Oleh: Redaksi
Ada suara keras terdengar dari kejauhan, bak guntur di musim kemarau. Menggelegar, namun tak disertai hujan yang menyuburkan. Seorang tokoh opini menurunkan narasi tajam tentang realisasi pendapatan Kota Gorontalo, menudingnya sebagai “tamparan keras” bagi tata kelola keuangan daerah. Katanya, ibu kota provinsi ini hanya “tate-tate” urus duit rakyat. Bahasa yang barangkali terdengar menghibur bagi segelintir audiens yang menyukai aroma gosip dalam balutan statistik.
Namun, mari sejenak bertanya—di balik amarah dan angka, adakah keinginan tulus untuk membangun, atau sekadar membakar jerami agar tampak seperti api besar?
Angka adalah anak dari proses, bukan sekadar produk kebetulan. Capaian 18,16% dalam triwulan pertama bukanlah angka yang ditutupi atau dibanggakan, melainkan bagian dari mekanisme fiskal yang punya ruang koreksi. Dalam dunia kebijakan publik, tidak semua yang lambat adalah keliru, dan tidak semua yang cepat berarti unggul. Kadang, anak panah yang ditarik lebih jauh justru melesat paling jauh saat dilepas.
Sayangnya, opini yang dimuat oleh sebuah media—yang ironisnya tak menyertakan alamat redaksi atau penanggung jawab, bagai kapal tanpa nahkoda—menghakimi dengan gegabah. Menyebut rapor merah tanpa menyebut ujian apa yang sedang dihadapi. Membangun narasi krisis tanpa mendengar suara dari ruang kerja yang tiap hari berpeluh menyusun strategi pemulihan fiskal.
Jika memang ingin memberi kritik, berilah pula jalan. Jika menyentil kekurangan, jangan enggan mengakui bahwa banyak variabel di luar kendali daerah—mulai dari dividen BUMD yang belum cair, hingga program insentif pusat yang memotong potensi penerimaan. Menuding tanpa mengurai konteks, ibarat menghakimi buah yang belum matang dari pohon yang baru tumbuh satu musim.
Kami tak keberatan dikritik. Yang kami tentang adalah kritik yang lahir bukan dari keprihatinan, tapi dari kepentingan.
Jangan jadikan kemiskinan data sebagai ladang kesimpulan. Jangan pula gunakan bahasa yang tak semestinya keluar dari mulut seorang yang mengaku peneliti, pendidik, dan pengamat hukum. Bila benar ingin “membangun Gorontalo dengan cara yang baik dan benar,” mari mulai dengan literasi publik, bukan literasi provokasi.
Kritik dari kursi tinggi memang menggoda, apalagi jika hanya melihat dari laporan yang diketik dari balik meja, tanpa turun mengamati langsung seperti petani yang mengukur hasil panen, bukan hanya dari berat gabah, tapi juga dari cuaca, benih, dan musim.
Sebagai penutup, kami tidak sedang menghindar dari masalah. Kami justru mengundang dialog. Tapi marilah berdialog dengan akal sehat, data yang sahih, dan semangat membangun, bukan dengan semangat menjatuhkan demi eksistensi pribadi.
Karena membangun Gorontalo bukan panggung satu orang. Ini panggung semua pihak yang hatinya tidak hanya bergetar ketika melihat angka, tapi juga ketika melihat harapan.