Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Sosiolog, Founder The Gorontalo Insitute)
Setiap 27 Juli, bangsa ini memperingati Hari Sungai Nasional. Penetapan ini berasal dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.407/MENLHK/SETJEN/PLA.0/7/2015. Seharusnya ini menjadi momen reflektif sekaligus strategis untuk menakar sejauh mana kita benar-benar menjaga urat nadi peradaban: sungai. Tema Hari Sungai tahun ini adalah “Sungai Kita, Hidup Kita”. Tema ini menjelaskan bahwa kalimat tersebut bukan saja soal seruan nasional, tetapi adalah alarm nasional bahwa sungai adalah sumber kehidupan manusia Indonesia yang telah membangun sejarah peradaban hingga spiritualitas kita.
Tema ini menarik, tetapi jika kaitkan dengan melihat persoalan kompleks tentang sungai, maka tema ini menjadi tidak relevan dan bahkan utopis. Sebab, kita tahu bersama bahwa sungai-sungai makin hari makin kehilangan daya dukung ekologisnya. Sungai-sungai besar di Indonesia kini tercemar, kacau tata ruangnya, dan bahkan dikuasai segelintir korporasi. Ironi ini seharusnya menjadi alaram nasional untuk membangkitkan kesadaran bersama. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia berada dalam kondisi rusak atau kritis.
Sungai bukan sekadar aliran air. Ia adalah ruang hidup yang membentuk orientasi rumah, bahasa, sistem pertanian, hingga nilai-nilai spiritual. Dalam pandangan antropologis, dulu masyarakat membangun rumahnya menghadap sungai karena air bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga pusat interaksi sosial dan nilai simbolik. Bagi mereka, sungai bukan saja halaman rumah, tapi juga sebagai pasar, jalan, tempat ibadah, dan tempat pembelajaran bagi anak-anaknya. Namun kini, sungai telah dibelakangi—secara arsitektural dan mentalitas—karena pembangunan memisahkannya dari kehidupan sehari-hari.
Di berbagai wilayah, sungai memiliki peran identitas yang kuat. MIsalnya sungai menjadi ruang ritual dan pusat kehidupan komunal yang dijaga dengan kearifan lokal, sungai hadir dalam sistem kosmologi sebagai penghubung dunia manusia dan alam. Bahkan sungai dianggap sebagai jalur utama pertukaran ekonomi dan nilai-nilai maritim. Semua itu memperlihatkan bahwa sungai tidak bisa direduksi sebagai objek fisik atau semata urusan infrastruktur.
KH. Abdullah Aniq Nawawi (Katib Syuriah PWNU Gorontalo) mengutip sumber dari Abdullah Jalghum, al-Mu’ja al-Mufahras as-Syamil Li’alfadz al-Quran al-Karim, pada halaman 1347, menyebutkan bahwa susunan huruf “Na-Ha-ra” (yg membentuk kosa kata nahrun/sungai) ada 123 kali di quran. Sedangkan lafadz sungai sendiri terulang 54 kali. Ini berarti sungai adalah anugerah juga sebagai simbol penyucian dan keberkahan. Hadis Nabi Muhammad SAW bahkan menyamakan shalat lima waktu dengan mandi di sungai yang menyucikan dari dosa.
Pada level hukum dan konstitusi negara, sungai adalah bagian dari kekayaan alam yang menurut Pasal 33 UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Realitanya malah sebaliknya, sungai justru dijadikan arena privatisasi yang kemudian menjadikan sungai dan sumber air sebagai ruang kapitalisasi, bukan lagi arena publik atau kehidupan bersama. Ini adalah bentuk kolonialisme baru atas air yang harus ditantang melalui pendekatan kesungaian yang menempatkan sungai sebagai entitas sosial, ekologis, spiritual, dan konstitusional.
Krisis Ekologi dan Tata Kelola Sungai
Gorontalo menjadi potret nyata bagaimana krisis sungai mencerminkan kegagalan sistemik pengelolaan sumber daya air secara nasional. Fitryane Lihawa dalam pidato pengukuhan Guru Besar menyampaikan bahwa Gorontalo memiliki 108 Daerah Aliran Sungai (DAS), terbagi dalam tiga wilayah utama: Paguyaman, Randangan, dan Limboto-Bolango-Bone. Dalam dua dekade terakhir, hampir seluruh DAS mengalami degradasi ekologis yang parah. Data dari menunjukkan bahwa lahan kritis meningkat dari 65.414 hektare (2004) menjadi 259.483 hektare (2020), terutama akibat konversi hutan menjadi perkebunan jagung dan tambang illegal. Alih fungsi lahan ini membuat DAS kehilangan daya resap air dan mempercepat aliran permukaan yang berujung pada banjir besar.
Selain itu, data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] 2017-2018 menunjukkan, pada kategori deforestasi hutan lindung [HL]: luasan yang hilang 1.009,1 hektar dan Gorontalo berada pada peringkat ke-13 di Indonesia.
Sementara itu, data dari Japesda Gorontalo menyebutkan bahwa dari 490.996.29 hektar wilayah Sungai Limboto, Bolango, dan Bone, tiga sungai besar ini sering meluap yang mengakibatkan banjir, hanya 50.513.29 atau 10 persen yang kondisinya baik, hal itu menegaskan bahwa sekitar 90 persen lahan [dalam dan luar kawasan hutan] dalam kondisi kritis.
Japesda Gorontalo merinci, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 325/Menhut-II/2010, luas hutan Provinsi Gorontalo adalah 824.668 hektar, dan tutupan lahan dengan tingkat deforestasi 17 persen. Sementara data Forest Watch Indonesia, luas hutan Gorontalo 2016 adalah 714.031 hektar. Sebelumnya, pada tahun 2017, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo memastikan bahwa luas hutan Gorontalo adalah 764.970,50 hektar.
Selain kerusakan di hulu, sungai-sungai yang di Provinsi Gorontalo juga dalam kondisi tidak baik. Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDAS-HL] Bone Bolango menunjukkan, dari 520 daerah aliran sungai [DAS] di Provinsi Gorontalo, hanya 27 DAS dalam kondisi baik. Sementara 493 atau 94 persen, sedang dipulihkan atau dengan kata lain kondisinya kritis.
Sebagai akibat dari berbagai kerusakan tersebut, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Gorontalo melaporkan bahwa pada Juli 2024 terjadi bencana banjir yang mengakibatkan 36.100 warga terdampak banjir yang tersebar di Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango, dan Kota Gorontalo. Satu warga dilaporkan meninggal dunia akibat bencana longsor. Bencana banjr di Kabupaten Gorontalo diakibatkan oleh kondisi Danau Limboto yang menjadi muara dari 23 sungai telah mengalami sedimentasi ekstrem, sehingga tidak mampu lagi menahan limpasan air dari wilayah hulu yang telah rusak.
Krisis air bersih menjadi dampak yang paling terasa di hilir. Di Popayato, Kabupaten Pohuwato, ribuan warga kehilangan akses air bersih selama berbulan-bulan karena air Sungai Popayato berubah menjadi lumpur akibat berbagai aktifitas di kawasan hulu. Hal ini menunjukkan ketimpangan hak atas air antara masyarakat dan korporasi.
Tetapi, krisis ini adalah bagian integral dari ata kelola kelembagaan yang membidangi urusan sungai. Seperti contoh Balai Wilayah Sungai (BWS) di bawah Kementerian PUPR lebih berfokus pada aspek infrastruktur fisik seperti pengendalian banjir, sementara Forum DAS hanya diberi peran terbatas dengan fungsi koordinatif tanpa kewenangan hukum yang jelas, padahal forum ini mestinya diperkuat secara hukum agar kelembagaanya lebih kuat. Hal ini diperparah dengan kelembagaan pengelolaan yang terpadu pada Pemerintah Daerah yang minimal, apalagi tidak diperkuat dengan kapasitas teknis maupun fiskal untuk mengelola DAS secara lintas sektoral. Sampai saat ini, belum ada satupun kelembagaan yang terpadu, komprehensif dan integral dalam pengelolaan sungai yang berkelanjutan di Indonesia
Dalam konteks nasional, Perpres No. 38/2011 tentang Rencana Tata Ruang DAS dan UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air sudah menegaskan pentingnya DAS sebagai satu kesatuan ekosistem. Perpres 38 tersebut juga telah mengalami perubahan yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan.
Tetapi, jika dilihat dari berbagai krisis ekologi dan bencana yang menimpa, implementasinya dari regulasi tersebut masih lemah, diperparah oleh tidak adanya mekanisme anggaran yang spesifik dan holistik untuk restorasi DAS, belum lagi dengan upaya rehabilitasi yang lebih banyak berorientasi pada proyek jangka pendek daripada pemulihan ekosistem yang melibatkan masyarakat lokal secara holistik.
Data dan fakta serta lemahnya penegakan hukum hingga problem kelembagaan diatas mencerminkan kegagalan sistem pengelolaan sumber daya air yang masih terjebak dalam pendekatan sektoral dan proyek-proyek teknokratis. Proses tersebut ditambah dengan diabaikannya fungsi sosial-ekologis sungai, serta rendahnya partisipasi masyarakat dan komunitas adat dalam perencanaan dan pengawasan, memperparah keadaan. Pada akhirnya, sungai disederhanakan hanya menjadi saluran drainase, bukan sebagai lanskap kehidupan secara holistik.
Krisis sungai yang terjadi adalah pengaruh dari perubahan paradigma masyarakat baik pada aspek nilai budaya dan spiritual dalam memahami air dan sungai. Padahal, dulu sungai diperlakukan adalah pusat kehidupan, tempat ritual, pertemuan, perdagangan, hingga arsitektur rumah yang menghadap sungai. Namun, kini paradigma masyarakat cenderung berbalik, rumah membelakangi sungai, pembangunan menutup akses langsung, dan sungai kehilangan fungsinya sebagai ruang budaya hidup. Dalam konteks ini, krisis bukan hanya persoalan fisik dan institusional, tetapi juga krisis nilai, makna, dan identitas kolektif.
Selain faktor ekologis, sosial dan kelembagaan, krisis sungai juga diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan pengawasan tata ruang. Misalnya dalam scenario perubahan tata ruang yang lebih condong pada sikap kompromi terhadap investasi, sehingga kawasan lindung sungai berubah menjadi zona industri atau perkebunan tanpa kajian dampak yang komprehensif. WALHI pada tahun 2023 menyebutkan bahwa sekitar 52% kawasan lindung di sekitar DAS telah mengalami perubahan fungsi lahan karena kebijakan daerah yang mengakomodasi kepentingan modal. Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya konflik agraria akibat tumpang tindih lahan pada kawasan DAS, baik antara masyarakat adat dengan pemerintah, maupun antara warga dengan korporasi besar. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa lebih dari 30 konflik agraria yang tercatat pada 2022 terjadi di kawasan DAS strategis di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa krisis sungai bukan hanya soal ekologi dan infrastruktur saja, tapi juga pada problem keadilan struktural yang membutuhkan penataan ulang relasi kuasa dalam pengelolaan air dan ruang hidup masyarakat.
Kesungaian sebagai Kerangka Ilmu Pengetahuan dan Instrumen Kebijakan Publik
Problem dan krisis sungai di Indonesia selama ini juga diakibatkan oleh sungai dipahami secara parsial. Berbeda dengan diskursus mengenai laut yang secara holistik dipahami dalam paradigma utuh yakni kelautan. Hal ini bisa kita lihat pada bagaimana perguruan tinggi memahami sungai secara parsial dan memahami laut secara holistic. Hampir semua perguruan tinggi memiliki fakultas atau jurusan kelautan dengan kurikulum komprehensif, mulai dari biologi laut, manajemen pesisir, silvikultur, konservasi pesisir, hukum kelautan, sosiologi dan antropologi maritim, teknologi perkapalan, hingga ekonomi kelautan. Dalam kelembagaan ilmu pengetahuan, bidang laut dan kelautan telah diakui sebagai entitas keilmuan dan kebijakan secara utuh.
Sebaliknya, sungai yang lebih lekat dengan kehidupan masyarakat daratan dan peradaban, justru tidak dipandang sebagai sesuatu yang holistik dalam berbagai disiplin ilmu. Sungai hanya hanya dibahas sepotong-sepotong sedikit, hanya di teknik sipil, sebagian di geografi, atau dalam studi lingkungan. Secara historis, bisa kita lihat bagaimana negara maupun perguruan tinggi tidak memiliki langkah strategis yang secara konsisten mendorong pengembangan studi sungai secara holistik. Hal ini terlihat sejak Orde Baru hingga era reformasi, pendekatan terhadap sungai cenderung teknokratik, sektoral, dan proyek-sentris. Pendekatan yang sectoral tersebut terlihat pada belum ada satu pun disiplin atau fakultas di berbagai perguruan tinggi yang secara utuh menjadikan sungai sebagai subjek riset dan pendidikan yang terpadu. Problem ini mencerminkan bahwa sungai belum dianggap sebagai entitas strategis dalam kebijakan nasional maupun pendidikan tinggi.
Pada saat yang sama, banyak negara yang serius menjadikan sungai sebagai disiplin imu yang holistik. Sebagai contoh beberapa negara dan perguruan tingginya telah membangun “river studies” sebagai bidang ilmu yang interdisipliner dengan menggabungkan ekologi, hukum, teknik, dan ilmu sosial. Tentu saja ini adalah lah gap pengetahuan yang fatal. Karena itu, kita perlu bertanya “di mana letak kedaulatan air kita?”, jika pengetahuan kita tentang sungai adalah hal yang parsial.
Berbagai krisis dan ketimpangan serta cara pandang yang parsial terhadap sungai, mendorong semua pihak untuk bisa merenungkan terkait istilah kesungaian, yakni sebuah cara berpikir dan gerakan untuk memposisikan sungai sebagai ruang berkelanjutan yang melingkupi ekologi, sosial, budaya, hukum, hingga spiritual. Berlaku seperti istilah “kehutanan” atau “kelautan”, kesungaian mendorong paradigma baru dalam mengelola sungai sebagai pusat kehidupan bangsa. Isitlah kesungaian sampai saat ini belum ada dalam KBBI karena belum dianggap sebagai sesuatu yang harus ada.
Upaya untuk mendorong pemahaman yang holistik tentang sungai hingga menjadi ilmu kesungaian adalah upaya sistematis untuk menjadikan sungai sebagai subjek riset dan pendidikan yang utuh dan interdisipliner. Akar kesungaian berasal dari pengetahuan ekologis, kearifan lokal, dan pengalaman masyarakat yang hidup di sekitar sungai. Kesungaian dihadirkan untuk mereposisi keduduakn dan status sungai menjadi sebagai ruang hidup yang harus dijaga demi keberlanjutan sosial dan ekologis, bukan sekadar lokasi produksi ekonomi, sehingga pendekatan kesungaian akan bersifat partisipatif, kontekstual, dan transdisipliner—karena akan menggabungkan pendekatan ekologi, teknik, sosial-budaya, hukum, dan spiritualitas. Dengan kerangka ini, kesungaian dapat membangun pengetahuan yang berakar pada keadilan ekologis dan sosial. Kesungaian bukan saja semata soal studi lingkungan, namun ilmu yang berorientasi pada perbaikan relasi manusia dengan air dan alam.
Problem kelembagaan perguruan tinggi yang belum memiliki institusi yang serius menggarap studi sungai juga perlu didorong agar kesungaian juga perlu masuk ke dalam sistem pendidikan. Bisa dimulai dari kurikulum di tingkat dasar dan menengah, bahkan menjadikannya mata kuliah wajib interdisipliner di perguruan tinggi. Model kurikulum kesungaian ini sangat penting untuk membentuk pemahaman holistik sejak masa kanak-kanak agar sungai dipahami sebagai kehidupan, bukan sekadar induk dari saluran air.
Pada tingkat revitalisasi kelembagaan, dengan menjadikan kesungaian sebagai disiplin ilmu, hal ini akan berakibat pada penguatan fungsi pada Balai Wilayah Sungai agar mendapat perluasan mandat sosial-ekologis. Sebab, selain memiliki tupoksi dalam pembangunan infrastruktur, Balai Wilayah Sungai dalam perspektif kesungaian seharusnya membangun relasi yang kuat dan bahkan melibatkan masyarakat, komunitas adat, dan perguruan tinggi dalam penyusunan rencana konservasi yang partisipatif. Desentralisasi kewenangan agar partisipatif bisa dirancangan dengan mendorong organisasi adat dan komunitas lokal memainkan peran sentral sebagai penjaga mata air, pemantau kualitas sungai, dan penggerak konservasi berbasis nilai-nilai budaya. Di sisi lain, pendekatan kesungaian bisa mendorong pemerintah daerah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesungaian, yang mengintegrasikan konservasi, tata ruang, dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, ilmu kesungaian harus adaptif terhadap perubahan teknologi. Perlu ada model yang terintegrasi dalam teknologi kesungaian dengan menggabungkan sensor kualitas air, sistem pelaporan warga berbasis aplikasi, pemetaan geospasial DAS, early warning system dengan dashboard data sungai yang terintegrasi dengan recana aksi agar tata kelola sungai berbasis data.
Pada level advokasi kebijakan, pendekatan kesungaian bisa diperjuangkan melalui jalur legislasi: baik melalui revisi UU Tata Ruang, penguatan peran publik dalam UU Sumber Daya Air. Dalam perencanaan tata ruang, kesungaian dapat diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dengan menjadikan DAS sebagai unit utama perencanaan. Perpres No. 38/2011 telah menetapkan DAS sebagai bagian penting dari tata ruang nasional, tetapi belum diimplementasikan secara kuat, dan pelaksanaannya masih bias pada pendekatan industri.
Kepemimpinan Presiden Prabowo di Tengah Krisis Sungai: Dari Aksi ke Kebijakan, Dari Political Will Menuju Legacy Kementerian Kesungaian
Dalam momentum peringatan Hari Sungai, dan jika mengikuti paradigma kesungaian sebagai respon dari krisis, ketimpangan dan lemahnya tata kelola tentang sungai dan kesungaian, maka diperlukan political will yang bersumbu pada kekuasan politik Presiden. Kegagalan yang diakibatkan oleh kelemahan regulasi dan kelembagaan menjadi momentum bagi Presiden Prabowo Subianto untuk responsive dan menjadikan paradigma hingga implikasi kebijakan kesungaian sebagai legacy bagi pemerintahannya.
Sebelumnya, pada Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap kondisi sungai nasional saat melakukan inspeksi mendadak di Kota Bogor pada Februari 2025, Presien Prabowo secara spontan menegur aparat setelah melihat aliran Sungai Cidepit dan Cipakancilan penuh sampah. Arahan langsungnya kepada TNI, Polri, serta Pemerintah Kota Bogor memicu aksi bersih sungai kolaboratif dalam radius hulu dan hilir, dan menandai bagaimana satu gestur simbolik dapat menjadi stimulus nyata bagi birokrasi lokal.
Tindakan tersebut hanya jejak kecil dari konsistensi sikap Prabowo terhadap isu air dan sungai. Ketika menjabat Menteri Pertahanan, ia telah meresmikan sebelas titik mata air di Sumbawa, dengan pesan kuat: “Tanpa air, tidak ada peradaban.” Keseriusan ini berpadu saling menguat ketika ia duduk sebagai Presiden dengan mengirimkan sinyal politik bahwa pengelolaan air bukan soal teknis semata, melainkan isu moral dan kesejahteraan publik.
Momentum tersebut mendapatkan landasan regulasi melalui kebijakan nasional. Perpres No. 37 Tahun 2023 menetapkan Kebijakan Nasional Sumber Daya Air (Jaknas SDA) yang menekankan konservasi berkelanjutan, keadilan distribusi, partisipasi publik, serta integrasi sistem informasi hidrologi dan hidrogeologi Sementara itu, Perpres No. 53 Tahun 2022 membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional sebagai lembaga koordinatif di bawah Presiden, meski hanya berstatus nonstruktural dengan mandat terbatas
Sikap responsif Presiden terhadap masalah sungai sejatinya adalah momentum lahirnya sebuah political will, yakni kemauan politik Presiden untuk meredefinisi pengelolaan air nasional secara sistemik. Namun agar tidak sebatas simbolik, pendekatan ini perlu diterjemahkan ke dalam reformasi kelembagaan mendasar.
Pertama, perlu diinisiasi Instruksi Presiden (Inpres) atau Perpres baru yang menegaskan pembentukan Kementerian atau Otoritas Khusus Kesungaian. Lembaga ini akan memiliki kewenangan struktural untuk menyelaraskan fungsi sektor, mulai dari PUPR (infrastruktur), KLHK (kualitas air dan DAS), ESDM (air tanah), Kemendikdasmen dan Kemendiki Saintek (pendidikan), Kementrian Agama, Kementrian Kebudayaan dan Kementrian Sosial hingga Kementrian Desa (isu keagamaan, kebudayaan dan pemberdayaan masyarakat). Berbeda dengan Dewan SDA yang hanya koordinatif, otoritas ini akan memiliki anggaran, regulasi, dan mandat eksekutif untuk menjamin keberlanjutan ekologi, keterpaduan kebijakan, dan keadilan distribusi air.
Kedua, spirit Kesungaian harus diwujudkan melalui integrasi isi dalam dokumen strategis dan kebijakan nasional (Jaknas SDA) dengan nilai-nilai keadilan, kedaulatan masyarakat, dan etika publik yang mewakili paradigma bahwa sungai bukan komoditas melainkan ruang hidup bersama. Paradigma ini akan memperkuat legitimasi moral program pemerintah dalam reformasi struktural.
Ketiga, dukungan regulatif perlu mengadopsi dimensi inter-disipliner seperti hukum air dan kesungaian, teologi kesungaian, ekonomi komunitas kesungaian, dan energi mikrohidro dalam rangka untuk membumikan gagasan Kesungaian dalam perangkat kebijakan nasional, bukan hanya studi akademik.
Penutup : Menyatukan Kesadaran, dan Struktur untuk Transformasi Tata Kelola Kesungaian
Kesadaran kolektif akan krisis peradaban air di Indonesia—ditandai oleh banjir tahunan, krisis air bersih, konflik agraria dan hilangnya nilai budaya sungai—semestinya melahirkan pengakuan bahwa sungai bukan sekadar infrastruktur, tetapi ruang kehidupan sosial, spiritual, dan ekologis.
Sikap Presiden Prabowo Subianto tentang sungai baik pada saat setelah dilantik menjadi Presiden periode 2024 – 2029, maupun sejak menjadi Menteri Pertahanan pada periode 2019-2024, telah menjadi momentum bersejarah. Tindakan ini bukan hanya refleksi kepedulian simbolik, melainkan pertanda political will untuk menjadikan sungai persoalan publik utama. Gagasan kesungaian hadir sebagai resonansi dari dua momen tersebut—mengajak negara membangun reformasi kelembagaan, legislasi, dan pendidikan untuk menjadikan sungai pusat peradaban.
Namun, untuk mewujudkan paradigma kesungaian secara substansial, diperlukan reformasi kelembagaan mendasar. Sebuah otoritas nasional khusus—seperti Kementerian atau Otoritas Kesungaian—diperlukan demi menyatukan fungsi, regulasi, dan anggaran pengelolaan air dalam satu atap terstruktur. Otoritas ini harus diberi mandat penuh: menyusun standar teknis, perizinan, konservasi, partisipasi publik, dan revitalisasi sosial-ekologis sungai secara lintas sektor.
Untuk menjadikan gagasan ini sebagai warisan politik dan administratif, Presiden perlu menerbitkan Inpres atau Perpres baru yang secara konstitusional kelembagaan Kesungaian. Perpres tersebut akan mengukuhkan lembaga struktural yang mampu melampaui struktur yang ada selama ini, yang hanya bersifat koordinatif. Dengan begitu, political will Presiden terbukti lewat regulasi dan struktur nyata yang menjamin keadilan akses air, keterpaduan kebijakan, dan keberlanjutan sungai.
Jika ditindaklanjuti, momentum Hari Sungai hingga agenda simbolik seperti inspeksi Bogor dan peresmian mata air akan bermuara pada reformasi kebijakan dan kelembagaan yang menghadirkan sungai sebagai pusat kehidupan, bukan objek eksploitasi. Inilah esensi dari legacy pemerintahan: menghadirkan transformasi struktural yang membumikan kesungaian sebagai fondasi tata kelola publik, ekologis, dan sosial.
Dengan demikian, Presiden Prabowo dapat memimpin bukan hanya dengan gestur simbolis, tetapi melalui warisan kebijakan yang mewujudkan sungai sebagai ruang hidup yang berkeadilan, lestari, dan bermartabat.