Gorontalo, mimoza.tv – Ketua Tim Pembela Hak Imunitas Adhan Dambea (TPHI AD) Bathin Tomayahu mengungkapkan, kliennya Adhan Dambea selaku terdakwa dalam kasus pemcemaran nama baik telah menerima memori banding dari jaksa penuntut umum atau JPU.
Namun saja kata Bathin, dalam memori banding yang ia dan timnya pelajari, tidak ada hal-hal yang baru, tetapi justeru ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan fakta persidangan sebelumnya.
“Fakta persidangan pada hari Jumat 27 Mei 2022, saksi Mardun Sadue menerangkan bahwa pada saat merekam klien kami yang saat itu juga sedang diwawancarai oleh wartawan. Di depan majelis hakim dia mengatakan menggunakan alat perekam khusus. Kemudian hasil rekaman itu dia salin lagi ke telepon genggam hingga didengarkan oleh Pak Rusli Habibie. Telepon genggam itu yang dijadikan barang bukti di perkara itu. Makanya pada saat di pembelaan kami menolak barang bukti yang dihadirkan oleh JPU,” ucap Bathin diwawancarai Minggu (25/9/2022).
Menurut TPHI AD kata Bathin, telepon genggam itu bukan alat yang digunakan oleh Mardun, yang kemudia dalam proses pengadilan perkaranya tiba-tiba diputusan jadi terbalik seolah-olah Mardun menggunakan HP itu pada saat merekam.
Terhadap putusan Pasal 311 yang dibuktikan oleh majelis hakim lanjut Bathin, ada 4 kejadian terkait dengan rekaman, dimana rekaman itu sendiri dianggap bukan sesuatu lagi yang penting oleh majelis hakim.
“Karena menurut majelis taklim bahwa ketika klien kami selesai dari persidangannya Ibu Asri keluar dari ruang sidang kemudian diwawancarai wartawan, tempat itu dalam merupakan tempat yang umum, yang semua orang dapat mendengarkan dan mengakses segala macam apa yang disampaikan oleh klien kami. Yang beliau sampaikan juga terkait dengan masalah GORR,” ujarnya.
Maljelis kata Bathin, telah membuat suatu kesimpulan serta ada penafsiran.
“Di rekaman itu Pak Adhan tidak pernah memberikan statemen bahwa Rusli itu melakukan korupsi. Itu tidak pernah ada. Khususnya dalam rekaman kedua yang disampaikan majelis hakim ada empat kejadian itu. Yang pertama terkait dengan aliran dana di Majalah Tempo, kedua sidang Ibu Asri, yang ketiga masalah nenek moyang, dan yang keempat soal jagung. jagung-jagung itu. Jadi rekaman itu dianggap bukan sesuatu hal yang yang mereka pertimbangkan lagi untuk membuktikan Pasal 311,” urainya.
Kemudian apa yang disampaikan oleh klienya dan untuk meguatkan tuduhan ini, di pertimbangan majelis hakim bahwa harus dimintai ada prasyarat minimal SPDP.
“Dalam Pasal 311 tidak pernah ada syarat bahwa seseorang misalnya menuduhkan sesuatu perbuatan kemudian harus dia buktikan bahwa minimal ada SPDP. Ini kan sangat lucu, dan di SKB juga begitu. Pak Adhan kan sudah melaporkan. Maka yang baliknya itu kan sikap aparat penegak hukumnya. Bahkan sampai sekarang setelah dilaporkan, perkara itu pun tidak pernah ada kabar di SP3. Ini juga yang jadi yang jadi lucu,” tutur Bathin.
Apalagi sambung dia, hal itu dikaitkan lagi dengan kejadian pertama yang sudah dinyatakan tidak terbukti karena ada sumber beritanya dari Majalah Tempo dan laporan PPATK.
“Lucunya dikaitkan kejadian yang kedua bahwa ada aliran dana yang masuk ke rekening Rusli Habibie. Majelis hakim menafsirkan bahawa Pak Adhan sudah menuduh Rusli Habibie korupsi. Padahal dalam rekaman tidak pernah ada kalimat itu. Padahal mereka sendiri yang menegur para saksi ketika menerangkan suatu peristiwa pidana bahwa sesuatu yang sudah jelas dalam aturan dan undang-undag itu tidak boleh ditafsirkan lebih. Hakim menegur tidak boleh menggunakan analogi. Sementara dalam putusan ini dia malah menggunakan analogi,” tandas Bathin.
Ditambahkannya juga, dalam waktu dekat ini juga timnya bersama Adhan Dambea akan memasukkan kontra memori banding di Pengadilan Tinggi Gorontalo.
Pewarta : Lukman.