Gorontalo, mimoza.tv – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek Kanal Banjir Tanggidaa kembali digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan PHI Gorontalo, Selasa (1/7/2025). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan enam orang saksi untuk memberikan keterangan, namun sorotan utama justru tertuju pada salah satu bahan utama proyek, yakni aramco.
Dalam konstruksi saluran air atau kanal, aramco merupakan salah satu jenis pelat baja bergelombang (corrugated steel) yang digunakan sebagai komponen struktur. Material ini dikenal karena kekuatannya menahan tekanan air dan daya tahan terhadap korosi, sehingga banyak digunakan dalam proyek drainase hingga terowongan air.
Menurut penasihat hukum terdakwa Romen S. Lantu, Aroman Bobihoe, dalam sidang kali ini terungkap adanya perbedaan mencolok harga aramco yang menjadi perdebatan soal potensi kerugian negara.
Aroman menyebut, harga aramco dari pihak pabrikan – hasil negosiasi langsung dengan pelaksana proyek – ditetapkan sebesar Rp35.520.000 per ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan harga dalam kontrak yang menjadi dasar penentuan pemenang tender, yakni Rp44.000.000 per ton.
“Ketika kita bandingkan dua angka ini, selisihnya cukup besar. Kalau dijadikan dasar dalam perhitungan kerugian negara, tentu ini bisa menimbulkan tafsir berbeda,” ungkap Aroman kepada wartawan usai sidang.
Ia juga menjelaskan bahwa tim kuasa hukum memiliki dua acuan pembanding atas harga tersebut. Salah satunya merupakan hasil perhitungan bersama tim dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), yang menyebut harga aramco memang sesuai kontrak: 44 juta per ton. Namun dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, justru tercantum harga lebih rendah, yakni 35 juta sekian.
“Ini yang kami nilai janggal. Harga kontrak ada, dokumen akademis juga mendukung, tapi dalam audit BPK justru pakai harga yang lebih rendah. Maka wajar jika perhitungan kerugian negara jadi tidak presisi,” jelas Aroman.
Lebih jauh, Aroman menyebut bahwa proyek pembangunan kanal yang didanai dari skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini telah selesai dan kini sudah berfungsi sebagaimana mestinya.
“Menurut kami ini sangat naif. Kanalnya sudah rampung, sudah mampu menyalurkan debit air saat hujan deras dan mencegah banjir. Masyarakat sudah merasakan manfaatnya. Tapi kerugian negara justru dihitung dari selisih harga material, tanpa melihat hasil akhirnya,” pungkasnya.
Sidang akan dilanjutkan dengan menghadirkan saksi dan alat bukti tambahan, termasuk mendalami validitas harga aramco yang dijadikan dasar oleh auditor dalam menetapkan dugaan kerugian negara.
Penulis: Lukman