Gorontalo, mimoza.tv – Dewan Pers memperketat aturan pemberitaan yang menyangkut anak di bawah umur. Hal ini dilakukan untuk menjaga privasi dari seorang anak yang masih dalam masa pertumbuhan.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan pedoman pemberitaan ramah anak. Dengan pedoman itu, insan pers bisa terlindung juga dari ancaman pidana.
“Pedoman pemberitaan ramah anak ini tujuannya untuk media tidak mengungkapkan identitas anak di bawah usia 18 tahun secara jelas. Karena apabila media melakukan pengeksposan identitas anak, maka akan dikenakan denda dan hukuman penjara,” kata Hendry dalam diskusi sosialisasi mengenai pedoman pemberitaan ramah anak di Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (19/6) dilansir dari JPNN.
Dia menambahkan, tujuan lainnya dari pembentukan pedoman pemberitaan ramah untuk menghindari kriminalisasi. Media, kata Hendry, harus turut berperan melindungi anak melalui berita yang disampaikan.
“Pedoman ini penting untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dalam pengungkapan identitas anak yang membutuhkan ruang hidup dan memaksimalkan pertumbuhannya,” sambung dia.
Menurut dia, media tidak boleh mengeksploitasi pemberitaan terhadap anak. “Jadi, media harus memberitakan kasus anak dengan identitas yang secukupnya, tak perlu secara detail,” tandas dia.
Ini dia 12 poin pemberitaan ramah anak:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.