Gorontalo, mimoza.tv – Setiap tanggal 7 Syawal, masyarakat Gorontalo menggelar tradisi Lebaran Ketupat, sebuah perayaan khas yang menyatukan silaturahmi, syukur, dan nilai-nilai kebudayaan. Dirayakan sepekan setelah Idulfitri, momen ini menjadi salah satu kekayaan budaya yang terus hidup dan berkembang lintas generasi di daerah pesisir maupun pedalaman.
Asal Usul dan Sejarah
Tradisi Lebaran Ketupat di Gorontalo diyakini sebagai hasil akulturasi budaya Islam dengan kearifan lokal. Perayaan ini berkaitan erat dengan pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawal, yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah menyempurnakan puasa tersebut, masyarakat merayakannya dengan menyajikan ketupat sebagai simbol kemenangan dan hati yang kembali bersih.
Menurut catatan sejarah, masyarakat keturunan Jawa-Tondano (Jaton) yang datang ke Gorontalo pada tahun 1909 menjadi salah satu pelopor pelestarian tradisi ini. Mereka merupakan kelompok transmigran dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, yang menetap di sejumlah desa seperti Kaliyoso, Roksonegoro, Mulyonegoro, dan Yosonegoro.
Dalam jurnal berjudul Nilai Pendidikan dalam Tradisi Lebaran Ketupat Masyarakat Suku Jawa-Tondano di Gorontalo, Muh. Arif dan Melki Y. Lasantu menyebutkan bahwa kupatan merupakan puncak acara Syawalan, yang biasa digelar pada 8 Syawal, sebagai bentuk syukur atas keberhasilan menahan hawa nafsu selama Ramadan dan puasa Syawal.
Makna Filosofis di Balik Ketupat
Lebaran Ketupat bukan hanya tentang makanan. Ketupat yang disajikan memiliki makna mendalam:
Anyaman daun kelapa melambangkan kerumitan dan kesalahan dalam hidup manusia.
Isi nasi putih menggambarkan hati yang bersih dan suci.
Bentuk segi empat mencerminkan kesederhanaan dan keseimbangan batin.
Ketupat disajikan bersama beragam lauk khas Gorontalo, seperti ikan bakar, ayam rica-rica, sayur santan, serta menu lain seperti nasi bulu (nasi bambu), dodol, kue mendut, serabi, koa, hingga daging ayam dan sapi.
Tradisi Kolektif dan Ritual Keagamaan
Lebaran Ketupat menjadi ajang kebersamaan. Masyarakat berkumpul di rumah, lapangan, bahkan pesisir pantai seperti di Bone Bolango dan kawasan Danau Limboto. Makanan yang disiapkan bersama biasanya dikumpulkan di masjid untuk didoakan terlebih dahulu, sebelum disantap bersama dan dibagikan kepada yang membutuhkan.
Beberapa komunitas juga menyelenggarakan zikir (modutu) sebagai wujud rasa syukur atas berkah yang diterima selama Ramadan dan awal bulan Syawal.
Merawat Warisan di Tengah Modernitas
Di era modern, Lebaran Ketupat tetap bertahan sebagai ikon budaya dan religiusitas masyarakat Gorontalo. Tidak hanya dirayakan oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh pendatang dari daerah lain seperti Manado, Bitung, Makassar, dan sekitarnya.
Perayaan ini tidak hanya merefleksikan keberagaman budaya di Indonesia, tetapi juga menunjukkan bahwa tradisi bisa menjadi media perekat sosial dan sarana pendidikan nilai bagi generasi muda.
Penulis : Lukman.
Dari berbagai sumber.