Oleh: Nurhadi Taha (Pegiat Literasi).
Saya semestinya sebagai Aparatur Sipil Negara harus dapat berbuat banyak untuk dapat membantu Para Tauwa Lo lipu ( Pemilik Negara). Kata lain, mereka yang berkuasa dan sederhananya membantu mereka para pemimpin Daerah dalam menyelesaikan sebuah problem di masyarakat.
Saya juga memohon naaf pada beberapa aktivis yang konon kabarnya sebagai kelompok penanganan Jaring Sosial Media Tauwa Lo Lipu, tulisan ini ada bagian dari refleksi dan juga Keluhan dan masukan warga yang masuk di beberapa laman facebook , WhatsApp dan media sosial yang saya kelola baik itu Pribadi maupun berupa Group Publik.
Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah Salah Satu Alternatif Langkah yang di tempuh oleh pemerintah Propinsi Maupun Kabupaten Dan Kota Yang di Atur melalui Permenkes No 9 Tahun 2020, ada juga aturan lainnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB. Di mana semua aturan ini mengatur tentang Tata Cara penagulangan Covid 19, Secara Berurutan. Dan Bukan Suatu kondisi untuk menghilangkan Covid 19 Di Gorontalo, Karena Covid 19 wabah Pandemi yang telah melewati batas batas benua dan Juga telah mendunia ( Baca: PSBB Skenario 280 Hari, Funco Tanipu).
Membaca Penerapan PSBB Gorontalo.
Dalam sejumlah data posisi Gorontalo pada posisi kasus Covid 19 di Indonesia masuk daerah penyebaranya dalam Kategori sedang, jika kita melihat presentase jumlah dan kasusnya secara nasional.
Di bandingkan beberapa daerah lainnya yang grafiknya setiap hari angka semakin bertambah pada Rabu 6 Mei 2020 jumlah ODP 3775 selesai 3596 dalam pemantauan 179 PDP total 168 selesai pengawasan 133 dalam pengawasan 35 ( Data Dikes Propinsi Gorontalo).
Pada pemetaan data ini Gorontalo termasuk daerah yang jumlah kasus kecil walau begitu keseriusaan pemerintah propinsi kabupaten dan Kota di Gorontalo menempuh langkah cepat mengambil langkah PSBB dengan Skenario pembatasan berbagai kegiataan penutupan pasar mingguan, pembatasan kegiatan keagamaan di semua tempat Ibadah, pembatasan Jumlah penumpang pada moda transportasi baik umum dan pribadi, pembatasan aktivitas warga di luar rumah mulai pukul 06.00 S/d 17.00 Wita , penghentian proses belajar mengajar di sekolah di alihkan dengan sistem belajar dari rumah, pembatasan aktivitas bekerja di tempat kerja di ganti dgn work from home.
Skenario ini tentu banyak mengadung resiko dan dampak secara sosial, ekonomi, konflik di masyarakat.
Di laman facebook, WhatsApp, dan juga sejumlah group sosial media banyak kritik dan juga keluhan yang di sampaikan warga dan saya mencatat beberapa keluhan itu.
1. Para tenaga Medis Dokter dan Perawat mereka kesulitan dalam melakukan aktivitas terutama moda transportasi umum yang telah di batasi oleh pemerintah. Sehingga ada seorang tenaga medis jalan kaki untuk mencari kenderaan bentor di saat dan kondisi jam pembatas PSBB. Padahal rumah sakit adalah salah satu layanan yang semestinya tak perlu di berlakukan jam pembatasan, kalaupun di lakukan pemerintah wajib untuk mensuport mereka minimal menyediakaan kenderaan operasional agar gaji mereka tak habis pada membayar bentor dan sejenis kenderaan lainnya. Apalagi kalau itu rumah sakit Swasta , dokter dan perawat , dan tenaga medis di gaji berdasarkan kinerja mereka jam masuk dan layanan merekapun telah di tentukan sebelumnya.
2. Ada beberapa karyawan mini market ysng terpaksa dirumahkan karena jam bekerja di batas hingga pukul 17. 00 WITA. Apalagi kalau mini market yang memberlakukan jam shift hingga malam, maka konsekwensi gaji mereka berkurang dan lainnya di rumahkan.
Maka semestinya Pemerintah juga harus melindungi mereka dengan beberapa kebijakan salah satu dengan menjamin untuk gaji tidak di kurangi dan juga tak ada karyawan di rumahkan melalui keputusan pemerintah dan berbagai kebijakan lainnya yang bisa mengobati perasaan cemas dan juga kehilangan pekerjaan dari beberapa karyawan mini market ini.
3. Pelarangan pasangan suami istri (Pasutri) berboncengan yang menurut sebagian orang telah melanggar hak hak dasar kemanusiaan apalagi sudah masuk padahal personal maka bisa saja ini melanggar “Hak Asasi Manusia”.
4. Penutupan pasar yang mengakibatkan kericuhan hingga di salah satu wilayah Kabupaten Gorontalo, Bupati di protes soal kebijakan ini karena tak ada jaminan secara kelembagaan pemerintah dalam kelangsungan hidup dari para pedagang.
5. Soal pelarangan aktivitas ibadah di mesjid yang menurut sebagian orang tak adil dalam bentuk penerapannya juga telah membuat kericuhan di tengah warga.
Catatan ini yang sempat ada dalam memori saya yang mungkin boleh di cerna oleh para pemangku kebijakan untuk dapat memberi jalan keluar dan terbaik bagi nasib mereka.
Saya juga tak mesti melayangkan ” Mosi Tak Percaya” pada para pemimpin di Gorontalo, karena saya berkeyakinan mereka Juga mengambil langkah yang arif bagi keselamatan warganya. Namun jalan Ikhtiar inilah yang di ambil sebagai sebuah bentuk toalitas untuk melawan pandemi Covid 19 di Gorontalo.