Gorontalo, mimoza.tv – Wacana perayaan malam pasang lampu atau yang dikenal dengan perayaan Tumbilotohe di undur pada malam perayaan lebaran ketupat berpolemik di masyarakat. Opini yang berkembang, banyak warga yang menilai usulan tersebut bertentangan dengan nilai adat dan tradisi masyarakat Gorontalo yang sudah turun-temurun.
Dilansir dari Gopos.id, polemik yang terus berkembang di masyarakat tersebut, membuat Ustad Syaifuddin Mateka buka suara. Mateka menegaskan, usulan mengenai pengunduran pelaksanaan tumbilotohe adalah isi ceramah yang disampaikan menjelang salat tarawih di salah satu masjid di Gorontalo. Akan tetapi ceramahnya tersebut dikutip dan lantas ditayangkan di salah satu media cetak edisi Kamis, 9 Mei 2019.
“Isi ceramah saya itu dibuat menjadi berita tanpa mengklarifikasi lebih awal terkait saran diundurnya perayaan tumbilotohe tersebut,” kata Ustad Syaifuddin Mateka saat ditemui gopos.id, Kamis (9/5/2019) sore.
“Saya menyampaikan itu waktu ceramah di salat tarawih selama 15 menit. Bahwa Nabi itu kalau di 10 malam terakhir ramadan, beliau ikhtikaf di masjid. Mengencangkan sarungnya, menghindari keluarganya, bahkan beliau ada urusan penting tidak akan keluar masjid,” tutur Ustad Syaifuddin Mateka menambahkan.
Nah, berbeda dengan masyarakat di era modern saat ini. Di malam-malam terakhir, justru digunakan untuk kegiatan di luar ibadah. Mereka lebih asyik menyaksikan kegiatan yang sifatnya seremoni dibandingkan beribadah di dalam masjid.
“Yang terjadi saat ini di Gorontalo justru di 10 malam terakhir banyak orang di luar masjid daripada dalam masjid. Mereka menyaksikan kegiatan-ketigan, di antarannya event tumbilotohe,” ungkapnya.
Ustad Syaifuddin Mateka tidak menyalahkan pelaksanaan tumbilotohe yang telah menjadi tradisi masyarakat Gorontalo. Tetapi dirinya berpendapat, tumbilotohe yang telah dijadikan sebagai even pariwisata, maka pelaksanaannya sebaiknya diundur sesudah lebaran. Dan hal itu tidak mengabaikan tradisi tumbilotohe di kalangan masyarakat Gorontalo pada tiga malam terakhir Ramadan.
“Tumbilotohe sudah menjadi tradisi yang turun-temurun. Kita kembali kepada hakikat yang sebelumnya,” ucap Ustad yang memberikan pendididkan agama di banyak sekolah tersebut.
Menurut Ustad Mateka, orang tua dulu di kala saat tumbilotohe, mereka memasang lampu di jalan untuk menuju masjid. Bukan diletakkan di tanah lapang. Untuk jumlah lampunya pun dipasang sesuai jumlah keluarga dalam rumah.
“Sebab dulu kan gelap, agar supaya mereka diberi penerangan di jalan. Atau apabila ada yang ingin mengantarkan zakat fitrah, maka panitia tahu tempat pengantaran. Nah kalau sekarang sudah dibuat event-nya. Hakikatnya sudah berubah. Maksud saya eventnya ini yang diundur pada malam ketupat. Bukan berarti tradisi tumbilotohe dihilangkan,” jelasnya.
Meski begitu, apa yang disampaikan Ustad Mateka baru sebatas usul semata. Bukan menjadi keputusan, sebab dirinya mengakui bahwa ia tak memiliki hak untuk memindahkan event tersebut.
“Saya tidak mengatakan memindahkan tradisi orang tua dahulu, tetapi waktu perlombaan tumbilotohe dipindahkan sesudah ramadan. Sekalian kita bisa bersilahturahmi,” tuturnya.
Sementara itu imbas pemberitaan pengunduran tumbilotohe, nama Ustad Syaifuddin Mateka menjadi sorotan netizen di berbagai media sosial. Bagi Ustad Syaifuddin Mateka hal itu tak terlalu ditanggapinya. Bagi Ustad Syaiufddin Mateka, media yang kurang tepat mengalimatkan hasil ceramahnya tersebut.
“Nah, orang yang mengangkat beritanya tidak tepat pengalimatannya hingga viral dimana-mana,” papar Ustad Mateka.
“Saya sudah baca itu. Ada yang menghujat, tapi saya bersyukur saya terima banyak pahala dari orang puasa. Sekalian klarifikasi yang saya sampaikan,” pungkas dai kondang Gorontalo itu sembari tersenyum.(luk)