Oleh ; Funco Tanipu
Dalam seminggu terakhir, wacana soal toleransi banyak diperdebatkan. Mulai dari soal ucapan hari raya, hingga bagaimana sebaiknya toleransi dipraktikkan.
Di Gorontalo sendiri, soal toleransi bukan hal baru. Praktik toleransi di Gorontalo telah berurat dan berakar, serta memiliki catatan sejarah yang lama.
Di Gorontalo, toleransi bukan wacana “impor”. Toleransi di Gorontalo bersumber dari kebiasaan dan laku spiritual lokal.
Dalam sejarah kekerasan antar agama, belum pernah ada sejarah pembantaian yang berbasis agama. Memang pernah ada kejadian sentimen keagamaan di tahun 1992, yakni protes warga terkait kekeliruan oknum yang menggunakan kertas fotocopy yang bertuliskan ayat al Qur’an untuk membungkus sesuatu di tokonya. Namun, itu hanya terkait dengan oknum, bukan sikap kolektif.
Selain itu, praktik toleransi berjalan normal dan bahkan hidup. Terlihat di desa-desa yang memiliki banyak penduduk non muslim seperti Londoun, Karangetan, Kaaruyan, Banuroja dan banyak desa-desa yang memiliki keragaman, tidak ada praktik intoleransi yang terjadi seperti di daerah lain.
Kehidupan antar agama di desa-desa tersebut terbukti bisa berjalan secara normal selama puluhan tahun. Agama-agama berdampingan tanpa ada sentimen yang berlebihan.
Apa yang menyebabkan praktik toleransi di Gorontalo berkembang dan terus bertahan?
Salah satunya karena faktor pengetahuan lokal mengenai keadilan, penghormatan, penghargaan yang mengikat dan menjadi basis perilaku.
Intoleransi biasanya lahir dari ketidakadilan dalam distribusi ekonomi. Namun, di Gorontalo, distribusi keadilan dalam ekonomi telah dipraktikkan selama ratusan tahun.
Warga non muslim tetap beroleh hak sesuai dengan kerjanya. Tidak ada sentimen negatif dalam distribusi ekonomi.
Di Gorontalo ada prinsip Tayade yang menjadi basis distribusi ekonomi. Tayade bekerja dengan prinsip “olohiyo butuhiyo” (siapa yang bekerja, maka dia yang kenyang/cukup). Tayade adalah semangat berbagi, berkeadilan dan keikhlasan.
Dalam bermasyarakat, semangat Tayade sangat terawat. Misalnya jika ada hajatan satu keluarga, maka keluarga yang lain biasa mendapat hadiah makanan. Begitu juga dalam praktik pertanian dan perkebunan, semangat berbagi itu dipraktikkan.
Secara lebih makro, toleransi di Gorontalo berbasis pada prinsip “tolopani”. Tolopani adalah kearifan lokal pada penghargaan kepada sesama umat manusia. Tolopani adalah semangat untuk saling menghargai, memuliakan sesama manusia tanpa membedakan identitas masing-masing.
Di Gorontalo, dalam praktik politik, walaupun Islam adalah agama mayoritas, tapi memberi ruang politik pada politisi beragama lain tetap ada. Dalam banyak momentum politik, banyak anggota legislatif terpilih dari non muslim.
Dalam bahasa misalnya, non muslim tidak disebut dengan “kapiru” di Gorontalo, lebih banyak disebut dengan istilah “moopa” atau “bulawahu”. Lebih “halus” dalam pilihan kata.
Kenapa praktik toleransi di Gorontalo beroperasi secara aktif? Sebab, di era kolonial hingga pasca kolonial, warga Gorontalo banyak belajar soal ketidakadilan yang dipertontonkan kolonial. Soal praktek politik identitas, warga Gorontalo “sudah kenyang” dengan pengalaman itu sejak era Belanda.
Dulu, kolonial membedakan secara tegas relasi Gorontalo versus Minahasa. Belanda memisahkan hal ini dengan menggunakan agama sebagai batas pemisah. Dalam banyak catatan statistik, jumlah sekolah di Gorontalo yang dibangun kolonial lebih banyak di Minahasa dibandingkan Gorontalo. Begitu pula dengan pelajar yang dikirim ke Jawa untuk sekolah lanjut, lebih banyak Minahasa dibandikan Gorontalo. Termasuk penempatan elit politik dan distribusi ekonomi.
Dalam beberapa waktu, perbedaan itu memang sempat menjadi “narasi kebencian” antar etnis dan agama, namun katup kebencian itu tidak meletup karena prinsip “tolopani” di Gorontalo. Tolopani yang kental dengan “memaklumi” dan “pemakluman” menjadi semangat dasar bagi warga Gorontalo untuk mencari jalan dan celah agar narasi kebencian itu tidak meruncing.
Jalan pemisahan secara administratif lalu menjadi kanal menurunkan tensi yang menjurus pada praktik intoleransi. Awal tahun 2000 an, Gorontalo menjadi Provinsi. Narasi intoleransi pun disetop.
Pasca itu, setelah Gorontalo menjadi Provinsi, tak ada dendam maupun kebencian. Yang ada hanyalah penghargaan dan penghormatan. Tidak ada darah yang menetes, atau minimal perusakan rumah ibadah. Semua berjalan secara harmonis.
Pertanyaan yang lebih lanjut adalah sampai kapan toleransi ini bekerja dan dipraktikkan? Pada batas mana toleransi bisa dijalankan? Apa yang bisa mengganggu toleransi di Gorontalo?
Syarat toleransi yakni penghargaan. Tanpa itu toleransi akan menurun kadarnya. Kebencian akan meruncing dan bisa dimobilisasi oleh isu identitas jika ketentuan soal distribusi ekonomi dan politik tidak bisa diatur secara lebih adil.
Biasanya, narasi soal kebencian akan muncul jika ada hak-hak ekonomi kelompok mayoritas yang dipreteli. Ada juga isu kelakuan negatif oknum minoritas yang kemudian dilabeli jadi perilaku kolektif. Hal ini biasa yang mulai memperuncing kebencian personal menjadi kemarahan kolektif.
Yang perlu diatur adalah soal penguasaan secara monopoli basis industri dan alat-alat produksi. Biasanya, monopoli pada basis industri dan alat-alat produksi jika tidak disertai oleh distribusi yang adil dan penghargaan, malah akan membawa pada kondisi yang mempertajam persaingan.
Semangat untuk memperebutkan basis industri dan alat produksi perlu diatur secata lebib harmonis, agar tidak ada yang terlalu “serakah” dalam pengelolaan, apalagi hanya mementingkan ras dan agama tertentu.
Jika penghargaan pada batas, insting dan penguasaan bisa dikelola dengan baik, maka toleransi bisa bekerja secara jangka panjang.
Pada saat sekarang, memang mulai terlihat ada upaya saling menguasai dan mendominisi basis industri dan alat produksi, hal ini bisa berbahaya jika tidak berbasis pada prinsip keadilan. Hal ini yang akan mulai menjadi bibit kebencian dan mengarah pada provokasi anti A dan pro B.
Makanya, indeks kerukunan umat beragama yang dirilis oleh Kementrian Agama beberapa waktu silam terlihat kurang fair dan perlu ditelaah secara metodologis jika menempatkan Gorontalo berada pada peringkat 19 di antara seluruh Provinsi di Indonesia. Sebab, praktik keberagaman di Gorontalo terbukti memang harmonis, memiliki basis pengetahuan yang dalam dan memiliki ciri khas yang unik dibandingkan dengan Provinsi lain yang “peringkatnya” berada di atas Gorontalo.
Praktek toleransi di Gorontalo meruntuhkan teori umum yang dianut bahwa intoleransi itu lebih banyak terjadi di daerah yang homogen, dan toleransi lebih banyak terjadi di daerah yang heterogen. Hal itu terbantahkan dengan sejarah toleransi di Gorontalo yang homogen.
Gorontalo yang homogen malah mempraktikkan nilai-nilai toleransi yang berbasis pada kearifan lokal yang kuat. Bukan pada wacana toleransi yang sumber pengetahuannya berbasis pada kultur dan pengetahuan dari daerah dan negara yang sebelumnya dilanda pertikaian dan mengalami praktik intoleransi.
Toleransi di Gorontalo bersumber dari pengetahuan lokal yang berbasis spiritual, yang memang mengharuskan keadilan, kesetaraan dan keikhlasan menjadi pilar penting dalam kehidupan.