Istilah “valentine” yang terambil dari bahasa Inggris dan kemudian membudaya dalam bangsa kita, sejatinya bukan budaya, tetapi lebih kepada etika bisnis. Simbol hati merona merah muda dan cokelat, seolah menjadi ikon utama yang marak diperdagangkan di hari-hari jelang Valentine.
Mungkin saja benar ketika Richard Cadbury mulai memperkenalkan cokelat sebagai kado valentine, sebagai alasan etika bisnis agar perusahaan coklatnya laris manis melalui suatu propaganda bisnis melalui perayaan hari ungkapan kasih sayang yang dimulai 14 Februari. Jika momen ini lalu membudaya dan diikuti oleh segenap anak bangsa, sama halnya kita menukar budaya asli kita sendiri dengan budaya milik orang lain.
Ada serentetan budaya asli bangsa ini yang jauh lebih baik bahkan membumi tetapi terlampau banyak yang tertukar dengan budaya bangsa lain. Dulu kita hidup rukun dan saling gotong-royong, tepo seliro, saling menghormati dalam setiap perbedaan, kini bertukar dengan budaya individualisme, perkoncoan, saling curiga, kehilangan kepercayaan, bahkan mungkin tak ada lagi toleransi dalam setiap keragaman.
Dulu kita mengenal slametan, syukuran, mitoni, silaturahmi, sekarang hanya disisakan sekadar untuk urusan-urusan politis dan pengakuan sosial, hampir bukan lagi dianggap tradisi sehari-hari yang dihormati dan dijunjung tinggi.
Terus terang saja, saya juga pernah mengalami masa muda dimana momen Februari senantiasa dijadikan momen terindah karena siap-siap kita membuat sebait puisi dalam sobekan buku tulis yang diselipkan dalam buku pelajaran sekolah. Buku itu lalu kita simpan tepat di antara rongga meja kayu tipikal sekolah zaman dulu, di mana tempat duduk pujaan hati kita berada.
Jika ada duit, mungkin saya sertakan juga cokelat yang bukan Cadbury karena pasti enggak terbeli. Budaya valentine dengan ungkapan kasih sayang seolah menggusur budaya asli kita yang sebelumnya lebih membumi. Karena sepengetahuan saya, kasih sayang itu bukan diktum tekstual, bukan juga ucapan yang dikhususkan di hari tertentu, namun lebih dari itu berkasih sayang adalah prinsip kemanusiaan yang paling asasi.
Untuk sekadar mengingatkan, bahwa pada 14 Februari 1871 lahir seorang ulama besar, penggerak perubahan zaman sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan yang paling dikagumi, KH Hasyim Asy’ari. Sosok kiai rakyat ini sulit dicari tandingannya hingga kini, sekali pun banyak sekali ajaran-ajarannya soal pendidikan, akhlak, kehidupan sosial-politik yang kerap kali berhenti ditumpukan teoritis yang gagal pada tingkat praksis.
Ajarannya yang kental dengan nuansa kasih sayang kepada sesama umat, patut menjadi teladan saat ini, di tengah ambivelensi politik yang saling tohok dan saling tabok hanya karena ambisi kekuasaan dari beberapa kelompok yang ingin menang.
Kebanyakan yang diingat di 14 Februari adalah valentine yang seolah-olah itulah budaya “baik” sebagai ungkapan kasih sayang para muda-mudi yang kadang kebablasan. Budaya kita ditukar budaya asing bahkan mendistorsi ungkapan kasih sayang hanya bagi dua sejoli, sehingga nilai kasih sayang yang lebih besar justru ambyar dalam diksi valentine yang selalu saja menjadi perdebatan.
Yang paling mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai kasih sayang yang selama ratusan tahun hidup dalam alam sosial-politik masyarakat kita, semakin lama semakin habis terkikis oleh kekuatan hierarkis dan tergerus oleh perubahan arus. Seolah kita ini banyak yang terlampau susah menjauhkan dari budaya “kagetan” sehingga begitu mudahnya budaya kita ditukar budaya lain.
Lalu, apakah ini rangkaian dari efek domino perubahan zaman? Akulturasi budaya dan politik? Mungkin saja iya, namun dalam beberapa hal disadari maupun tidak, ternyata kita memang dijajah oleh budaya orang lain dan meninggalkan budaya kita sendiri. Saya sendiri bukan penganut kepercayaan akan teori konspirasi sekalipun kadang jika melihat pada konstruksi budaya kita yang semakin rapuh, sedikit banyak saya akhirnya harus mempercayainya.
Konon, bahwa penyebaran budaya ada kaitannya dengan teori konspirasi yang disusun sedemikian rupa, dipropagandakan, dipertukarkan melalui pertukaran budaya, baik lewat buku, film, pelajar, dan lainnya dengan tujuan perubahan mindset agar budaya asing seolah-olah menjadi budaya kita sendiri.
Saya memang hidup dalam sebuah keluarga yang sangat menghargai tradisi, terutama tradisi yang bagi saya tidak melenceng dari nilai-nilai islami. Entah apakah kebetulan saya dibesarkan di lingkungan keluarga NU yang getol menjaga warisan tradisi dan budaya yang cenderung tak mempertentangkannya dengan ajaran agama, ataukah memang cara mendidik keluarga saya agar tidak menjadi sosok yang anti-tradisi.
Bagi saya, tradisi yang baik pasti berdampak baik dalam hal pelestarian nilai-nilai kasih sayang bagi sesama dan tidak merusak, menggusur, atau tertukar dengan budaya lain yang cenderung mengubah watak asli budaya itu sendiri.
Belakangan banyak sekali budaya yang tertukar, misalnya bagi sebagian orang ada yang beranggapan ketika melihat budaya Arab dianggap sebagai Islam atau sebaliknya. Maka tak heran ketika soal gamis, jenggot, sirwal (celana syar’i), niqab (cadar), imamah (sorban penutup kepala), dan masih banyak yang khas budaya Timur Tengah dianggap budaya Islam yang dipraktikkan oleh beberapa masyarakat Indonesia.
Padahal, kita memiliki budaya sarung, peci, sorban, kerudung, blangkon, yang telah lebih dulu menjadi tradisi baik dan menjadi ciri khas budaya kita sendiri. Pada kenyataannya, teori konspirasi itu tetap patut dicurigai—untuk tidak disebut diyakini—menjadi bagian terpenting dari suatu propaganda budaya dalam bentuk importasi tradisi atau ideologi yang dibawa melalui ajang pertukaran-pertukaran pelajar atau perihal lainnya yang sejenis.
Kita memang sulit untuk menjadi tertutup dari beragam artikulasi budaya lain yang ikut menghampiri dan tak mungkin juga hidup seolah katak dalam tempurung yang tidak tahu apa-apa. Proses pertumbuhan manusia itu selalu berubah dari generasi ke generasi dan tak luput dari berbagai tradisi dan budaya yang diikuti. Perubahan tentu saja wajar, pergeseran nilai, tradisi, dan adat tentu saja tak mungkin dibendung karena realitas kemanusiaan akan terus berkembang mengikuti alur perubahan zaman.
Sadar maupun tidak, menerima atau pun menolak, pertukaran budaya itu kerap kali terjadi, bahkan seringkali melampaui ekspektasi kita sendiri. Namun, jika budaya kita sendiri tercerabut dari akarnya dan digantikan budaya lainnya, masihkah kita disebut Indonesia?
Itulah barangkali hal-hal yang dipikirkan jauh-jauh hari para founding fathers kita yang secara bulat menyepakati Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara agar akar tradisi dan budaya kita tak tercerabut dan ditukar budaya bangsa lainnya.
Budaya bagi saya semacam jati diri, kekhasan, identitas nasional yang tak boleh ditukar oleh budaya apapun, sekali pun budaya itu dianggap lebih baik. Budaya yang melekat dalam setiap jati diri anak bangsa adalah kewarasan berpikir, bukan hal kebiasaan ikut-ikutan tanpa didasari oleh cara berpikir, berprilaku, dan berbuat seperti yang ditunjukkan oleh budaya tertukar selama ini.
Nilai kasih sayang yang selama ini hidup dalam dimensi paling luas, menjadi entitas budaya yang diakui secara bersama, lalu terdistorsi oleh momen valentine dan ditukar oleh sebungkus cokelat yang diikat inisial ikon berbentuk hati merah muda dan hanya dilakukan pasangan yang kasmaran. Ah, ternyata tidak hanya doa yang tertukar, karena budaya-pun sepertinya banyak yang tertukar di negeri ini.
Penulis: Syahirul Alim