai jabatan. Terbanyak di TNI AD. Mereka kata pegamat militer Salim Said diparkir di lantai 8 Mabes TNI AD.
Restrukturisasi dan penambahan jabatan jenderal itu masih belum mencukupi. Pemerintah berencana menempatkan mereka di 15 kementerian, departemen dan lembaga negara lainnya.
“Mudah-mudahan dari 500 orang perwira tanpa jabatan itu bisa berkurang menjadi 150-200 orang,” ujar Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
Rencana pemerintah itu segera mengundang protes dari koalisi masyarakat sipil. Puluhan lembaga dan perorangan sejak pekan lalu menggalang sebuah petisi online. Sampai hari Ahad (24/2) sudah lebih dari 10.000 orang yang menandatangani.
Di media sosial keberatan atas rencana pemerintah itu juga bergema sangat nyaring. Menariknya kluster terbesar penolakan terhadap isu itu berasal dari pendukung paslon Prabowo-Sandi. Sementara penolakan dari paslon pendukung Jokowi-Ma’ruf hanya satu dua orang saja.
Dua partai yang didirikan oleh jenderal, Gerindra dan Demokrat juga menentang keras rencana ini. Fakta ini sungguh ironis mengingat latar belakang masing-masing paslon. Jokowi berlatar belakang sipil. Sebaliknya Prabowo berlatar belakang militer.
Banyak kecurigaan Dwifungsi model baru ini merupakan strategi Jokowi merangkul dan memenangkan dukungan dari kalangan militer. Sebelumnya Jokowi juga sudah menaikkan tunjangan jabatan untuk bintara pembina desa (Babinsa) TNI menjadi setara dengan bintara pembina keamanan dan ketertiban (Babinkamtibmas) Polri.
Pada masa Orde Baru, Babinsa adalah mesin politik yang sangat efektif mendukung kekuasaan. Melalui peran teritorial ABRI, tangan-tangan politik pemerintah menjangkau sampai ke desa-desa.
Sejauh ini Jokowi sudah sangat berhasil mengendalikan dan meraih dukungan dari internal Polri. Polri sangat efektif menjadi alat untuk menekan lawan politik pemerintah.
Sebagai imbalan, sejumlah perwira tinggi Polri mendapat jabatan sipil pada masa pemerintahan Jokowi. Ada Menteri PAN & RB Komjen Pol Sjafruddin, kepala BIN Jenderal Pol Budi Gunawan, Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius, Kepala BNN Komjen Heru Budi Winarko.
Selain ada Dirut Bulog Komjen Pol Budi Waseso, Dirjen Imigrasi Irjen Pol Ronny F Sompie, Dirjen Perhubungan Darat Irjen Pol Pudji Hartanto Iskandar, Dirjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Irjen Pol Syahrul Mamma dan Komisioner KPK Irjen Pol Basaria Panjaitan.
Strategi Jokowi ini sudah diendus oleh sejumlah penggiat hak-hak sipil di dalam dan luar negeri. Dia terbukti menggunakan berbagai cara dan sumber daya di pemerintahan untuk mempertahankan kekuasaan. Hampir semua kebijakannya bermuara pada kepentingan elektabiltas. All about electability.
Tim Lindsey dari Universitas Melbourne sudah sejak tahun 2017 menengarai adanya pola penggunaan instrumen pemerintahan untuk menekan lawan politik dengan tuduhan palsu. Praktik politik semacam itu disebutnya sebagai Neo Orde Baru ( Neo New Order )
Tom Power dari Australian National University menilai pemerintahan Jokowi anti demokrasi dan telah berubah menjadi otoriter. Jokowi melanggar norma-norma demokrasi, melakukan politisasi hukum, sandera politik terhadap kepala daerah dan lawan-lawan politiknya, serta intimidasi gerakan politik akar rumput seperti #2019GantiPresiden.
Hampir dapat dipastikan langkah Jokowi memberi peluang militer kembali masuk ke jabatan sipil, akan mendapat penentangan yang luas dari koalisi masyarakat sipil dalam dan luar negeri.
Namun seperti biasa para pejabat di lingkar dekat Jokowi memgabaikannya. Menko Maritim Luhut Panjaitan malah mempertanyakan siapa yang keberatan? Menurutnya kebijakan tersebut dilakukan setelah melakukan berbagai kajian dan kebutuhan yang ada.
Inilah dilema Jokowi. Disatu sisi dia berharap dapat menggerakkan mesin politik TNI untuk memenangkan pilpres. Namun disisi lain dia juga menghadapi penentangan yang keras dari koalisi masyarakat sipil dalam dan luar negeri. Mereka menilai kebijakan Jokowi merupakan pengkhianatan atas reformasi dan membahayakan proses demokrasi.
Dalam kondisi seperti ini ada baiknya Jokowi mengingat kata-kata bijak yang pernah disampaikan oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”
Gitu aja kok repot!