Oleh : Dr. Funco Tanipu, M.A
(Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
“Forever young, I want to be forever young. Do you really want to live forever, forever and ever?. Forever young, I want to be forever young. Do you really want to live forever? Forever young.”
Lantunan Forever Young – Alphaville sungguh pas! Lagu ini lagi hype dalam satu tahun terakhir ini. Walaupun dikreasi tahun 1984, tapi lagu ini menjadi tren di Tiktok maupun Instagram, hampir semua konten menggunakan lagu ini sebagai pengiring. Forever young artinya “selamanya muda” merupakan tren yang menggambarkan seseorang ingin terus muda atau telah kehilangan masa mudanya. Lagu ini setidaknya telah mengaburkan soal usia, generasi dan paling tidak batas tua-muda. Banyak yang tak sadar ketika lagu ini selalu menjadi FYP di Tiktok, lambat laun memorinya yang biner soal tua vs muda tak lagi relevan. Semua menjadi muda, semua ingin muda. Kalau kata beberapa kalangan, “biar tua yang penting masih basantan”, artinya “basantan” asih bisa dikategorikan muda, kuat dan prima.
Lalu hubungannya apa dengan tulisan ini, utamanya dengan judul ‘Orang-orang Kalah”?. Kita harus periksa dengan seksama bahwa yang terpilih hari ini adalah politisi yang tak muda lagi. Mulai dari dari nasional misalnya, Prabowo terpilih menjadi Presiden setelah tiga kali kalah dalam Pilpres. Usianya pun sudah 73 tahun.
Di Gorontalo pun demikian, orang-orang yang telah kalah berulang-ulang, hampir kehabisan nafas karena berusia senja. Gusnar Ismail contohnya, ia kalah tahun 2011 pada Pemilihan Gubernur, usianya sudah memasuki 65 tahun. Sofyan Puhi juga pernah kalah di Pilkada Kabupaten Gorontalo, usianya 61 tahun. Adhan kalah dua kali pada Pilwako, usianya 66 tahun. Roni Imran juga pernah kalah di Gorontalo Utara, usianya barusan masuk 57 tahun. Rum Pagau pernah kalah di Pilkada Boalemo, mencoba jalur legislatif juga kalah, kini usianya 63 tahun. Hingga Ismet Mile yang paling banyak menorehkan prestasi kalah di Bone Bolango. Usianya pun tertua yakni 75 tahun.
Bisa jadi, kalau mereka kalah lagi di Pilkada 2024 ini, mereka akan tutup buku politik, sebab usia biologis mereka tak muda lagi. Untungnya, mereka terpilih lagi. Artinya, keterpilihan tidak linier dengan usia, bahwa jumlah pemilih muda (milenial dan Gen Z) yang dominan bahkan lebih dari 50 % pemilih, rupanya tidak serta merta menjatuhkan pilihan pada yang sebaya, atau masih muda.
MENGAPA MEREKA MASIH DIPERCAYA?
Lalu apa yang bisa dipelajari dari mereka itu? Mereka terpilih karena berbagai faktor ; Pertama, mereka belajar dan merefleksikan betul bagaimana mereka kalau lalu, apa yang harus diperbaiki dan termasuk akan berkawan dengan siapa untuk menang. Kedua, mereka adalah muara dari harapan rakyat untuk memperbaiki daerah setelah kekecewaan berulang-ulang pada periode kepemimpinan sebelumnya, mereka dianggap sebagai anti tesis petahana. Ketiga, publik masih merekam dan mencoba membandingkan secara antar apa “yang baik” dari periode kepemimpinan mereka lalu dengan petanaha yang ada serta penantang baru. Publik sepertinya tidak ingin “gambling” dengan wajah baru ataupun yang belum ada bukti. Hal lain yang bisa dipelajari yakni bahwa kepuasan publik terhadap petahana (incumbent) sepertinya kurang memuaskan, sehingga diantara calon yang tersedia, memori public masih memilih mereka yang pernah memimpin dan ingin memberikan kesempatan untuk membuktikan mimpi dan keinginannya.
Keempat, karena menganggap sebagai laga terakhir dalam rentang usia biologis, mereka telah menghujamkan keyakinan dalam batin untuk “tootutuwa” dan “toopateya”. Pada dua semangat tersebut, doa mereka “malooma hulungo”. Kelima, sikap “tootutuwa” dan “toopateya” inilah terpatri pula pada tim pemenangan mereka-mereka tersebut, mereka lebih gigih dan bahkan ideologis karena tidak ingin merasakan lagi pedihnya kalah secara politik. Dari kedua sikap tersebutlah jiwa korsa (semangat daya juang atas dasar persamaan rasa persaudaraan, persahabatan, dan kekompakan) tim terbentuk lebih solid dan gigih dibandingkan tim-tim lain.
Nah, yang paling kelima ini yang menarik, apakah faktor usia linier dengan pilihan dalam Pilkada? Sepertinya tidak. Klaim bahwa penentu Pilkada adalah generasi milenial dan Gen Z sepertinya tidak linier dengan asumsi bahwa kalangan ini cenderung menyukai dan memilih kandidat yang berusia lebih muda. Pada variabel ini, kalangan milenial dan Gen Z sepertinya mengikuti kaidah kepemimpinan Gorontalo yakni “moodelo”. Moodelo ini bisa berarti sifat yang baik, rekam jejak yang baik dan tentunya bisa mengayomi. Apakah mereka-mereka tersebut adalah yang mmeiliki sifat moodelo? Tidak juga. Tapi mereka berhasil melakukan rebranding atau bahasa kasarnya “daur ulang” setelah brand mereka dianggap gagal saat mereka kalah lalu. Mereka berhasil mendaur ulang profile diri dan merepresentasikan hal tersebut selama kampanye dan hingga hari pencoblosan.
KEPERCAYAAN PUBLIK DAN KESEMPATAN KEDUA
Pertanyaannya, lalu setelah kalah berulang-ulang, jatuh bangun, “amper abis” dan semua kesedihan yang telah ditanggung selama ini, hingga pada akhirnya memenangkan hati rakyat untuk mengemban amanah kedepan, apa yang harus dilakukan? Harus diingat bersama, bahwa dibandingkan memilih petahana, dan juga kandidat yang lebih segar, publik lebih memilih mereka-mereka yang pernah memimpin namun pernah gagal, sebab rakyat ingin memberikan kesempatan kedua kepada mereka-mereka diatas untuk membuktikan keinginan dan mimpinya. Ini berarti, kesempatan kedua adalah pertaruhan besar bagi mereka-mereka tersebut, jika gagal lagi, maka akan lebih sakit lagi perasaan publik dan tak segan-segan akan melakukan hukuman politik atas kesedihan kedua kalinya.
Karenanya, maka perlu dirumuskan lagi, apa yang harus dilakukan setelah mendapatkan kesempatan kedua kali ini.
Pertama, bagi sebagian orang pengalaman kalah menyakitkan, tapi sepertinya mereka-mereka tersebut sudah tidak bisa merasakan lagi apa arti sakit tersebut, sebagaimana Raymond Reddington dalam serial Netflix “Blacklist” mengutarakan ; “Bagiku kalah itu adalah pengisi waktuku agar aku bisa terus belajar, hingga pada satu titik, aku selalu tertawa saat kalah”. Tetapi harus dipisahkan kalah saat bertarung di Pilkada, dan kalah saat tidak berhasil mengemban amanah rakyat. Jangan sampai, kesempatan (bisa saja momen terakhir) ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat.
Kedua, mengapa mereka-mereka yang pernah kalah tersebut berhasil menang dan mendapat kepercayaan (lagi). Sebab, publik berharap tidak kecewa lagi untuk kesekian kalinya, sebagaimana mereka telah kecewa pada periode sebelumnya. Apakah mereka-mereka yang telah kalah ini, mau menyia-nyiakan amanah dan kesempatan ini? Publik ingin setiap periode ada legacy dari setiap kepemimpinan. Legacy yang dimaksud itu dalam kacamata publik sederhana, kalau ada pesta keluarga si kepala daerah datang, jika ada pesan WA segera balas, jika janji segera tuntaskan, dimintai tolong segera ada tindakan, bsntuan lancar, pokoknya yang praktis-praktis dan sederhana. Secara garis besar, bagi pemilih dari kelompok ekonomi menengah-bawah, “bisa makan dan punya tempat tinggal layak” adalah persoalan nyata yang mereka hadapi setiap hari. Isu kesejahteraan merupakan basis bagi kelompok warga saat memberikan pilihan politik. Konsekuensi dari keterkaitan ini adalah munculnya calon-calon pemimpin yang menawarkan program populis. Warga dari kelas ekonomi bawah cenderung menyukai kontestan seperti ini—yang mereka anggap bisa segera menawarkan solusi atas persoalan ekonomi sehari-hari mereka. Mereka-mereka yang telah kalah lalu dan menang, mampu mengelaborasi hal tersebut secara lebih sederhana dalam alam bawah sadar pemilih.
Secara makro tentunya menekan angka kemiskinan ekstrem, menekan laju inflasi, mengurangi angka pengangguran, memperbaiki indeks kesehatan dan pendidikan serta upaya-upaya wajib dan pilihan pemerintah.
Ketiga, bahwa mereka-mereka yang telah terpilih ini dilihat publik bukan sebagai yang terbaik dan ideal, bukan itu. Tapi (bisa saja), mereka adalah figur yang dianggap (masih) bisa diharapkan di antara calon yang tersedia. Karena itu, mewariskan legacy sangatlah penting, apalagi pada kondisi fiskal yang serba terbatas : bayar hutang PEN, belanja aparatur yang tinggi, belum lagi biaya P3K yang harus ditanggung daerah, target dari pusat yang tinggi, pajak yang naik 12 %, upah minimum yang dinaikkan hingga 3.2 juta untuk Gorontalo, dan banyak variabel kompleks lain yang akan menjadi tantangan bagi mereka-mereka yang pernah kalah dan terpilih lagi.
Oleh karena itu, keterpilihan pada 27 November 2024 kemarin bukanlah “kemenangan hakiki”. Ini bukanlah akhir yang diharapkan, atau bagi sebagian kalangan “yang penting menang dulu”. Jika itu logika dasar yang terbangun akibat efuoria kemenangan sehari, maka itulah awal dari gejala rezimentasi yang bisa berujung “kekalahan”. Artinya, menang di Pilkada, kalah di periode kepemimpinan (menang tapi kalah). Sehingga secara kultural, harusnya pada akhir periode nanti ditutup dengan “hepo hiyonga liyo”, bukan “hepo tatadiyawa liyo”.
Sebagai penutup, kepada mereka yang kini telah mendapatkan “kesempatan kedua”, maka pada akhir periode, jika momen “hepo hiyonga liyo” terjadi, bisa selaras dengan salah satu bait pada lagu Forever Young :
“Can you imagine when this race is won”.
“Turn our golden faces into the sun”.
“Praising our leaders, we’re getting in tune”.