Gorontalo, mimoza.tv – Crosshijabers merupakan bentuk lain dari crossdressing yang sudah ada sejak zaman dahulu. Pada umumnya pria lah yang menjadi pelaku crossdressing ini.
Istilah crosshijaber diambil dari crossdressing, di mana pria mengenakan dress dan tampil dengan makeup. Crosshijaber jadi sensasi setelah akun Twitter @lnfinityslut mengunggah thread tentang keberadaan komunitas tersebut.
Dilansir dari Wolipop.detik.com, Crosshijaber memiliki komunitasnya di Facebook dan Instagram, bahkan ada hashtag-nya sendiri. Dari tangkapan layar Insta story, terpampang wajah pria yang mengenakan pakaian gamis, hijab panjang dan ada yang memakai cadar.
Kenapa pria suka crossdressing atau pakai baju wanita hingga bergaya memakai hijab? Seperti dikutip dari Psychology Today, tidak ada penyebab khusus kenapa perilaku yang disebut juga gangguan trasvestis ini terjadi.
Berdasarkan penelitian, crossdressing sebenarnya sudah dilakukan manusia sejak masa
kanak-kanak. Ada kesenangan tersendiri saat anak-anak mencoba baju lawan
jenisnya. Dan saat masa puber, kesenangan tersebut berubah menjadi kenikmatan
seksual. Seiring pertambahan usia dan ketika perilaku mencoba baju lawan jenis
ini terus diulangi dan dilakukan, keinginan untuk bertukar pakaian menjadi
lebih kuat bahkan meskipun kenikmatan seksual yang dirasakan berkurang.
Seorang pria yang suka crosdressing dianggap
mengidap gangguan trasvestis menurut American Psychiatric Association jika dia
konsisten dan intens merasakan gairah seks dari berfantasi, atau akting memakai
satu atau lebih busana yang pada umumnya dipakai lawan jenisnya. Fantasi atau
perilaku ini terus terjadi setidaknya enam bulan dan menyebabkan rasa tertekan
pada individu tersebut atau mengalami gangguan disfungsi sosial, profesional
dan kesehariannya dengan orang-orang terdekatnya.
Lantas apakah perilaku crossdressing termasuk
croshijaber bisa diobati? Pscyhology Today menyebutkan jika hanya suka
crossdressing tidak selalu membutuhkan perawatan atau terapi.
Pelaku crossdressing
terkadang direferensikan untuk terapi oleh orang lain, seperti orangtunya atau
pasangannya, bukan atas keinginannya sendiri. Kalaupun pelaku crossdressing
mendatangi psikolog, hal itu karena mereka merasa depresi atau tertekan dengan
keinginannya berdandan memakai baju lawan jenisnya itu.
Menurut Net Doctor, penelitian juga
mengungkapkan sebagian besar pelaku crosdressing bukanlah homoseksual atau
penyuka sesama jenis. Mereka tetap menjadi heteroseksual hanya saja memang suka
memakai baju lawan jenisnya.