Gorontalo, mimoza.tv – Suasana hangat dan penuh antusiasme menyelimuti Aula Rektorat Kampus 1 IAIN Sultan Amai Gorontalo, Rabu (23/7/2025), saat rapat senat diperluas digelar sebagai bagian dari proses pemilihan rektor periode 2025–2029. Salah satu yang mencuri perhatian dalam forum itu adalah paparan dari calon rektor nomor urut 9, Dr. Najamuddin Petta Solong, M.Ag., yang kini menjabat Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dengan gaya komunikasi yang lugas dan jenaka, Dr. Najamuddin membuka presentasinya secara terbuka. “Saya baru pertama kali maju sebagai calon rektor, maka momen ini tidak akan saya sia-siakan,” ujarnya. Ia pun menegaskan bahwa pencalonannya tidak membawa tim pengawal khusus. “Yang mengawal saya saat ini adalah Allah,” katanya disambut gelak tawa hadirin.
Namun, bukan hanya gayanya yang mencuri perhatian. Gagasan yang ia usung membawa semangat perubahan berbasis profesionalitas dan integritas. Dalam salah satu pernyataan yang menuai respons positif, ia memperkenalkan konsep “KPK” — bukan Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan singkatan dari Kinerja, Prestasi, dan Kesejahteraan.
“Kadang kita menuntut kesejahteraan tanpa menunjukkan kinerja dan prestasi. Atau sebaliknya, sudah bekerja keras namun tetap tidak sejahtera. Jangan sampai hanya ‘basah’ di atas, tapi ‘kering’ di bawah,” ujarnya dengan analogi yang mengundang tepuk tangan peserta.
Tantangan dan Potensi Kampus
Dalam paparannya, Dr. Najamuddin menyampaikan data faktual tentang potensi kampus: 3.216 mahasiswa, 234 dosen, 137 tenaga kependidikan, dan 9 profesor. Ia menekankan pentingnya pengelolaan yang adaptif di tengah tantangan zaman seperti digitalisasi pendidikan, kesenjangan akses, dan kebutuhan akan keterampilan abad ke-21.
“Saya menyukai tantangan. Jika tidak ada tantangan, maka saya akan menciptakan tantangan itu sendiri,” ucapnya disambut antusias peserta forum.
Visi 5-Si: Jalan Menuju Transformasi
Visi yang ia tawarkan dirumuskan dalam lima pilar, yang ia sebut sebagai 5-Si: Moderasi, Transformasi, Integrasi, Digitalisasi, Internasionalisasi.
Dengan gaya khasnya, ia sempat melontarkan candaan: “Awalnya saya ingin buat enam, termasuk Si policy, tapi takut dikira polisi, jadi cukup lima saja.”
Setiap pilar dijabarkan dengan program nyata: Moderasi melalui revisi kurikulum dan penguatan nilai toleransi. Transformasi untuk mengantar IAIN menjadi UIN. Digitalisasi guna merampingkan birokrasi dan meningkatkan layanan akademik. Integrasi untuk mengembangkan model keilmuan yang menyatukan agama dan sains.
Internasionalisasi, salah satunya dengan menggandeng dosen tamu dari luar negeri, seperti dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Prinsip “BAKTI” dan Kepemimpinan Kolaboratif
Menutup presentasi, Dr. Najamuddin mengemukakan prinsip perjuangannya yang terinspirasi dari Mars IAIN: BAKTI — Berani, Arif, Konsisten, Terbuka, dan Integritas. Ia juga menyinggung pentingnya kritik membangun dan mengusulkan pembentukan kotak saran sebagai saluran aspirasi sivitas akademika. Menegaskan gaya kepemimpinannya, ia berujar, “Cukup para wakil rektor saja yang sering ke luar daerah, biar rektornya sekalian ke luar negeri saja,” katanya disambut gelak tawa peserta.
Ia pun menyinggung soal hadiah umrah sebagai motivasi, namun dengan catatan: “Lebih baik umrah dari keringat sendiri, meskipun apresiasi tetap bisa diberikan kepada yang berprestasi.”
Rekam Jejak dan Harapan
Dr. Najamuddin bukan sosok baru dalam dunia akademik IAIN Sultan Amai Gorontalo. Ia pernah menjabat di berbagai posisi strategis, mulai dari Kepala Pusat Pengabdian kepada Masyarakat LP2M hingga Ketua Jurusan PAI yang sedang berjuang meraih akreditasi unggul. Pengalaman panjang inilah yang membentuk pandangan dan visi kepemimpinannya.
Berbekal darah Bugis Bone – Gorontalo, dan prinsip inklusif, ia menutup sesi dengan harapan agar seluruh elemen kampus, termasuk para calon rektor lainnya, dapat dirangkul untuk bersama memajukan IAIN menjadi UIN yang unggul dan relevan.
“Saya tidak ingin hanya memerintah, tapi ingin menjadi teladan. Kritik saya bila perlu, karena kesalahan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.” tutur sosok kelahiran Tangeban, Sulawesi Tengah ini.
Sesi ditutup dengan tepuk tangan meriah — bukan sekadar karena gaya retorika, melainkan karena pesan-pesan perubahan yang menggugah dalam balutan kesederhanaan dan kecerdasan. (rls/luk)