Oleh : Rully Ilato Maspody / Sekretaris AKPG (Asosiasi Keybordist Player Gorontalo)
Gorontalo, mimoza.tv – Setiap kali mendengar kata politik, konotasi negatif serta merta ikut dalam paradigma berpikir seniman. Apalagi dihadapkan pada realitas perilaku sebagian politikus, yang masih jauh dari harapan.
Seniman kemudian menempatkan diri sebagai makhluk antipolitik, dan seolah-olah mempunyai moral yang lebih baik dari politikus. Kenyataannya, tak sedikit perilaku seniman lebih “buruk” dan “korup” ketimbang politikus.
Padahal bila mau menelaah lebih jernih, politik merupakan sarana untuk merealisasikan harapan dan cita-cita, lewat usaha bersama membangun seni budaya dan strategic partnership, menjadi salah satu langkah niscaya.
Kesenian sebagai wilayah publik mau tidak mau, suka tidak suka akan bersinggungan dengan politik. apalagi ketika berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menyoal seni budaya. Sudah sejak lama negara belum punya skala prioritas kebijakan untuk mengelola secara serius seni budaya.
Kita bisa melihat dari regulasi yang belum, atau bahkan tidak memihak kesenian dan seniman sebagai pelakunya. Bahkan lebih jauh lagi, payung hukum untuk anggaran kesenian, digantungkan pada pos-pos instansi, semisal Dinas Pariwisata. Dengan kejelasan payung hukum, maka seniman tidak lagi pada posisi rentan dan punya otonomi untuk mengelola kehidupannya.
Berkaitan dengan hal itu, pilihan seniman untuk berpolitik praktis (masuk partai), bukanlah kesalahan. Kemungkinan itu menjadi salah satu jawaban, untuk mendorong percepatan kemunculan kebijakan politik yang memihak seniman.
Apakah dengan bendera parpol seniman mampu bertahan dalam mengusung cita-cita memajukan seni budaya, atau terjerumus dalam langkah yang makin membingungkan?
Namun jika kepentingan itu adalah perubahan untuk menuju kebaikan, mengapa seniman dan politikus tidak berkolaborasi untuk mengembangkan seni budaya. Seperti yang dilakukan oleh Adhan Dambea saat dirinya menjabat sebagai wali kota Gorontalo periode 2008-2013, yang merilis album religi “Mandiri Dan Religius”. Pun begitu dengan para calon yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah, yang juga sering melibatkan para seniman, dalam pembuatan lagu yang digunakan pada kampanye masing-masing.
Sejarah mencatat, persinggungan politik dan seni sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Chairil Anwar menyatakan bahwa, berjuang di kebudayaan sama pentingnya seperti di medan peperangan.
Kemunculan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan), sebagai representasi pertempuran seni dan politik, membuktikan relevansi politik dan seni sebagai bagian terpenting dalam perjalanan kebudayaan.
Maka seniman sebagai pelaku seni, perlu juga berpolitik sebagai usaha mempertahankan eksistensi di tengah modernitas. Hal inilah yang menginspirasi saya, yang selama ini berkecimpung di dunia seni Gorontalo, untuk masuk masuk dan bergabung dalam struktur pengurus DPD Partai Hanura.
Pelaku seni berpolitk juga bertujuan agar tidak salah, dalam mengedepankan pengembangan intuisi transformasi, mengingat wacana politik dan seni tak akan lepas dari kebijakan politik lokal. Dengan harapan semua mengarah pada pembangunan kebudayaan, khususnya di Provinsi Gorontalo. (idj)
Foto : Aditya Rivan