ANGKA itu impresi! Dalam dunia pemasaran, angka itu terasosiasi pada nilai harga, dan pada penetapan harga terdapat prinsip tidak tertulis, untuk menggunakan angka ganjil serta tidak bulat.
Mengapa begitu? Secara psikologis, angka bernilai pecahan lebih bisa dimaknai mewakili perhitungan yang detail, dibandingkan angka pembulatan.
Lalu apa relasinya dengan perdebatan? Terlebih pada sebuah debat politik? Tentu saja karena angka dapat dipergunakan sebagai alat persuasi, dengan memberi kesan alias impresi.
Di arena debat, data dalam angka dan kata akan berkombinasi, menjadi komunikasi, sifatnya saling melengkapi menjadi komplementer dan menguatkan posisi. Data dan kata harus dipergunakan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan sebagai tujuan.
Terdapat jarak yang terpisah antara data berupa angka, lalu menjadi sebuah informasi dengan kemampuan mengolah interpretasi atas kumpulan angka tersebut. Bagi kekuasaan, hal tersebut berujung pada pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan.
Hal yang paling awal serta mendasar dari rangkaian kerja itu, adalah memastikan asumsi data yang dipergunakan valid dan konsisten.
Jadi jelas diperlukan data yang valid dan reliabel, agar penerjemahan angka-angka tersebut menjadi akurat. Karena itu pula dalam statistik, data berupa angka dapat dijadikan sebagai instrumen manipulatif, terutama dengan bermain pada faktor fundamental yakni sampel alias angka.
Kesalahan bisa terjadi akibat kegagalan pengambilan sampel dinamakan margin of error, sedangkan faktor kesalahan yang disengaja dengan mengambil data sesuai kepentingan lebih menjurus pada moral malfunction.
Kembali pada setting arena debat, maka bertaburan data dan kata dipergunakan, tentu bertujuan untuk menyakinkan khalayak audiens, sembari menekuk logika lawan.
Sekali lagi basis dasarnya harus diterangkan, bahwa angka itu bersifat memukau, seolah sederetan nilai-nilai tersebut adalah cermin realitas.
Sehingga dibutuhkan kemampuan yang cerdas, untuk dapat memberi tafsir atas angka-angka yang disuguhkan para kandidat yang sedang berkompetisi dalam upaya merebut simpati.
Hal ini selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, di mana terdapat fungsi sikap skeptikal, tidak mudah menerima begitu saja apa yang nampak seolah sebagai kebenaran. Apalagi jika angkanya salah.
Hakikat Pemimpin
KEPEMIMPINAN adalah esensi politik! Figur pemimpin pula yang kini menjadi bagian terbesar dari porsi perhatian penduduk negeri ini, melalui kontestasi Pilpres 2019 yang tidak lama lagi menjelang.
Pada prosesnya, para kontestan yang maju sebagai kandidat pemimpin, akan melewati fase debat untuk memberikan pendidikan politik bagi publik, sekaligus mengetahui serta memastikan apa yang hendak ditawarkan sang kontestan.
Perdebatan adalah momentum untuk mengadu argumentasi, berbalas nalar serta rasionalitas pemikiran, sebagai ide dalam membangun bangsa di masa mendatang.
Karena itu, kita harus mampu melihat kepemimpinan dengan karakteristik yang harus dapat ditampilkan bersamaan dalam kehadirannya. Kepemimpinan adalah soal pertanggungjawaban, dalam pengambilan keputusan.
Untuk dapat sampai pada pilihan alternatif keputusan, maka ada ada dua hal penting yang dilalui, yakni: (a) identifikasi persoalan, dan (b) formulasi atas opsi solusi dari permasalahan. Pada kedua level awal tersebut data sangatlah dibutuhkan.
Kita paham, kursi kuasa Presiden itu menunjuk serta melekat pada individu, dengan supporting tugas menggunakan mekanisme kelembagaan, jadi tim kerja kabinet harus mereka yang berintegritas dan profesional.
Dengan demikian, level pekerjaan pemimpin akan meliputi beberapa tahap, di antaranya: (a) level mikro terkait pemahaman membaca data teknis, (b) wilayah meso kemampuan membangun format program kerja atas masalah yang muncul dari data teknis, dan (c) aspek makro sebagai bentuk abstraksi besar, yang menjadi gagasan bagi pilihan kebijakan dengan keberpihakan kepada kepentingan publik.
Pada setiap level, peran kepemimpinan menjadi penting, meskipun tetap akan dibantu oleh sistem yang berada di bawah kendali pemimpin.
Kita lalu masuk ke paradigma kepemimpinan, bahwa pemimpin lebih dari sekedar manajer yang mengelola, karena diharuskan memiliki kebijakan dalam merumuskan kebijaksanaan.
Pemimpin dinyatakan sebagai pihak yang “doing the right things” sementara manajer hanya bertindak “doing the things right”. Pemimpin melampaui aspek manajerial, memberikan arah tujuan, membawa visi, serta mampu melakukan abstraksi dalam proyeksi masa depan.
Jadi data dalam angka dan juga kata, hanya menjadi salah satu dari kebutuhan kepemimpinan, di sisi lain pemimpin harus menjadi pembawa harapan dan pemikir yang ulet.
Terlebih lagi, bila angka sebagai data dan rangkaian kata yang dipergunakan masih keliru, kita memang sedang krisis kepemimpinan dan mencari pemimpin bagi perubahan!