Gorontalo, Mimoza.tv — Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melakukan pengawasan lapangan terhadap ketersediaan pasokan dan harga beras di Provinsi Gorontalo. Pemantauan dilakukan langsung oleh Anggota ORI Yeka Hendra Fatika selama dua hari ke petani padi, penggilingan padi, pasar tradisional, dan gudang Perum Bulog Cabang Gorontalo.
“Pemantauan kami menemukan sejumlah kejanggalan dalam rantai distribusi beras di Gorontalo,” ungkap Yeka, Kamis (11/9/2025).
Petani Jual Beras Langsung, Bukan Gabah
Menurut Yeka, petani di Gorontalo umumnya tidak menjual gabah ke penggilingan atau tengkulak, melainkan langsung menjual beras jadi dengan harga rata-rata Rp15.000/kg.
“Artinya, tidak ada masalah dalam produksi padi karena stok beras petani cukup. Tapi ongkos produksi usaha tani ternyata tidak sebanding dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah,” jelasnya.
Harga Pasar Melewati HET
Dari hasil pemantauan di pasar tradisional, Ombudsman menemukan beras dijual secara curah tanpa pengkategorian medium dan premium sebagaimana diatur pemerintah.
Harga beras termurah tercatat Rp13.500/liter atau Rp15.500/kg, sedangkan termahal Rp14.500/liter atau Rp16.500/kg. Padahal, sesuai Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 299 Tahun 2025, HET beras untuk Gorontalo ditetapkan Rp13.500/kg untuk beras medium dan Rp14.900/kg untuk beras premium.
“Sejak bulan lalu harga terus naik, rata-rata Rp15.500/liter untuk berbagai jenis beras,” ujar Yeka.
Penyaluran Beras SPHP Belum Efektif
Yeka juga mengungkap pedagang kesulitan menjual beras SPHP dari pemerintah karena disparitas harga.
“Polri dan TNI menjual SPHP seharga Rp60.000 per 5 kg, sedangkan pedagang menjual Rp62.500 per 5 kg. Perbedaan harga ini membuat SPHP dari pedagang kurang laku,” bebernya.
Sementara itu, stok beras di gudang Perum Bulog Talumolo saat ini tercatat 2.531.184 kg, terdiri dari 1.835.834 kg beras luar negeri sisa 2024 dan 695.350 kg beras dalam negeri. Target penyaluran beras SPHP hingga Desember 2025 sebesar 4.090.000 kg, namun baru terealisasi 1.127.860 kg.
Kesimpulan Ombudsman
ORI menilai kebijakan HET belum efektif mengendalikan harga beras, karena harga riil masih lebih tinggi dari HET. Selain itu, ongkos produksi petani padi belum tercukupi jika harus mengikuti HET, dan penyaluran beras SPHP pun belum berjalan optimal.
“Fakta di lapangan menunjukkan ada ketidakseimbangan sistemik dari hulu hingga hilir yang membuat pasar beras di Gorontalo tidak stabil,” tegas Yeka. (rls/luk)