Gorontalo, mimoza.tv – Seperti bayang-bayang yang terus mengikuti langkah, jejak perjalanan Marten Taha selama menjabat sebagai Wali Kota Gorontalo kini satu per satu ditelusuri hukum. Kamis (24/4/2025), Marten kembali melangkahkan kaki ke Kantor Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Ia dimintai keterangan terkait dugaan penyelewengan anggaran perjalanan dinas (perjadis) yang terjadi semasa ia memimpin kota ini.
Kasus ini bukan muncul dari ruang hampa. Namanya mencuat dalam persidangan perkara gratifikasi proyek peningkatan Jalan Nani Wartabone — jalan yang dulu dikenal sebagai Jalan Pandjaitan di Kelurahan Limba U1, Kota Gorontalo. Di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Hubungan Industrial (PHI) Gorontalo, benang kusut perjadis mulai terurai.
Kepada jaksa penuntut umum, Marten menyebut bahwa dalam satu tahun, ia bisa melakukan perjalanan dinas hingga 14 kali. Dana untuk perjalanan itu, menurut pengakuannya, awalnya bersumber dari pinjaman Bagian Umum Pemerintah Kota, dan kemudian diganti dengan transfer ke rekening pribadinya usai perjalanan rampung.
Namun cerita itu tak selaras dengan kesaksian ajudannya. Di hadapan majelis hakim, sang ajudan justru menyebut bahwa dana tersebut berasal dari pihak swasta—PT. Mahardika, melalui almarhum Antum, bukan dari kas Pemkot.
Pernyataan yang saling berseberangan itu menambah rumit simpul persoalan. Jaksa terus menggali dan membandingkan keterangan demi menemukan titik terang dalam kabut perjalanan dana negara ini.
Marten sendiri tercatat sudah dua kali memenuhi panggilan penyidik Kejati Gorontalo. Dan ia bukan satu-satunya yang diperiksa. Sejumlah pejabat Pemkot Gorontalo turut dipanggil untuk memberikan keterangan, di antaranya Plt Sekretaris Daerah, Ismail Madjit, serta Ryan Kono — mantan Wakil Wali Kota Gorontalo yang pernah mendampingi Marten di periode 2019–2024.
Dugaan penyelewengan anggaran perjadis ini membuka kembali diskusi lama tentang integritas dalam birokrasi. Tentang bagaimana perjalanan demi kepentingan negara, bisa saja menyimpan cerita yang berbeda di balik laporan dan kuitansi.
Kini, saat sorotan publik kembali tertuju pada jejak-jejak lama itu, masyarakat hanya berharap satu: keadilan berjalan seterang jalan yang pernah diperbaiki dengan dana rakyat.
Redaksi.