Oleh: Lukman Polimengo
Setiap 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Tapi di tengah derasnya arus digital dan dominasi budaya scroll, peringatan ini nyaris tak terdengar. Seolah tenggelam di antara notifikasi dan tren viral yang datang silih berganti. Ironisnya, kita adalah bangsa dengan sejarah literasi yang sangat agung—namun perlahan kehilangan akarnya.
Jika kita refleksi ke belakang, momen pertama turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah perintah mendirikan salat atau berpuasa. Melainkan satu kata sakral: “Iqra” – Bacalah, wahai Muhammad. Sebuah instruksi ilahiah yang menandai bahwa awal peradaban Islam dibangun dari fondasi literasi. Bacaan, ilmu, dan pemahaman adalah kunci transformasi umat.
Namun hari ini, bangsa dengan warisan “Iqra” itu justru berada di titik rawan literasi. Data World’s Most Literate Nations 2016 yang dirilis oleh Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat dan budaya literasi. Sebuah ironi besar di tengah penetrasi internet yang kini mencapai lebih dari 78% penduduk.
Digitalisasi telah membuka akses informasi, namun belum tentu membuka akses pemahaman. Banyak dari kita lebih memilih membaca caption ketimbang buku. Lebih percaya potongan kata-kata di Instagram dibanding pesan panjang dari pasangan hidup. Orang kini lebih mudah mengafirmasi isi hatinya melalui unggahan yang relatable, ketimbang membuka mushaf atau merenungi makna firman Allah yang tak viral tapi menyejukkan.
Krisis literasi hari ini bukan hanya tentang rendahnya minat baca, tapi juga menipisnya daya refleksi dan kritis dalam menerima informasi. Kita hidup di zaman di mana hoaks lebih cepat menyebar ketimbang hikmah, dan debat kusir di kolom komentar lebih menggema ketimbang diskusi bijak di ruang keluarga.
Bahkan dalam ranah personal, algoritma media sosial bisa menggoyahkan relasi. Orang bisa lebih percaya dengan akun anonim di TikTok daripada klarifikasi jujur dari pasangannya sendiri. Krisis ini bukan sekadar teknologi—tapi tentang rendahnya kualitas literasi emosional dan spiritual yang seharusnya dibentuk dari kebiasaan membaca yang mendalam.
Hari Buku Nasional seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Bukan sekadar nostalgia akan perpustakaan sekolah yang kini sunyi, tetapi sebagai ajakan untuk kembali merawat akal dan hati melalui budaya membaca. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan sekolah dan pemerintah. Perubahan harus dimulai dari rumah, dari komunitas, dari kesadaran pribadi.
Bacalah. Mulailah dari halaman pertama. Dari buku, dari mushaf, dari artikel reflektif. Karena di tengah dunia yang bising oleh suara-suara luar, literasi adalah jalan kembali menuju suara hati yang tenang….. Iqro.