Gorontalo, mimoza.tv – Fenomena live streaming di TikTok kian menjamur. Tak lagi eksklusif untuk selebritas atau konten kreator profesional, kini siapa saja bisa menjadi bintang dari balik layar ponsel. Mereka tampil rutin, menyapa penonton, bercanda, berbagi cerita, bahkan menari diiringi lagu viral sambil berharap “gift” mengalir deras.
Namun di balik gemerlap layar dan taburan emoji hati, ada ruang refleksi yang menarik: apakah ini murni hiburan, bentuk ekspresi, atau justru pelarian dari kesepian yang tak sempat diungkapkan?
Untuk mengulas fenomena ini lebih dalam, wartawan mimoza.tv berkesempatan mewawancarai Psikolog Digital, Alied Ali, yang juga dikenal sebagai pengamat perilaku daring masyarakat urban. Berikut petikan wawancaranya:
Pertanyaan:
Belakangan ini, banyak orang dari berbagai kalangan gemar tampil live di TikTok. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Alied Ali:
Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang digital menjadi tempat baru bagi manusia untuk merasa “dianggap ada”. Dahulu, validasi itu cukup dari keluarga, lingkungan, atau komunitas. Sekarang, ia bergeser ke layar. Live streaming adalah panggung yang memberi rasa dikagumi, bahkan dicintai—setidaknya secara semu.
Pertanyaan:
Apakah ini murni ekspresi diri atau ada kebutuhan psikologis yang belum terpenuhi?
Alied Ali:
Ekspresi diri, iya. Tapi seringkali yang mendorong itu bukan kreativitas, melainkan rasa sepi yang tak selesai. Di ruang live, seseorang bisa merasa didengar, disapa, bahkan dipuji. Bagi yang kesehariannya minim interaksi bermakna, ini terasa seperti oasis. Sayangnya, semakin sering live, justru semakin terlihat bahwa di dunia nyata, mereka kehausan atensi.
Pertanyaan:
Jadi, apakah live streaming bisa membawa dampak negatif?
Alied Ali:
Seperti pisau, ia tergantung bagaimana digunakan. Yang berbahaya adalah ketika live menjadi satu-satunya ruang di mana seseorang merasa dihargai. Ketika lebih nyaman bicara ke kamera daripada ke orang serumah, itu sinyal. Apalagi jika mulai tergantung pada “gift” dan komentar untuk merasa layak dicintai.
Pertanyaan:
Kenapa fenomena ini lebih sering dijumpai pada kelompok tertentu seperti remaja, ibu rumah tangga, atau pekerja lepas?
Alied Ali:
Karena mereka memiliki kombinasi waktu luang dan beban emosional. Remaja haus pengakuan, ibu rumah tangga sering kali merasa terisolasi, dan pekerja lepas hidup dalam tekanan eksistensi. TikTok menyediakan ruang ekspresi dan ilusi komunitas. Namun saat ilusi itu jadi satu-satunya kenyataan yang mereka nikmati, akan muncul ketimpangan antara dunia nyata dan digital.
Pertanyaan:
Banyak yang terlarut terlalu dalam, bahkan merasa disayang oleh para penonton. Bagaimana Anda melihat ini?
Alied Ali:
Itulah jebakan algoritma. Saya sering katakan:
“Sebab saat ia mengafirmasi perasaannya secara jujur, lalu datang ribuan hati—ia merasa dimengerti. Padahal, hati-hati itu bukan cinta sejati. Itu hanya hasil dari sentuhan jari, bukan ketulusan nurani. Dan di situlah ia perlahan terjebak—bukan pada orang, tapi pada ilusi perhatian.”
Live streaming bisa membuat seseorang merasa ‘dipeluk’ padahal hanya sedang disentuh oleh statistik. Ia merasa tidak sendiri, padahal yang menyapanya belum tentu benar-benar peduli.
Pertanyaan:
Apa yang bisa dilakukan agar fenomena ini tidak menjebak secara emosional?
Alied Ali:
Pertama, perlu kesadaran digital: mana yang realitas, mana yang representasi. Kedua, penting membangun komunikasi sehat di dunia nyata. Jangan buru-buru melarang seseorang live—lebih baik tanyakan apa yang sebenarnya ia cari. Dan terakhir, sempatkan hadir, mendengarkan, tanpa syarat, terutama untuk orang-orang terdekat. Kadang, mereka live bukan karena ingin viral, tapi karena tak tahu harus bicara pada siapa.
Penutup:
Live streaming tak bisa disalahkan. Ia hanya medium. Tapi ketika seseorang lebih merasa dicintai oleh ribuan penonton ketimbang oleh satu orang yang serumah, maka barangkali yang rusak bukan aplikasinya—melainkan jembatan empati di dunia nyata. Dan seperti yang dikatakan Psikolog Alied Ali, “yang membuat kita benar-benar tersesat, bukan algoritma—tapi perasaan yang tak lagi punya tempat untuk pulang.”