Rabu, Januari 20, 2021
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
25 °c
Gorontalo
25 ° Rab
25 ° Kam
26 ° Jum
25 ° Sab
  • Login
Tech News, Magazine & Review WordPress Theme 2017
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Nasional
    • Peristiwa
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
    • Fokus Pilkada
    • DPRD
  • Hukum & Kriminal
    • KABAR BHABINKAMTIBMAS
    • KABAR MILITER
  • Opini
  • Sekitar Kita
    • Gaya Hidup
      • Olahraga
      • Musik
      • KABAR NYIUR MELAMBAI
    • Pendidikan
      • Kabar Kampus
    • Kesehatan
      • Kuliner
    • Lingkungan
      • Pariwisata
No Result
View All Result
Mimoza TV
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Nasional
    • Peristiwa
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
    • Fokus Pilkada
    • DPRD
  • Hukum & Kriminal
    • KABAR BHABINKAMTIBMAS
    • KABAR MILITER
  • Opini
  • Sekitar Kita
    • Gaya Hidup
      • Olahraga
      • Musik
      • KABAR NYIUR MELAMBAI
    • Pendidikan
      • Kabar Kampus
    • Kesehatan
      • Kuliner
    • Lingkungan
      • Pariwisata
Mimoza TV
No Result
View All Result

Valentine dan Budaya yang Tertukar

Lukman Polimengo by Lukman Polimengo
Februari 15, 2019
in Opini, Sosial Budaya
144 8
0
Home Opini
Share on FacebookShare on WhatsappShare On Twitter

Istilah “valentine” yang terambil dari bahasa Inggris dan kemudian membudaya dalam bangsa kita, sejatinya bukan budaya, tetapi lebih kepada etika bisnis. Simbol hati merona merah muda dan cokelat, seolah menjadi ikon utama yang marak diperdagangkan di hari-hari jelang Valentine.

Mungkin saja benar ketika Richard Cadbury mulai memperkenalkan cokelat sebagai kado valentine, sebagai alasan etika bisnis agar perusahaan coklatnya laris manis melalui suatu propaganda bisnis melalui perayaan hari ungkapan kasih sayang yang dimulai 14 Februari. Jika momen ini lalu membudaya dan diikuti oleh segenap anak bangsa, sama halnya kita menukar budaya asli kita sendiri dengan budaya milik orang lain.

Ada serentetan budaya asli bangsa ini yang jauh lebih baik bahkan membumi tetapi terlampau banyak yang tertukar dengan budaya bangsa lain. Dulu kita hidup rukun dan saling gotong-royong, tepo seliro, saling menghormati dalam setiap perbedaan, kini bertukar dengan budaya individualisme, perkoncoan, saling curiga, kehilangan kepercayaan, bahkan mungkin tak ada lagi toleransi dalam setiap keragaman.

Dulu kita mengenal slametan, syukuran, mitoni, silaturahmi, sekarang hanya disisakan sekadar untuk urusan-urusan politis dan pengakuan sosial, hampir bukan lagi dianggap tradisi sehari-hari yang dihormati dan dijunjung tinggi.

Terus terang saja, saya juga pernah mengalami masa muda dimana momen Februari senantiasa dijadikan momen terindah karena siap-siap kita membuat sebait puisi dalam sobekan buku tulis yang diselipkan dalam buku pelajaran sekolah. Buku itu lalu kita simpan tepat di antara rongga meja kayu tipikal sekolah zaman dulu, di mana tempat duduk pujaan hati kita berada.

Jika ada duit, mungkin saya sertakan juga cokelat yang bukan Cadbury karena pasti enggak terbeli. Budaya valentine dengan ungkapan kasih sayang seolah menggusur budaya asli kita yang sebelumnya lebih membumi. Karena sepengetahuan saya, kasih sayang itu bukan diktum tekstual, bukan juga ucapan yang dikhususkan di hari tertentu, namun lebih dari itu berkasih sayang adalah prinsip kemanusiaan yang paling asasi.

Untuk sekadar mengingatkan, bahwa pada 14 Februari 1871 lahir seorang ulama besar, penggerak perubahan zaman sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan yang paling dikagumi, KH Hasyim Asy’ari. Sosok kiai rakyat ini sulit dicari tandingannya hingga kini, sekali pun banyak sekali ajaran-ajarannya soal pendidikan, akhlak, kehidupan sosial-politik yang kerap kali berhenti ditumpukan teoritis yang gagal pada tingkat praksis.

Ajarannya yang kental dengan nuansa kasih sayang kepada sesama umat, patut menjadi teladan saat ini, di tengah ambivelensi politik yang saling tohok dan saling tabok hanya karena ambisi kekuasaan dari beberapa kelompok yang ingin menang.

Kebanyakan yang diingat di 14 Februari adalah valentine yang seolah-olah itulah budaya “baik” sebagai ungkapan kasih sayang para muda-mudi yang kadang kebablasan. Budaya kita ditukar budaya asing bahkan mendistorsi ungkapan kasih sayang hanya bagi dua sejoli, sehingga nilai kasih sayang yang lebih besar justru ambyar dalam diksi valentine yang selalu saja menjadi perdebatan.

Yang paling mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai kasih sayang yang selama ratusan tahun hidup dalam alam sosial-politik masyarakat kita, semakin lama semakin habis terkikis oleh kekuatan hierarkis dan tergerus oleh perubahan arus. Seolah kita ini banyak yang terlampau susah menjauhkan dari budaya “kagetan” sehingga begitu mudahnya budaya kita ditukar budaya lain.

Lalu, apakah ini rangkaian dari efek domino perubahan zaman? Akulturasi budaya dan politik? Mungkin saja iya, namun dalam beberapa hal disadari maupun tidak, ternyata kita memang dijajah oleh budaya orang lain dan meninggalkan budaya kita sendiri. Saya sendiri bukan penganut kepercayaan akan teori konspirasi sekalipun kadang jika melihat pada konstruksi budaya kita yang semakin rapuh, sedikit banyak saya akhirnya harus mempercayainya.

Konon, bahwa penyebaran budaya ada kaitannya dengan teori konspirasi yang disusun sedemikian rupa, dipropagandakan, dipertukarkan melalui pertukaran budaya, baik lewat buku, film, pelajar, dan lainnya dengan tujuan perubahan mindset agar budaya asing seolah-olah menjadi budaya kita sendiri.

Saya memang hidup dalam sebuah keluarga yang sangat menghargai tradisi, terutama tradisi yang bagi saya tidak melenceng dari nilai-nilai islami. Entah apakah kebetulan saya dibesarkan di lingkungan keluarga NU yang getol menjaga warisan tradisi dan budaya yang cenderung tak mempertentangkannya dengan ajaran agama, ataukah memang cara mendidik keluarga saya agar tidak menjadi sosok yang anti-tradisi.

Bagi saya, tradisi yang baik pasti berdampak baik dalam hal pelestarian nilai-nilai kasih sayang bagi sesama dan tidak merusak, menggusur, atau tertukar dengan budaya lain yang cenderung mengubah watak asli budaya itu sendiri.

Belakangan banyak sekali budaya yang tertukar, misalnya bagi sebagian orang ada yang beranggapan ketika melihat budaya Arab dianggap sebagai Islam atau sebaliknya. Maka tak heran ketika soal gamis, jenggot, sirwal (celana syar’i), niqab (cadar), imamah (sorban penutup kepala), dan masih banyak yang khas budaya Timur Tengah dianggap budaya Islam yang dipraktikkan oleh beberapa masyarakat Indonesia.

Padahal, kita memiliki budaya sarung, peci, sorban, kerudung, blangkon, yang telah lebih dulu menjadi tradisi baik dan menjadi ciri khas budaya kita sendiri. Pada kenyataannya, teori konspirasi itu tetap patut dicurigai—untuk tidak disebut diyakini—menjadi bagian terpenting dari suatu propaganda budaya dalam bentuk importasi tradisi atau ideologi yang dibawa melalui ajang pertukaran-pertukaran pelajar atau perihal lainnya yang sejenis.

Kita memang sulit untuk menjadi tertutup dari beragam artikulasi budaya lain yang ikut menghampiri dan tak mungkin juga hidup seolah katak dalam tempurung yang tidak tahu apa-apa. Proses pertumbuhan manusia itu selalu berubah dari generasi ke generasi dan tak luput dari berbagai tradisi dan budaya yang diikuti. Perubahan tentu saja wajar, pergeseran nilai, tradisi, dan adat tentu saja tak mungkin dibendung karena realitas kemanusiaan akan terus berkembang mengikuti alur perubahan zaman.

Sadar maupun tidak, menerima atau pun menolak, pertukaran budaya itu kerap kali terjadi, bahkan seringkali melampaui ekspektasi kita sendiri. Namun, jika budaya kita sendiri tercerabut dari akarnya dan digantikan budaya lainnya, masihkah kita disebut Indonesia?

Itulah barangkali hal-hal yang dipikirkan jauh-jauh hari para founding fathers kita yang secara bulat menyepakati Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara agar akar tradisi dan budaya kita tak tercerabut dan ditukar budaya bangsa lainnya.

Budaya bagi saya semacam jati diri, kekhasan, identitas nasional yang tak boleh ditukar oleh budaya apapun, sekali pun budaya itu dianggap lebih baik. Budaya yang melekat dalam setiap jati diri anak bangsa adalah kewarasan berpikir, bukan hal kebiasaan ikut-ikutan tanpa didasari oleh cara berpikir, berprilaku, dan berbuat seperti yang ditunjukkan oleh budaya tertukar selama ini.

Nilai kasih sayang yang selama ini hidup dalam dimensi paling luas, menjadi entitas budaya yang diakui secara bersama, lalu terdistorsi oleh momen valentine dan ditukar oleh sebungkus cokelat yang diikat inisial ikon berbentuk hati merah muda dan hanya dilakukan pasangan yang kasmaran. Ah, ternyata tidak hanya doa yang tertukar, karena budaya-pun sepertinya banyak yang tertukar di negeri ini.

Penulis: Syahirul Alim

Tags: Hari Kasih SayangValentine Day
Previous Post

Diduga Pelaku Panah Wayer, Tim Alap-Alap Ringkus Belasan ABG

Next Post

Lagi Viral, #UninstallJokowi Puncaki Trending Dunia

Next Post
Lagi Viral, #UninstallJokowi Puncaki Trending Dunia

Lagi Viral, #UninstallJokowi Puncaki Trending Dunia

Recommended.

Boeing Cermati Kecelakaan Pesawat Lion Air

Posko Basarnas di JICT 2 Tanjung Priok

Oktober 29, 2018
Gubernur dan Kajati Gorontalo Bekali Satgas Yonif 713/Satyatama

Gubernur dan Kajati Gorontalo Bekali Satgas Yonif 713/Satyatama

Juli 9, 2019

POPULAR POST

  • Lagi Viral Nonton Video dan Iklan Bisa Dapat Duit, Apa Semudah Itu?

    Lagi Viral Nonton Video dan Iklan Bisa Dapat Duit, Apa Semudah Itu?

    1549 shares
    Share 620 Tweet 387
  • Perbedaan Antara Mata Uang Digital Dan Kripto (Cryptocurrency)

    547 shares
    Share 219 Tweet 137
  • Longsor di Manado Makan Korban Jiwa, Daerah Langganan Banjir Mulai Digenangi Air

    471 shares
    Share 188 Tweet 118
  • Diduga Ada Permainan Penggunaan Dana, Adhan Dambea Minta Gubernur Periksa Baznaz Provinsi Gorontalo

    474 shares
    Share 190 Tweet 119
  • Di Tuding Jadikan Wakilnya Dulu Sebagai Tumbal Bansos, Begini Reaksi Adhan Dambea

    470 shares
    Share 188 Tweet 118
  • Sidang Pembelaan Kasus GORR, Josep: Kejati Harus Mengungkap Siapa Dalang Atau Aktor Intelektual

    471 shares
    Share 188 Tweet 118
  • Buntut Pelaporan Robin Bilondatu, DKPP Berhentikan Rasit Sayiu

    469 shares
    Share 188 Tweet 117
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Program
  • Pedoman Media Siber

© 2020 Mimoza TV - PT. Mimoza Multimedia Agus Salim St. 67 Gorontalo

No Result
View All Result
  • Kabar Daerah
    • Provinsi Gorontalo
    • Kota Gorontalo
    • Kabupaten Gorontalo
    • Bone Bolango
    • Boalemo
    • Pohuwato
    • Gorontalo Utara
  • Nasional
    • Peristiwa
  • Internasional
  • Ekonomi
  • Politik
    • Partai
    • Fokus Pilkada
    • DPRD
  • Hukum & Kriminal
    • KABAR BHABINKAMTIBMAS
    • KABAR MILITER
  • Opini
  • Sekitar Kita
    • Gaya Hidup
      • Olahraga
      • Musik
      • KABAR NYIUR MELAMBAI
    • Pendidikan
      • Kabar Kampus
    • Kesehatan
      • Kuliner
    • Lingkungan
      • Pariwisata

© 2020 Mimoza TV - PT. Mimoza Multimedia Agus Salim St. 67 Gorontalo

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Go to mobile version