Gorontalo, mimoza.tv – Menteri
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise memuji putusan Mahkama Konstitusi itu sebagai “perubahan besar”. MK pada Kamis (13/12/2018) lalu lewat putusan uji materi memerintahkan DPR merevisi batas usia perkawinan dalam UU Perkawinan.
“Memang itu membuat kita akhirnya ada perubahan yang harus dibicarakan bersama antara kementerian dan lembaga,”jelasnya kepada wartawan.
Yohana memuji putusan MK ketika membuka Festival Kabupaten/Kota Layak Anak yang digelar di Bandung, Minggu(16/12/2018).
UU Perkawinan saat ini mengatur batas usia menikah bagi perempuan adalah 16 tahun, sementara laki-laki 19 tahun. Para pemohon, tiga perempuan yang jadi korban pernikahan anak, meminta batas usia perempuan disamakan dengan laki-laki. MK pun mengabulkan sebagian gugatan pemohon dan memberikan tenggat waktu bagi DPR maksimal tiga tahun untuk merevisi batas usia perkawinan.
Menteri asal tanah Papua ini mendorong batas usia perkawinan itu agar segera dibahas di Parlemen. “Saya pikir saya sangat setuju sekali karena mereka ingin membangun komitmen bersama. Secepatnya dibahas dan harus ada keputusan,” pungkasnya.
Keputusan MK ini keluar di tengah masih maraknya perkawinan anak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017menunjukkan perkawinan anak terjadi merata di seluruh provinsi di Indonesia,dengan jumlah persentase perempuan berbeda-beda. Angka tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dengan 39%, sementara yang terendah di DKI Jakarta dan Yogyakarta dengan 11%. Jawa Barat ada di posisi 22 dengan angka27%.
Padahal kawin anak menimbulkan banya masalah. Data “Plan Indonesia” pada 2011 menunjukkan bahwa 100 persen anak perempuan yang menikah dini menjadi korban KDRT. Sebanyak 44 persen mengalami KDRT dalam frekuensi tinggi dan 56 persen frekuensi rendah. Penelitian inidilakukan di delapan kabupaten yang memiliki banyak kasus kawin anak.
Putusan MK Dinilai Belum Cukup, Kelompok Sipil Dorong Perppu
Namun kelompok masyarakat sipil menilai putusan MK ini saja belum cukup. Kelompok sipil saat ini terus mendorong pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI),yang ikut mendorong uji materi sejak 2015, mengatakan Perppu itu akan efektif mencegah perkawinan anak.
“Kadang-kadang yang dilupakan itu kan ada yang namanya the best interests of child, hal yang terbaik untuk anak. Ketika anak itu menentukan sebuah pilihan berdasarkan informed consent yang menyeluruh. Kalau kita bilang menikah itu nanti kamu enak nanti kamu dijajanin sama suami kamu, itu bukan informed consent. Tidak dijelaskan apa konsekuensi kamu menikah, apa konsekuensi kamu menikah di usia anak. Itu anak-anak biasanya belum tahu itu,” jelas Direktur Advokasi dan Program PKBI, Frenia Nababan.
Pada 2016, kelompok sipil telah merumuskan rancangan Perppu dan telah menyampaikannya ke Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kantor Staf Presiden. Namunsampai dua tahun berjalan, rancangan Perppu itu belum juga ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.(rt/em/luk)