Gorontalo, mimoza.tv – Anggota Forum Demokrasi Gorontalo (FDG) Umar Karim mengatakan, berbicara soal investasi tanaman sawit adalah hal yang rumit. Faktanya kata dia, sisi lain yang terjadi dari investasi tersebut adalah para investor berhadapan dengan rakyat jelata yang selalu kalah.
Bahkan soal sawit itu dirinya teringat beberapa tahun lalu di Buol, Toli-Toli, ketika salah satu perusahaan sawit ditangkap dengan bupati lantaran sawit yang bermasalah, dan berharap perusahaan itu tidak ada hubungannya dengan yang terjadi di Boalemo saat ini.
“Tadi sudah disebutkan bahwa kita punya Undang-Undang 39 Tahun 2015 tentang perkebunan. Undang-undang itu dibentuk tujuannya satu kesejahteraan petani. Pertanyaannya, apakah undang-undang yang kita jalankan di Boalemo ini sudah mensejahterahan? Ini perlu di uji,” ucap Umar saat tampil jadi narasumber di FGD yang ditayangkan Mimoza Tv, Senin (22/8/2022) malam.
Yang harus di uji itu kata Umar, contohnya soal perjanjian kerjasama pembangunan kebun kelapa sawit pola kemitraan program revitalisasi perkebunan antara PT AAS dengan koperasi tertanggal 11 April 2013. Isi perjanjian itu bahwa koperasi menyediakan lahan yang diperlukan 50 persen sebagai lahan plasma, dan 50 persen disediakan untuk lahan inti.
Inti dari pasal dua itu kata dia, ketentuan yang mengharuskan koperasi yang menyediakan lahan plasma dan kemudian juga menyediakan lahan inti secara proporsional 50 persen.
“Undang-undang kita tadi disebut permenpan tahun 2007 itu mengharuskan bahwa plasma itu paling kurang 20 persen. Lalu kemudian 70 persen adalah menjadi kewajiban perusahaan. Bahkan katakanlah perusahaan membebaskan lahan seluasnya 100 persen dan 20 persen-nya diberikan kepada petani. Itu amanah undang-undang. Tapi fakta berdasarkan perjanjian justru yang menyediakan tanah ini adalah petani,” imbuhnya.
Kenyataannya lanjut dia, separuhnya diambil perusahaan dan separuhnya tertinggal kepada petani, dan hal itu justru tidak sesuai dengan amanah ketentuan perundang-undangan.
Bahkan melihat klausul perjanjian itu juga Umar menyinggung soal Pak Taslim yang harus menyerahkan seluruh lahannya itu kepada pihak perusahaandan bahkan tidak mengerti apakah menerima sejumlah uang pembayaran dari tanah. Bahkan juga soal pengurusan surat HGU yang ternyata dibiayai sendiri dan menjadi hutang pemilik lahan tersebut.
Pak Taslim kata Umar, menyerahkan tanahnya seluas 50 persen sebagai INTI ke perusahaan, dan 50 persen menjadi tanahnya menjadi HGU utk PLASMA. Meski diserahkan ke perusahaan sebanyak 50 persen mendapatkan kompensasi dari perusahaan, akan tetapi faktanya tetap Pak Taslim sekarang tak lagi punya tanah lantaran tanahnya yang 50 persen diserahkan ke perusahaan, dan 50 persen-ya lagi menjadi HGU.
“Bayangkan orang yang punya lahan saja tidak mengerti bayaran dari lahannya yang dia serahkan ke perusahaan. Bahkan lebih parah lagi dalam perjanjian itu pemilik lahannya yang harus biayai urus surat HGU dan menjadi hutang pemilik lahan. Parah. Padahal di satu sisi pemerintah setempat harus punya kewajiban untuk melindungi rakyatnya agar tidak di tindas. Begitu juga dengan DPR setempat. Jangan bekerja individu, tetapi secara kolektif dan menggunakan hak angket, interpelasi, sebagai wujud dari fungsi pengawasan,” tegas Umar.
Dalam acara diskusi itu juga Umar mengatakan, harus dilakukan audit terhadap perusahaan sawit tersebut.
“Harus di audit supaya transparan,” singkatnya.
Terakhir Umar menyimpulkan, baik pemerintah daerah maupun DPRD gagal dalam fungsinya melindungi petani sawit.
Pewarta : Lukman.