Mimoza.tv – Di jagat birokrasi, ada dua istilah yang kerap bikin publik rancu: penyertaan modal (saham Pemda) dan RKUD (Rekening Kas Umum Daerah). Bedanya ibarat antara sertifikat rumah dengan tabungan di ATM. Sama-sama disebut “milik daerah”, tapi cara kerjanya jauh berbeda.
Mari kita ambil contoh fiktif: Pemda Konoha yang menyimpan kas daerah di Bank Semua Gembira. Pemerintah daerah ini juga tercatat sebagai pemegang saham bank tersebut. Suatu hari, Pemda Konoha memutuskan: “Mulai tahun depan, RKUD kami pindahkan ke bank lain.”
Lantas muncul tanya di kalangan publik: apakah pemindahan RKUD sama dengan menarik saham?
Jawabannya tegas: tidak otomatis. Memindahkan RKUD hanya memindahkan uang operasional harian daerah—buat gaji ASN, bayar proyek jalan, atau sekadar beli kopi di sekretariat. Sedangkan saham Pemda di bank itu adalah modal permanen yang tak bisa serta-merta ditarik kecuali lewat prosedur panjang, harus lewat persetujuan DPRD hingga izin regulator.
Alur Panjang Menarik Saham Pemda
Kalau Pemda Konoha betul-betul ingin menarik sahamnya dari Bank Semua Gembira, maka jalannya berliku:
- Persetujuan DPRD. Harus lewat mekanisme politik di legislatif daerah.
- Kajian keuangan. Apakah penarikan itu menguntungkan atau justru merugikan keuangan daerah.
- Persetujuan regulator. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus ikut menilai, karena ini menyangkut stabilitas perbankan dan struktur kepemilikan bank.
- Restu pusat. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) punya suara, tapi tidak bisa berdiri sendiri. Jika hanya Kemenkeu yang “oke”, sementara OJK dan BI menggeleng, maka proses tetap mentok.
Satirenya jelas: menarik saham Pemda dari bank itu tidak semudah narik tabungan di ATM. Kadang lebih mirip antre di kantor layanan publik—satu loket bilang “silakan lanjut”, loket sebelah malah bilang “lengkapi syarat dulu”.
Dampaknya ke ASN: Kredit Jadi Was-Was?
Nah, bagaimana dengan para ASN Konoha yang sudah terlanjur ambil kredit di Bank Semua Gembira?
Tenang saja—kontrak kredit jalan terus. ASN tetap wajib setor cicilan, tak peduli RKUD dipindahkan atau tidak. Bedanya, jika gaji mereka tak lagi ditransfer lewat Bank Semua Gembira, mungkin ada tambahan repot: geser rekening, ubah potongan otomatis, atau sekadar antre lebih panjang di teller.
Tapi, jangan lupa, bank juga tak mau kehilangan debitur manis dari kalangan ASN. Bisa jadi malah muncul promo baru, suku bunga lebih ramah, atau fasilitas lebih manis agar para pegawai tetap bertahan.
Risiko di OJK SLIK
Namun, ASN juga mesti waspada pada catatan kredit mereka di OJK SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan).
Jika karena perpindahan RKUD terjadi keterlambatan bayar cicilan—misalnya auto-debit tidak berjalan lancar—maka skor kredit ASN bisa tercoreng. Sekali sudah tercatat bermasalah di SLIK, efeknya panjang: pengajuan kredit berikutnya di bank mana pun bisa ditolak. Artinya, kebijakan pemindahan RKUD yang administratif bisa berimbas personal pada reputasi finansial ASN.
Plus-Minus bagi Pemda dan Publik
- Plusnya, Pemda Konoha bisa memilih bank yang lebih efisien, lebih transparan, atau lebih berani kasih bunga tinggi untuk kas daerah. Kas daerah jadi lebih produktif.
- Minusnya, Bank Semua Gembira kehilangan dana murah yang selama ini jadi tumpuan. Kalau sampai bank terguncang, imbasnya bisa ke pelayanan kredit masyarakat—termasuk ASN sendiri.
Di sinilah satirenya: pemerintah daerah sering merasa memindahkan RKUD itu seperti “menarik modal”. Padahal yang ditarik hanya tabungan, bukan kepemilikan saham. Sama halnya dengan tetangga yang marah lalu memindahkan uang arisan, padahal sertifikat tanahnya masih nyangkut di koperasi yang sama.
Editorial
Publik berhak paham: antara kas daerah dan modal daerah ada garis tebal yang tak boleh dicampur. Jika setiap pemindahan RKUD dianggap setara dengan tarik modal, maka logikanya akan jungkir balik. Bank bisa sehat secara modal tapi megap-megap di likuiditas; Pemda bisa gagah memindahkan rekening tapi tetap terikat jadi pemilik saham.
Kesimpulannya:
- Secara normatif, pemindahan RKUD atau penarikan saham sah-sah saja, asal lewat prosedur hukum yang benar.
- Secara risiko hukum, peluang masalah muncul jika ada indikasi gratifikasi, konflik kepentingan, atau manipulasi harga saham.
- Secara politik, kebijakan ini mudah dibaca publik sebagai “aksi balas dendam” atau “bargaining”, bukan keputusan rasional.
- Secara sosial, ASN bisa jadi korban tak langsung, mulai dari kerepotan administrasi hingga risiko tercoreng di OJK SLIK.
Dan ASN? Mereka tetap berada di posisi klasik: rajin bayar cicilan, rajin antre di teller, sambil berharap para pejabat paham membedakan antara ATM dan sertifikat rumah.