Rekam Telepon Tanpa Izin, Pakar Hukum: Alat Bukti Tidak Sah, Pelaku Bisa Dipidana
Gorontalo, mimoza.tv – Pakar Hukum Pidana, Dr. Apriyanto Nusa, menegaskan bahwa rekaman percakapan telepon yang diduga melibatkan Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Bone Bolango, jika dilakukan tanpa izin, tidak memiliki kekuatan hukum.
“Rekaman yang diperoleh secara melawan hukum tidak sah dijadikan alat bukti. Bahkan, pelaku perekaman bisa dijerat pidana,” tegas Apriyanto kepada mimoza.tv, Selasa (5/11/2025).
Menurutnya, praktik semacam itu bukan hanya melanggar etika, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas privasi dalam berkomunikasi. Ia mengingatkan, perbuatan tersebut bisa dikenai Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2024, yang secara tegas melarang intersepsi atau penyadapan tanpa hak.
“Setiap orang yang dengan sengaja merekam atau menyadap pembicaraan tanpa izin, dapat dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp800 juta,” jelasnya.
Apriyanto mencontohkan kasus serupa yang pernah mengguncang publik pada 2016 lalu, yakni rekaman pembicaraan antara Ketua DPR RI Setya Novanto dan Dirut PT Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsudin, yang dikenal dengan istilah ‘Papa Minta Saham’.
Meski rekaman itu sempat menjadi dasar pemanggilan oleh Kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menegaskan bahwa alat bukti elektronik yang diperoleh tanpa izin adalah tidak sah.
Dalam Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah menilai bahwa seluruh kegiatan penyadapan tanpa izin merupakan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Penyadapan, kata MK, hanya dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum oleh institusi yang berwenang dan dengan izin pengadilan.
“Putusan itu mempertegas bahwa perekaman atau penyadapan tidak bisa dilakukan sembarangan, apalagi oleh pihak non-penegak hukum. Di negara hukum, cara memperoleh bukti harus sah secara prosedural,” kata Apriyanto.
Ia menambahkan, tindakan oknum yang merekam pembicaraan pribadi tanpa izin tidak bisa dinormalisasi sebagai bentuk kontrol sosial. Sebab, prinsip kebebasan berekspresi tidak berarti bebas melanggar hukum.
“Boleh kritis, boleh mengawasi, tapi jangan menabrak aturan. Jika pelanggaran ini dibiarkan, semua orang bisa merasa berhak merekam siapa pun demi kepentingannya sendiri. Itu berbahaya,” ujarnya menegaskan.
Apriyanto menutup dengan mengingatkan bahwa penghormatan terhadap hak privasi merupakan bagian dari penghormatan terhadap hukum itu sendiri. “Jangan jadikan hukum alat pembenaran atas tindakan yang justru melanggar hukum,” pungkasnya. (rls/luk)



