Gorontalo, mimoza.tv – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), dengan terdakwa Ibrahim dan farid Siradju kembali digelar di Pengadilan Tipikor Gorontalo, Senin ( 15/2/2020).
Pada sidang lanjutan itu JPU menghadirkan 6 orang saksiyang secara bergantian dimintai keterangannya soal dugaan korupsi pembebasan lahan jalan lingkar luar Gorontalo tersebut.
Keenam orang tersebut adalah, Sri Wahyuni Daeng Matona, Rugaiah Alieu, Richie Abdullah, Abdul Haris, Azis Ayuba, dan Fiskawati Sidiki.
Dihadapan majelis hakim Sri Wahyuni Daeng Matona mengaku, tahun 2016 dirinya merupakan Pejabat Pelaksana Tehnis Kegiatan (PPTK) yang sebelumnya dijabat oleh Ibrahim Utiarahman.
Tugas PPTK kata Sri Wahyuni adalah pada saat proses tahapan pelaksanaan pembayaran lahan GORR. Dalam pembayaran tanah itu kata dia, pihaknya menerima disposisi dari Kepala Biro pemerintahan, terkait dengan daftar validasi yang diberikan oleh Kepala BPN selaku kepla pengadaan tanah.
“Saat itu yang kami persiapkan adalah menyampaikan kepada bendahara, dengan berdasarkan daftar validasi, dan selanjutnya bendahara menyiapkan kwitansi. Kami juga melakukan persiapan dalam rangka mengundang pihak yang berhak pada saat penandatanganan kwitansi,” ucap Sri Wahyuni dalam sidang.
Dijekaskannya juga, adapun bukti-bukti yang wajib disertakan dalam pembayaran tanah GORR itu kata Sri Wahyuni, adalah berdasarkan daftar validasi yang telah disampaikan oleh BPN.
Namun dalam pencariran dana itu kata dia, pihaknya tetap melampirkan fotocoppy KTP, kartu keluarga, fotocoppy buku rekening, sertifikat, serta fotocoppy surat pernyataan penguasaan fisik atas tanah yang diterima pada saat penandatanganan kwitansi, dan sekaligus pelepasan hak oleh pihak yang berhak dihadapan kepala kantor pertanahan.
“Jadi dokumen itu kami fotocoppy lalu dilampirkan dalam kwitansi yang sudah ditandatangani oleh pihak yang berhak pada saat pelaksanaannya di kantor desa. Selanjutnya itu kami bawa ke Biro Umum beserta klampiran tadi , untuk dilakukan verifikasi. Setelah dari bendahara, dokumen tersebut diserahkan di biro umum untuk dilakukan ferivikasi dan ditandatangani oleh ferivikator, selanjutnya dikembalikan lagi di biro pemerintahan untuk dibuatkan Surat Permintaan Membayar atau SPM yang ditandatangani oleh KPA,” jelas sosok yang kini menjabat sebagai Kepala Biro Pemerintaha dan Kesra, Setda Prov. Gorontalo ini.
Namun saja saat Jaksa Penuntut Umum menanyakan apakah dokumen itu dikembalikan ke PPTK jika dokumennya tidak lengkap, Sri Wahyuni mengaku hal itu tidak ada.
“Penerbitan SPM itu ketika sudah dilakukan verifikasi oleh verifikator yang ada di biro umum. Setelah terbit SPM maka dilanjutkan ke badan keuangan untuk dilakukan verifikasi lagi. Di biro keuangan ada verifikator juga. Setelah itu menjadi kewenangan dari badan keuangan untuk melakukan pencairan. Kami sudah tidak tidak terlibat lagi di proses itu,” jelas Sri Wahyuni.(red)