Oleh : Eka Putra B Santoso (Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Mukkadimah
Secara Gamblang, judul ini merupakan anomali antara cita-cita bangsa menciptakan produk nasionalistik namun seakan membunuh partisipasi masyarakatnya. Memang, dalam arus penegakkan hukum kita, KUHP menjadi peninggalan kolonial yang kita gunakan sampai saat ini, sehingga kebutuhan akan KUHP baru sudah harus dirancang dan didiskusikan dalam kerangka diskursus publik yang massif.
Kita sebagai bangsa tentu banyak belajar dari sejarah, hal yang fundamental harus secara berkala menjadi pembahasan serius ditengah-tengah publik kita. Jika tidak, disobedience warga akan menjadi momok dari produk yang dihasilkan negara. walaupun konstruksi ini punya kanal uji di lembaga Mahkamah Konsitusi maupun Mahkamah Agung, namun bukannya titik perbedaan itu alangkah lebih elok diselesaikan pada titik temu pemikiran, toh produk tersebut akan diberlakukan dan harus ditaati oleh kita bersama.
Dari hal tersebut, di era Presiden Jokowi ada beberapa produk hukum seperti Omnibus Law, revisi Undang-Undang KPK, hingga kini RKUHP yang tidak terkoneksi dengan baik dengan kondisi psikologis masyarakat Indonesia.
Dari produk RKUHP yang kini telah diserahkan di DPR misalnya, ada beberapa pasal yang kini ramai dibicarakan di publik, salah satu misalnya pasal 351 yang berbunyi ;
“Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6( enam) bulan atau pidana denda palinga banyak kategori II”
Kekuasaan umum dan lembaga yang dimaksud pasal ini ialah DPR,DPRD,Polri ,Kejaksaan dan Pemerintah Daerah.
Tentu pasal ini sangat problematik. Karena memuat materi yang seakan memberangus hak-hak demokrasi warga negara. terutama dalam menyampaikan kritik pada lembaga pemerintahan. Memang dalam beberapa pemberitaan Wamenkumham Prof Edy Hariej menyampaikan bahwa di Indonesia harus bisa membedakan mana penghinaan mana kritik. Kritik jelas bisa disampaikan namun penghinaan itu berhubungan dengan ranah pidana.
Dari konstruksi tersebut mari kita bedah arah dari maksud pemerintah dengan menggunakan logika keadilan warga negara. sebuah arus dasar yang menjadikan negara ini eksis sebagai negara hukum bukan negara kekuasaan.
Logika Sosiologi Hukum
Dalam KUHP yang kita gunakan hari ini, Penghinaan disamakan dengan pencemaran nama baik, diatur dalam pasal 310 yang menyatakan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui publik.
Selain itu, Undang-undang ITE pasal 27 juga mengatur tentang penghinaan yang maksimal hukuman sampai dengan 6 tahun.
Tentu dalam hal terminologi, kedua pasal tersebut berbicara tentang individu yang merasa dihina bukan dalam konstruksi kelembagaan atau jabatan publik. secara filosofis, pembedaan itu masuk pada ranah privat bukan publik. Ketika orang merasa dia dihina, jelas dia akan mengadukan hal tersebut karena posisi dia yang bebas dari jabatan publik. karena kalau berhubungan dengan posisi-nya sebagai pejabat publik , akan sulit sekali membedakan mana yang dimaksud penghinaan mana yang kritik, mengapa? Karena publik adalah kondisi yang acak dalam sudut pandang pengetahuan. Kita tidak mungkin menyamakan maksud kritik dari masyarakat yang dari segi latar belakang pekerjaan atau pendidikannya berbeda.
Contoh ; Ketika seorang akademisi mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena kebijakan ekonomi dengan melampirkan data-data ilmiah, berbeda dengan pelaku usaha kecil yang mempersepsikan secara sederhana bahwa ; kemiskinan adalah bagian dari ketidakberpihaknya pemerintah. Dari kedua ungkapan tersebut potensi untuk ditafsirkan sebagai penghinaan atau fitnah dalam pasal 351 RKUHP ada di kalimat kedua karena tidak memuat hal-hal pendukung atas apa yang disampaikan. “Cenderung general dan tak berdasar. “
Kerumitan ini yang mungkin akan dihadapi ketika pasal 351 RKUHP itu berlaku, karena secara sederhana menafsirkan subjek hukum berupa individu dan lembaga. Ini sama saja menggabungkan ketentuan privat seseorang dengan jabatan publik yang diemban. Oleh karena itu memang, realisasi pasal ini harus kembali ditinjau ulang, karena potensi otoritarianisme dalam hal bernegara dimungkinkan berulang. Dan tentu kita semua tidak menginginkannya.
Kemunduran Demokrasi
RKUHP telah diserahkan di DPR, protes dari masyarakat sipil telah disuarakan. Walaupun tumpuan kita kini ada di DPR, realisasi atas aspirasi kemungkinan akan melewati jalan terjal. Padahal logika konsitusi dari warga negara demokratis menjadi penting untuk dibedah dan dijadikan dasar RKUHP yang kini digarap.
Kita tentu tau bersama, konsitusi telah menjamin bahwa setiap warga negara punya hak yang sama dalam berdemokrasi dan berkesamaan didepan hukum. Ini adalah kunci dari warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu , negara harus bisa bijak membuat aturan hukum yang berhubungan dengan kebebasan warga negara. karena jika tidak kita akan mengalami kemunduran dalam demokrasi.
Kemunduran itu tentu kita sesalkan, disaat kita mengalami relaksasi dalam hal munculnya elit-elit baru pasca reformasi, namun indikasi logika otoritarianisme seakan mewabah dan menghawatirkan partisipasi politik warga negara.
Memang pelik, namun ini menjadi kenyataan yang harus kita revisi bersama, pemenuhan hak partisipasi diharapkan negara ketika muncul pemilu dan pilkada 5 tahunan, setelah itu aspirasi dalam bentuk keberpihakan masih menjadi tanda yang tak kunjung henti. Apakah ini yang dimaksud demokrasi yang terjebak pada proses procedural dan mengabaikan subtansi? Semoga saja tidak.