Grup band Slank kerap bersuara ketika terdapat upaya-upaya yang diduga menjadi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam beberapa tahun ke belakang. Lalu, mengapa kini Slank tampak tidak bersuara kembali?
“I remembered you was conflicted. Misusing your influence. Sometimes, I did the same” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Sebagian besar dari kita pasti mengenal siapa Slank. Setidaknya, bila tidak mendengar lagunya, nama Slank cukup populer dan menggema di masyarakat. Bahkan, banyak yang bilang bendera Slank selalu hadir di berbagai konser meskipun musisi yang tampil bukanlah Slank.
Bagi anak-anak muda tahun 1990-an hingga tahun 2000-an yang menyukai musik-musik underground, Slank dengan musik-musiknya yang mengandung narasi kritis terhadap isu-isu sosial. Grup band ini juga pernah merilis lagu yang menyindir pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam lagunya yang berjudul “Seperti Para Koruptor” misalnya, Slank mengemas kisah cintanya yang terhambat oleh kesenjangan ekonomi yang sampai sekarang masih menjadi persoalan sosial di Indonesia. Lagu yang dirilis pada tahun 2008 itu menyindir koruptor dalam beberapa barisnya.
Suara anti-korupsi Slank ini tidak hanya diterjemahkan dalam lagu. Grup band ini dalam sejarahnya aktif mendukung berbagai upaya yang dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketika muncul rencana revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2016 dan 2017 misalnya, Slank secara aktif hadir di Gedung KPK dan mengadakan konser mini. Beberapa tahun sebelumnya, Slank juga bersuara mendukung KPK ketika terjadi polemik Cicak vs Buaya.
Namun, di tengah-tengah polemik pelemahan KPK – dengan adanya pemilihan pimpinan baru dan revisi UU No. 30/2002 – kini, Slank sepertinya lebih memilih absen dan tidak bersuara. Beberapa warganet juga mempertanyakan absennya Slank dari protes dan demonstrasi yang menolak revisi UU KPK.
Setidaknya, dari fenomena ini, timbul beberapa pertanyaan. Bagaimana sebenarnya peran musik dalam dimensi sosial-politik? Lantas, mengapa Slank cenderung absen dalam polemik pelemahan KPK kini?
Peran Musik
Musik dalam sejarahnya mengambil peran penting dalam perubahan-perubahan sosial dan politik yang terjadi di dunia. Di Indonesia, Slank bisa jadi merupakan salah satu jenis musisi yang aktif dalam menyuarakan isu-isu sosial dan politik.
Peran musik dalam politik ini pernah dibahas oleh John Street dalam tulisannya yang berjudul Music as Political Communication. Dalam tulisannya tersebut, musik setidaknya dapat berperan dalam beberapa bentuk komunikasi politik, yakni sebagai protes, perlawanan, hingga propaganda.
Dengan mengutip tulisan Jean-Jacques Rousseau, Street menjelaskan bahwa musik memiliki peran dalam formasi dan pengaturan di masyarakat. Musik dianggap memiliki kemampuan komunikatif dalam menciptakan perasaan kolektif suatu kelompok, mengartikulasikan gagasan, dan menyampaikan ekspresi emotif.
Kontribusi musik dalam membentuk masyarakat ini dapat ditemukan di berbagai negara dan dalam berbagai konteks. Dalam konteks protes dan perlawanan misalnya, musik digunakan untuk menyampaikan gagasan-gagasan sosial dan politik.
Hip-hop yang kini tumbuh menjadi salah satu musik populer di Amerika Serikat (AS) misalnya, merupakan bentuk perlawanan terhadap diskriminasi rasial yang terjadi di negeri adidaya itu. Musisi-musisi rap seperti J. Cole dan Kendrick Lamar kerap mengkritisi kekerasan yang dilakukan oleh polisi, serta rasisme yang menjangkiti masyarakat AS.
Selain AS, terdapat juga gerakan Rastafari yang kental dengan aliran musik reggae. Stephen A. King dalam bukunya yang berjudul Reggae, Rastafari, and the Rhetoric of Social Control menjelaskan bahwa reggae dalam empat dekade terakhir menjadi wadah aspirasi bagi kelompok menengah ke bawah dan kelompok yang tertindas.
Musisi-musisi reggae seperti Alpha Blondy, Bob Marley, dan Burning Spear kerap menyebarkan pesan-pesan yang mendorong perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan perdamaian. Bahkan, karya-karya Bob Marley memiliki pengaruh politik secara global. Lagunya yang berjudul “Zimbabwe” misalnya, menjadi lagu perjuangan pejuang-pejuang kemerdekaan di Rhodesia.
Lalu, bagaimana dengan musisi-musisi di Indonesia?
Musik dianggap memiliki kemampuan komunikatif dalam menciptakan perasaan kolektif suatu kelompok, mengartikulasikan gagasan, dan menyampaikan ekspresi emotif Click To Tweet
Suara Oposan Slank
Musisi-musisi di Indonesia sebenarnya telah menggunakan musik sebagai ekspresi protes dan perlawanan. Peran musisi dalam dimensi ini setidaknya paling banyak dibahas terkait Orde Baru dalam berbagai pustaka.
Tulisan Emma Baulch yang berjudul Alternative Music and Mediation in Late New Order Indonesia misalnya, musisi-musisi aliran alternatif – seperti rock – mengisi diskursus Orde Baru yang mengedepankan nilai-nilai kemapanan (establishment) dan keteraturan (orderliness).
Beberapa musisi alternatif – menghadirkan musik-musik non-mainstream – yang disebutkan oleh Baulch adalah Slank dan Iwan Fals. Hingga Orde Baru runtuh, Slank dinilai tetap aktif menyuarakan aspirasi-aspirasi oposan, termasuk dalam perjuangan anti-korupsi.
Sabina Panth dalam tulisannya yang berjudul Changing Norms is Key to Fighting Everyday Corruption menjelaskan bahwa dorongan perubahan terhadap norma dan nilai yang ada (established norms) di masyarakat berperan penting dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk melalui musik. Panth pun menyebutkan bahwa Slank dikenal identik dengan perjuangan anti-rasuah.
Secara informal, KPK dan Slank dinilai oleh Panth memiliki hubungan yang saling mendukung – seperti kasus penangkapan Chandra-Bibit pada tahun 2009, hingga konser mini di Gedung KPK pada tahun 2016-2017. Di balik lirik hingga konser-konsernya yang mendukung KPK, terdapat penggemar dan pendukung yang hadir melindungi Slank dari upaya DPR untuk mengancam band tersebut.
Sejarah panjang kedekatan grup band ini dengan KPK pun kini menimbulkan pertanyaan. Jika Slank dan lembaga anti-rasuah tersebut memang memiliki hubungan informal yang saling mendukung, mengapa suara oposan grup band ini tidak kembali terdengar dalam polemik pelemahan KPK baru-baru ini?
Kooptasi Musik, Pendukung Jokowi?
Dengan adanya peran dan pengaruh musik dalam dimensi sosial-politik, musik dapat dianggap ancaman terhadap pemerintah dan status quo. Akibatnya, musik pun menjadi sasaran bagi kooptasi oleh pemilik kekuasaan.
Bisa jadi, musik sebagai gelombang oposisi membuat penguasa perlu melakukan beberapa manuver untuk meredamnya. Bukan tidak mungkin apabila Slank menjadi salah satu sasaran kooptasi tersebut.
Patrick G. Coy dalam tulisannya yang berjudul Co-Optation menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan dapat saja menjangkau pihak-pihak yang terlibat dalam gerakan sosial dan politik agar dapat masuk ke dalam sistem sebagai peserta di dalamnya. Mengacu pada Coy, penyerapan aktivis dan oposisi dapat memunculkan dukungan dari mereka terhadap suatu rencana kebijakan publik yang sebelumnya ditolak.
Fenomena ini setidaknya pernah terjadi pada gerakan Rastafari di Jamaika. Gerakan yang identik dengan musik reggae ini dinilai menjadi korban kooptasi pemerintah oleh King dalam tulisan lainnya yang berjudul The Co-optation of a “Revolution”.
King menilai strategi kooptasi digunakan oleh pemerintah Jamaika sebagai sebuah taktik untuk mengontrol gelombang ancaman yang ditimbulkan oleh musik reggae dan gelombang Rastafari guna menjaga kekuasaan dan legitimasinya.
Salah satu upaya kooptasi Rastafari ini dilakukan dengan melibatkan musisi-musisi reggae dalam kampanye-kampanye politik. Michael Manley – menjabat sebagai perdana menteri Jamaika pada tahun 1972-1980 dan 1989-1992 – menyadari pengaruh musik reggae dan mengooptasinya dalam kampanye-kampanye politik guna menarik simpati kaum muda.
Selain Jamaika, terdapat juga upaya kooptasi musik yang dilakukan oleh Presiden Kamerun Paul Biya. Francis B. Nyamnjoh dalam tulisannya yang berjudul Entertaining Repression menjelaskan bahwa terdapat salah satu musisi yang sebelumnya dikenal identik dengan musik-musik protes, yakni Lapiro de Mbanga. Kooptasi ini dilakukan dengan menjadikan Lapiro sebagai anggota dari partai yang berkuasa.
Bila musik yang kritis dan oposan di negara-negara tersebut menjadi sasaran kooptasi pemerintah, lantas bagaimana dengan Slank?
Nyatanya, grup band tersebut ditengarai memiliki kedekatan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak Pilpres 2014 hingga 2019, Slank juga kerap hadir sebagai bintang yang tampil dalam berbagai pagelaran kampanye mantan Wali Kota Solo tersebut.
Mungkin, hal yang dapat dipertanyakan adalah keterkaitan adanya kooptasi tersebut dengan dugaan pembiaran oleh Presiden Jokowi terhadap upaya-upaya pelemahan KPK. Pasalnya, senada dengan presiden, Slank yang sebelumnya aktif menyuarakan KPK dinilai oleh sebagian pihak lebih memilih sikap diam.
Meski begitu, penyebab dari sikap diam grup band ini belum dapat dipastikan benar-benar merupakan hasil dari kooptasi musisi. Yang jelas, seperti Manley di Jamaika, Jokowi bisa jadi menggunakan kooptasi terhadap Slank sebagai penguat pesan-pesan politiknya di kalangan kaum muda dan penggemar grup itu.
Mungkin, Slank tengah mengalami dilema dengan kooptasi tersebut. Seperti puisi rapper Kendrick Lamar di awal tulisan, Slank harusnya menyadari bagaimana pengaruh musiknya dalam protes sosio-politik. Mari kita tunggu kembali suara Slank di masa mendatang, entah hingga kapan. (A43)
Sumber: Pinterpolitik.com