Hai mari berhimpun dan bersuka ria. Hai mari semua ke Betlehem.
Lihat yang lahir, Raja Balasorga. Sembah dan puji Dia, sembah dan puji Dia.
Sembah dan puji Dia, Tuhanmu.
Gorontalo, mimoza.tv – Lantunan Kidung Jemaat 109: 1;2 Hai Mari Berhimpun yang kompak dinyanyikan jemaat Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG) Sentrum mengalun merdu, mengiringi Pendeta Oktavin Mozes, S.Th naik keatas mimbar. Usai menyanyikan kidung, jemaat kembali duduk dengan tetap mengenakan masker dan dengan khidmadnya mengikuti rangkaian demi rangkaian ibadah.
Ibadah Natal di Gereja Sentrum Gorontalo tahun ini sangat berbeda dari ibadah pada tahun–tahun sebelumnya, dimana jumlah jemaatnya bisa mencapai sekitar 150 orang. Ibadah di tengah pandemi corona ini hanya dihadiri sekitar 50 jemaat saja, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Bangku yang biasanya di isi oleh empat sampai lima orang, kini hanya bisa di duduki oleh dua orang saja dengan posisi saling berjauhan satu dengan yang lainnya.
Sementara di depan mimbar tempat Pendeta Oktaviani berkhotbah, dipasang gawai yang menyiarkan langsung jalannya ibadah. Jemaat yang tidak hadir langsung dapat mengikuti ibadah dari rumah masing-masing. Sementara di luar gereja aparat TNI – Polri berjaga mengamankan jalannya ibadah.
Pemandangan yang sama juga dapat dijumpai di gereje-gereja lainnya, seperti di Kerapatan Gereja Baptis Indonesia, Perum Awara Karya, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Gorontalo. Seluruhnya berlangsung khidmat dengan tetap menerapkan protokol kesehata.
Gereja Sentrum Bagian Dari Sejarah Gorontalo
Sekilas dalam perjalanannya, Gereja Sentrum merupakan bagian dari sejarah Provinsi Gorontalo, yang juga dijuluki sebagai “Serambi Madinah”.
Gereja ini merupakan satu dari 12 cabang kemandirian Gereja Protestan Indonesia (GPI) yang melayani wilayah Provinsi Gorontalo, yang kala itu merupakan bagian dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah.
Gereja yang beralamat di Jalan Pangeran Kalengkongan nomor 13, Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo ini sudah ada sejak abad ke-16, atau seiring dengan kehadiran pemerintahan kolonial Belanda. Kala itu pembaptisan pertama dilayani oleh misionaris J.H.Lineman.
GPIG adalah bagian dari GPI yang dimekarkan menjadi gereja yang berdiri sendiri berdasarkan keputusan Badan Pekerja Am GPI di Jakarta pada 30 April 1964, dan diresmikan pada 18 Juli 1965.
Pada sidangnya yang pertama tanggal 19–20 Juli 1965 telah ditetapkan Badan Pekerja Sinode periode pertama (1965–1969). Waktu itu yang terpilih sebagai ketuanya adalah Pendeta. J. Pondaag.
Jauh sebelumnya, Persekutuan Jemaat Kristen yang diberi nama Jemaat Imanuel Wilayah I Kota Gorontalo pada tahun 1861 telah tercatat peristiwa-peristiwa yang sangat penting dalam sejarah GPIG, dimana didalamnya berhubungan dengan menghadirkan Karya Selamat Allah di bumi Gorontalo.
Peristiwa penting dalam perjalanan Gereja Tuhan di Gorontalo yakni doproklamirkannya “GPIG Bersinode” dihadapan Pemerintah serta masyarakat Gorontalo pada tanggal 18 Juli 1965, yang berbadan hukum GPI, serta berdasarkan Staatsblad Van Nederlansch Indie Tahun 1927 No.155 bagian A dan No.156.
Saat ini jumlah jemaat gereja tertua di Gorontalo ini berjumlah sekitar 390 Jiwa dari 110 Kepala keluarga. Mereka hidup rukun dan harmonis, berdampingan dengan warga muslim Gorontalo lainnya.(luk)