Oleh: Aryanto Husain
Prihatin, turut berduka atas musibah banjir yang kembali melanda Gorontalo. Guyuran air hujan sejak Kamis pagi di bagian hulu dan hilir Gorontalo mengakumulasi genangan menjadi banjir.
Curah hujan yang tinggi yang jatuh dalam bentang alam yang dominan dataran rendah, jenis tanah dengan permeabilitas rendah, muka air tanah yang dangkal, tata guna lahan yang kurang baik dan diperparah oleh sistim drainase yang belum baik memperparah kejadian banjir ini.
Di tengah pandemi COVID-19, kita tentu semakin prihatin. Disaat warga yang seharusnya berdiam di rumah dibawah anjuran stay at home, banjir justeru memaksa mereka meninggalkan rumahnya. Mengungsi ke tempat lebih aman, berbaur dengan pengungsi lainnya dalam kondisi tanpa penerapan protokol COVID-19. Ironis dan memprihatinkan. Semoga musibah banjir yang dialami warga tidak berakhir dengan musibah lain yang lebih tidak pasti, penyebaran virus Sars-Cov2.
Banjir adalah sebuah paradoks kehidupan. Dia menjadi langganan dan tamu kita, yang setiap saat bisa datang tanpa diundang, Datang baik sebagai banjir musiman yang terjadi karena curah hujan yang deras, maupun datang secara periodic dalam kurun waktu tertentu. Jika banjir musiman reda setelah curah hujan berhenti -yang siklusnya periodik, lima tahunan misalnya bisa berakhir lebih lama. Tergantung penyebabnya, semakin kompleks semakin lama dan semakin besar dampak yang ditimbulkannya.
Penyebab banjir kompleks dan multidimensional, akibat degradasi lingkungan maupun kesadaran masyarakat. Degradasi lingkungan umumnya dipersepsikan menjadi penyebab utamanya. Kawasan gundul di bagian hulu yang tidak bisa lagi menahan limpasan air biasanya menjadi arah telunjuk kita. lupa, jika empat jari tangan kita yang lain justru menunjuk diri sendiri, bahwa penyebabnya adalah ulah kita juga.
Hutan yang rusak, pegunungan yang kian gundul hanyalah symptom (gejala). Penyebab utamanya justru kegiatan manusia, mulai dari peladangan berpindah, deforestasi, alih fungsi hingga perilaku membuang sampah sembarang.
Gejala antropogenik ini _faktor ulah manusia menjadi alasan utama kenapa lingkungan kian rusak. Penyebabnya berakar di perilaku individu yang menyimpang. Lingkungan yang asri dan manfaat yang diperoleh darinya adalah pengetahuan yang diajarkan sejak sekolah dasar, ke kampus-kampus, hingga diperdebatkan di ruang-ruang seminar.
Di lapangan, kebalikannya justeru yang terjadi. Manusia dengan mudahnya mengeksploitas sumberdaya alam diluar batas kemampuan alam menyediakannya. Akibat yang terjadi adalah deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Ibarat tubuh yang kelelahan karena dipaksa bekerja keras, begitulah lingkungan. Alih-alih menjaganya, perlaku dan ulah kita justeru merusaknya.
Paradoks banjir adalah implikasi kegagalan perilaku. Banjir adalah fenomena tahunan yang setiap saat menghantui warga terutama saat musim penghujang tiba. Namun kejadian yang berulang ini tidak kunjung merubah keasadaran, upaya mitigasi dan adaptasi warga. Alih-alih menjauhi sempadan, banyak pemukiman dan rumah makan yang justeru menjamur di sepanjang Sungai. Kesadaran untuk tidak membuang sampah di sungai juga belum banyak berkurang. Air sungai menjadi rumah sampah organic dan non organic yang seringkali teronggok membusuk, tenggelam kedasar sungai. Bias perilaku ini tidak hanya dimiliki orang desa, kadang lebih banyak dijumpai di kalangan warga yang tinggal di perkotaan.
Individu manusia sejatinya memiliki dorongan untuk berbuat baik atau buruk. Levitt dan Dubner menyebut dorongan ini sebagai insentif yang dibagi dalam insentif ekonomi, social dan moral. Memanfaatkan summberdaya alam adalah insentif ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Namun jika dilakukan dengan sangat eksploitatif hasil pun buruk. Padahal manfaat mengeksploitasi sumberdaya alam berwawasan lingkungan adalah salah satu cabang pengetahuan yang penting. Diajarkan dibangku-bangku sekolah hingga local wisdom di tingkat lokal. Tapi ternyata insentif ekonomi lebih mendominasi, akibatnya tindakan kita tidak menghasilkan kebaikan. Kehidupan individu yang dilatarbelakangi insentif (incentivize behavior) ini perlu didorong melahirkan kesadaran pentingnya keseimbangan antara berbagai insentif ekonomi, social dan moral tadi.
Tidak mudah memang membangun kesadaran. Pengetahuan tentang manfaat eksplotasi sumberdaya berkelanjutan tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Lihatlah, bagaimana tumpukan sampah yang menggunung di tempat dimana ada peringatan “dilarang membuang sampah sembarang”. Atau, bangunan yang kian menjamur di tengah larangan membuat bangunan dipinggir sungai. Membangun kesadaran ini diadaptasi hingga keurusan social. Setiap warga yang menikah wajib menanam satu pohon atau aksi social menanam pohon di hutan. Namun banjir yang kembali menerjang menjadi ilustrasi betapa bangunan kesadaran itu rapuh dan belum memberi dampak yang diinginkan.
Bias perilaku ini dikenali pakar pakar ekonomi perilaku, Daniel Kahneman sebagai bentuk irasionalias pola pikir individu. Individu pada dasarnya memiliki dua sistem pemikiran yaitu sistem respon otomatis alami (intuitif dan irasional) dan sistem reflektif kompleks (penuh kesadaran). Kita sering menganggap diri rasional dan mengambil keputusan-keputusan berdasarkan rasionalitas.
Membangun pemukiman di bantaran sungai dianggap keputusan rasional. Toh bangunannya bukan di atas badan air, atau kita membangun tanpa bantuan. Membuang sampah di sembarang tempat, toh nanti ada mobil sampah yang mengangkutnya.
Bias heuristic ini mendorong kita sering membuat keputusan berdasarkan kemudahan suatu informasi tertentu muncul dalam pikiran. Umumnya, individu memilih hal yang mudah baginya. Menebang pohon lebih mudah dan cepat memberikan pendapatan dibanding menaman dan merawatnya. Membuang sampah di sungai lebih praktis dan cepat dibanding menyediakan tempat sampah sendiri. Membangun rumah di pinggir sungai lebih estetis dan murah dibandingkan di kawasan umum.
Belenggu fikiran ini membatasi jangkauan nalar individu terhadap akibatnya. Saat air sungai melimpah, areal yang pertama di genangi air sungai adalah daerah bantaran, atau saat sampah tidak terangkut, kitalah yang pertama kali merasakanya dampak bau sampah yang membusuk.
Banjir memiliki perilaku yang unik dan paradoksial, namun ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengendalikannya. Keunikan perilaku manusia tidak cukup dengan ilmu pengetahuan. Dibutuhkan pengenalan bias perilaku, mengenali cara berfikir individu yang tidak rasional agar dapat mendorong kesadaran untuk semakin ramah dengan lingkungan.
Semoga banjir di Gorontalo segera usai, warga selamat, dan kehidupan kembali normal**