Gorontalo, mimoza.tv – Berdasarkan data di Pengadilan Tinggi (PN) Gorontalo, ada 616 permohonan surat keterangan tidak sebagai terpidana untuk syarat pengurusan bakal calon anggota dewan. Dari jumlah itu, ada 15 orang pemohon pernah dipidana. Dari 15 orang yang pernah terpidana itu, ada tiga diantaranya merupakan mantan narapidana dalam kasus korupsi.
Adanya eks napi korupsi yang bakal maju dalam kontestasi Pemilihan legislatif (Pileg) di Pemilu 2024 nanti, mendapat tanggapan dari masyarakat.
Menurut Iqbal Nasaru, tiga Caleg yang merupakan mantan koruptor itu tidak pantas atau layak dipilih dan duduk sebagai wakil rakyat baik sebagai legislator maupun senator. Salah satu tokoh masyarakat di Tilongkabila ini mengatakan, orang-orang yang duduk di kursi dewan itu adalah wakil yang terhormat.
“Namanya saja wakil rakyat yang terhormat. Jadi yang duduk itu harus orang yang terhormat dan punya integritas dan kapabilitas. Jadi para mantan koruptor ini tidak layak untuk di pilih,” ucap Iqbal, Kamis (8/6).
Meskipun ada aturan perundang-undangan yang memberi ruang atau karpet merah bagi mantan koruptor untuk nyaleg, kata dia apapun alasannya mereka tidak layak untuk di pilih.
“Bukan persoalan dia bertobat atau katakanlah kalimat tidak layak ini ditafsirkan sebagai sesuatu yang menghalang-halangi hasrat politik seseorang. Bukan juga soal diberi karpet merah atau tidak. Ini masalah moral, adab, dan integritas. Masalah sudah bertobat atau tidak itu masalah dia dengan Tuhan.
Sambung Iqbal, ada yang namanya logika hukum dan etika hukum.
“Di satu sisi kita mengedepankan etika politik. Dalam berpolitik itu kan ada yang namanya elektabilitas, integritas, kapabilitas seseorang. Bagaimana logikanya kalau mantan maling ini menjadi wakil rakyat. Sekali lagi ini menyangkut etika atau adab. Kesimpulannya mereka ini tidak layak dipilih dan duduk sebagai wakil rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, Dr. Catur Wido Haruni, S.H., M.Si., M.Hum dalam penjelasannya soal adanya aturan bahwa mantan narapidana kasus korupsi diperbolehkan mendaftar sebagai caleg) dalam Pemilu 2024 menilai, tidak ada yang salah atau keliru dengan aturan itu. Kata dosen dan ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini,yang salah adalah yang membuat aturan.
“Tentunya banyak mantan narapidana kasus korupsi yang ingin kembali berkecimpung di dunia politik. Kemudian dengan banyak siasat lahirlah peraturan ini karena kepentingan-kepentingan politik,” kata Catur dalam keterangannya seperti yang mimoza.tv kutip dari rri.co.id.
Ia menjelaskan, para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg sebab pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
“Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana,” paparnya.
Maka atas dasar itu, meski sudah lebih dari lima tahun penjara, jika yang bersangkutan secara terbuka menyatakan bahwa ia merupakan mantan terpidana ataupun koruptor, maka tetap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai caleg.
“Lalu jika melihat UUD 1945 Pasal 28J (1), dikatakan bahwa kita harus menghormati hak asasi orang lain. Namun pada Pasal 28J (2) dijelaskan pula, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain,” ujarnya.
“Walaupun semua orang memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik, tapi tidak semua orang masuk ke dalam kriteria tersebut. Jadi memang ada batasannya, termasuk kriteria pendaftar caleg ini,” imbuhnya.
Terakhir Catur menyampaikan, meski demikian, semua kembali kepada para pemilihnya atau rakyat. Sebab kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.
“Rakyat harus cerdas. Jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai. Lihatlah rekam jejak dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d itangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” tutup Catur.
Penulis : Lukman.