Oleh: Hersubeno Arief.
Ahmad Dhani bisa menjadi martir yang memicu perlawanan besar terhadap Jokowi yang saat ini tengah berjuang mempertahankan elektabilitasnya yang terus menurun.
Ada satu pelajaran berharga dan penting yang dapat kita petik dari kasus musisi Ahmad Dhani Prasetyo. Di negeri ini Anda boleh berbuat apa saja, termasuk memaki seorang Capres, tapi jangan pernah jadi oposisi
Ahmad Dhani divonis hakim 1.5 tahun penjara, dan langsung masuk tahanan karena dinilai terbukti secara sah melakukan ujaran kebencian melalui akun media sosial Twitter. Dhani dinilai memenuhi unsur pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Habiburahman Anggota Tim Advoaksi Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo-Sandi mengaku mereka telah melaporkan 20 kasus pencemaran nama baik dan fitnah ke Bawaslu dan Bareskrim Polri, sebagian besar kepada Paslon nomor 02, tapi sampai sekarang belum satupun diproses. “Beberapa diantaranya sudah kami laporkan tiga bulan lalu,” ujarnya.
Salah satu kasus yang cukup menonjol adalah makian Bupati Boyolali Seno Samodro terhadap capres Prabowo Subianto. Menanggapi guyonan “tampang Boyolali,” Seno memaki “Prabowo Asu,” alias Prabowo Anjing. Sebuah makian tak pantas dan kasar yang dilakukan oleh seorang kepala daerah kepada seorang capres.
Kasus Ahmad Dhani bila tidak dikelola dan ditangani dengan baik, bisa menjadi semacam pemicu munculnya gerakan publik yang dipicu oleh perceived injustice. Sebuah persepsi perlakuan yang tidak adil di kalangan masyarakat.
Orang bisa saja tidak suka terhadap Ahmad Dhani. Tapi mereka juga tidak suka ada orang yang diperlakukan tidak adil. Diperlakukan sewenang-wenang. Itu semacam akal dan nalar sehat publik.
Pilihan rezim untuk bersikap keras terhadap salah satu juru kampanye Prabowo-Sandi ini sangat mengejutkan. Apalagi dilakukan hanya puluhan hari jelang pilpres.
Ahmad Dhani bagaimanapun merupakan publik figur dengan penggemar sangat besar. Kendati sering bertindak kontroversial, dia merupakan salah satu ikon industri kreatif. Salah satu figur jenius dalam industri musik Indonesia. Penggemarnya melampaui pilihan politiknya.
Ahmad Dhani bisa menjadi martir yang memicu perlawanan besar terhadap Jokowi yang saat ini tengah berjuang mempertahankan elektabilitasnya yang terus menurun.
Seharusnya kalau toh Ahmad Dhani dijatuhi hukuman, tak perlu harus diperlakukan secara keras segera masuk tahanan. Tidak ada satu alasanpun yang cukup kuat bagi hakim untuk memerintahkannya segera masuk tahanan mengingat kasusnya “hanya” berupa pelanggaran UU ITE.
Menjebloskan Ahmad Dhani langsung ke tahanan hanya menunjukkan ada kemarahan dan kebencian yang sangat besar dari rezim kepada Ahmad Dhani. Dan ini tentu sangat merugikan. LP Cipinang bisa diubah oleh Ahmad Dhani menjadi panggung pertunjukan baru. Sebuah panggung politik besar.
Ahmad Dhani juga punya anak-anak remaja yang menjadi selebritas. Mereka punya penggemar besar. Sebagai seorang anak, militansinya akan muncul manakala merasa ayahnya diperlakukan secara tidak adil. Elektabilitas Jokowi di kalangan milenial berpotensi tergerus.
Dalam bidang penegakan hukum, pemerintahan Jokowi saat ini tengah mendapat sorotan tajam dalam dan luar negeri. Yang paling banyak mendapat sorotan adalah batalnya pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, pemberian remisi terhadap pelaku pembunuhan wartawan di Bali, dan pembebasan bersyarat terhadap pembobol Bank Century Robert Tantular. Ba’ Asyir batal meninggalkan LP Gunung Sindur setelah menimbulkan perdebatan internal di kalangan petinggi pemerintahan. Nyoman Susrama mantan kader PDIP yang membunuh wartawan Jawa Pos mendapat remisi dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman penjara 20 tahun. Sementara Robert Tantular remisinya bikin publik dan pimpinan KPK hanya bisa geleng-geleng kepala.
Robert Tantular mendapat remisi 74 bulan, 110 hari atau hampir 77 bulan. Barangkali remisi ini bisa diusulkan masuk Musium Rekor Indonesia (MURI), bahkan Guiness Book of Record. Jadilah Robert bisa melenggang keluar tahanan dengan hanya menjalani 10 tahun penjara dari vonis 21 tahun penjara.
Pada kasus Ba’asyir majalah Tempo yang secara DNA biasanya selalu mendukung Jokowi, mengecam keras. Peristiwa itu dinilai sebagai bentuk inkompetensi (ketidakcakapan) Jokowi dalam mengambil keputusan. Sebuah penilaian yang sangat keras dan langsung menyentuh sisi personal Jokowi.
Tempo juga mengecam keras pencampur-adukan wewenang Jokowi sebagai presiden dan capres. Terbukti pemberian pembebasan bersyarat Jokowi belum pernah dibahas sebelumnya dengan para pejabat tinggi negara yang menjadi pembantunya.
Dia hanya mengandalkan pertimbangan hukum Yusril Ihza Mahendra pengacaranya. Menko Polhukam Wiranto sampai harus mengeluarkan pernyataan keras, presiden tidak boleh_grasah-grusuh_ (gegabah) dalam mengambil keputusan.
The Economist, majalah ekonomi sangat berpengaruh yang berbasis di London juga mengecam tindakan Jokowi. Dalam bahasa yang sarkas The Economist membuat berita berjudul : *“Undeserving, Indonesia’s president toys with releasing a terrorist ideologue. Tidak pantas. Mainan Presiden Indonesia dengan melepas seorang ideolog teroris.
Dalam dua pekan terakhir The Economist majalah yang sempat mengundang Prabowo untuk bicara dalam sebuah forum bergengsi The World In 2019 di Singapura, telah dua kali menulis artikel yang mengecam Jokowi.
Majalah Tempo menengarai rencana pembebasan bersyarat Ba’asyir yang kemudian dibatalkan, semua didasarkan pada pertimbangan elektabilitas Jokowi. Seperti diakui Sekjen Partai Bulan Bintang Afriansyah Ferry Noer, pembebasan Ba’asyir diusulkan oleh Yusril dengan kalkulasi akan mengerek suara Jokowi di kalangan umat Islam. PBB yang dipimpin oleh Yusril juga diuntungkan.
Namun ternyata rencana tersebut mengundang kontroversi. Perdana Menteri Australia Scott Morisson menyampaikan protes keras. Para pendukung Jokowi dari kalangan non muslim juga mengancam menarik dukungan.
Dari pemantauan di media sosial muncul reaksi yang sangat keras dan bila dikonversi ke suara berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi sampai 4%.
Jadi semua bermuara pada kalkulasi elektabilitas. Pertimbangan kemanusiaan, dengan alasan Ba’asyir sudah sepuh hanya kemasan publik. Jokowi dan Yusril melihat status Ba’asyir bisa dikapitalisasi sebagai keuntungan politik. Kasus ini bermula dan berakhir pada elektabilitas Jokowi.
Doktrin all about electability, semua tentang elektabilitas telah menjadi ciri khas yang menonjol sangat kuat pada pemerintahan Jokowi. Entah mengapa pada kasus Ahmad Dhani doktrin ini luput diterapkan?