Gorontalo, mimoza.tv – Terkait keabsahan Surat Keputusan (SK) Pemberhentian anggota DPRD Kota Gorontalo Masa Jabatan 2019-2024 atas nama Risman Taha yang beredar di media sosial (Medsos) akhirnya menemukan titik terang.
Karo Hukum Pemprov Gorontalo, Ridwan Hemeto, membenarkan soal SK Gubernur tersebut.
“Iya SK pemberhentian dari Gubernur itu betul,” kata Ridwan lewat telepon, Sabtu (26/10/2019), dilansir dari Kronologi.id.
Ridwan mengungkapkan, SK tersebut tertanggal 25 Oktober 2019 dan surat itu telah dikirimkan surat ke Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Kota (Dekot) Gorontalo.
“SK-nya sudah di antar ke Pemkot, kita juga sampaikan ke Wali Kota, dan juga ke DPRD Kota Gorontalo,” ungkapnya.
Sementara itu, menanggapi adanya Surat Keputusan Gubernur Gorontalo dengan Nomor : 37/01/X/2019 tentang Pengresmian Pemberhentian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo masa jabatan 2019-2024 tersebut, Feldi Taha, SH. selaku kuasa hukum Risman Taha mengungkapkan, terdapat kejanggalan atas SK Gubernur Gorontalo tersebut.
“Klien saya hingga saat ini masih berstatus Terdakwa, buka Terpidana,” ungkap Feldi saat menggelar jumpa Pers di kantor DPD II Partai Golkar Kota Gorontalo, Minggu (27/10/2019).
Dirinya menegaskan juga, telah melakukan gugatan ke PTUN karena ada hal-hal yang kurang objektif yang keluar dari pada SK tersebut.
“Jadi kalau objektif SK itu dikeluarkan, maka tidak demikian hasilnya. Dan jika benar pasti adil putusan itu. Saya lihat ada ketidakadilan dalam hal putusan SK itu,” kata Feldi didampingi Ketua OKK Partai Golkar, Erwin Rauf bersama dengan Totok Bahtiar sebagai Tim pemenang Partai Golkar Kota Gorontalo.
Menurut penafsiran hukum yang didalami dan pengalaman dirinya menangani kasus seperti ini, ternyata ada dugaan jika Gubernur mendapat bisikan atau masukan yang tidak benar.
“Ada unsur diduga ada masukan yang mungkin keliru yang memunculkan SK ini. Karena memang ada beberapa variabel yang harus dilalui kepada yang bersangkutan. Dalam hal ini kita tidak mengatakan Gubernur salah, saya tidak mengatakan itu, karena itu kewenangan beliau untuk mengeluarkan SK itu. Namun saja saya melihat mungkin ada informasi-informasi yang diterima Pak Gubernur yang keliru sehingga SK itu muncul,” ucap Feldi. Menurutnya, dalam PP Nomor 12 Permendagri tahun 2018 itu ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh Gubernur, dalam hal ini terkait penetapan klainnya harus melalui proses seperti pemotretan terhadap Terakwa, dan harus ada usulan dari pimpinan untuk dapat melakukan pemberhentian sementara.
“Bilamana pimpinan dewan berhalangan maka bisa dilakukan oleh Sekwan. Jadi tidak serta merta Pak Gubernur itu menerima dari aduan masyarakat, harus mempertimbangkan juga apa yang dilakukan oleh pimpinan Dewan. Nah di sini terjadi kontradiksi antara pemikiran kami dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur. Saya tidak keberatan apa yang dilakukan pak Gubernur karena itu kewenangan beliau akan tetapi kalau itu dilalui, maka akan ada perlawanan,” tandasnya.(luk)