Gorontalo, mimoza.tv – Majelis hakim dalam sidang kasus pencemaran nama baik akhirnya memutuskan Adhan Dambea terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana memfitnah sebagaimana dalam dakwaan kombinasi komulatif kedua jaksa penuntut umum (JPU) pada Selasa (13/9/2022) kemarin. Dalam sidang putusan itu majelis hakim menjatuhkan pidana penjara satu bulan kepada Adhan.
Menanggapi putusan tersebut Ketua Tim Pembela Hak Imunitas (TPHI) AD, bathin Tomayahu menjelaskan, yang terbukti dalam sidang putusan tersebut adalah Pasal 311. Sebagaimana bunyi pasal tersebut kata Bathin, barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Bathin mengatakan, jika melihat isi dari pasal tersebut, maka sebenarnya pihaknya telah membuktikan sebagaimana yang dituduhkan.
“Buktinya kita sudah melaporkan dam sumbernya juga jelas. Fakta-fakta yang mereka sebutkan ada empat itu juga dua diantaranya sudah jelas. Terutama tentang apa yang tertuang dalam Majalah Tempo tentang adanya aliran dana terkait dengan pengadaan lahan jalan GORR,” ucap Bathin diwawancarai Rabu (14/9/2022).
Yang berikutnya lanjut dia, dikaitkan dengan sidang kasus GORR dengan terdakwa Asri Wahyuni Banteng.
“Jadi yang soal rekaman itu, klien kami ini diwawancarai oleh wartawan dan bukan langsung memberikan statemen atau pernyataan. Kalau seperti yang dikatakan oleh Prof Muzakir bahwa melampaui wewenang itu berarti orang yang berinisiatif. Tapi klien kami kan diwawancarai. Makanya itu jadi pertimbangan majelis hakim,” imbuhnya.
Selain itu lanjut Bathin, kedatangan Adhan ke persidangan kasus GORR itu terkait dengan fungsi pengawasan seorang Aleg.
Lantaran, sambung dia, ada Asri Wahyuni Banteng selaku aparat sipil negara (ASN) di Pemerintah Provinsi Gorontalo. Berikutnya, dianggap melampaui wewenang terhadap kejadian ke dua, karena klienya sudah menyebut nama sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Muzakir selaku ahli ketika dihadirkan waktu itu.
“Tetapi jika kita menyimak isi rekaman itu, Pak Adhan tidak menyebu nama, melainkan menyebut jabatan yakni gubernur. Jadi bukan pribadi Rusli Habibie yang disebut, tetapi Gubernur Gorontalo. Terkait dengan hal itu juga klien kami sudah melaporkan. Kasus GORR ini kan masih ada kelanjutannya yakni TTPU. Kan sudah bukan tugasnyag pak Adhan lagi. Yang penting tuduhannya itu sudah dibuktikan atau dilaporkan. Kalau mereka masih menuntut harus ada SPDP, kan itu sudah ranah kewenangan yang lain,” urai Bathin.
Jadi kata dia, dalam pasal itu bakan harus bahwa apa yang dituduhkan itu harus menunggu putusan pengadilan dulu, tetapi hanya perlu dibuktikan.
“Kebenaran tuduhan itu kana da sumbernya. Dari Majalah Tempo, prosesnya juga sementara berjalan bahkan sudah terbukti,” ungkapnya.
Masalah lainnya juga kata dia adalah soal barang bukti berupa rekaman, dimana majelis hakim mempertimbangkan putusan MK bahwa itu tidak sah.
“Barang bukti itu dianggap tidak sah dan illegal. Fakta persidangan sebelumnya, Mardun Sadue ini saat merekam itu menggunakan alat perekan dan bukan handphone. Dari alat perekam itu kemudian dia salin ke handphone, selanjutnya diserahkan ke pimpinannya hingga sampai ke pihak Rusli Habibie. Tetapi justru handphone ini dijadikan alat bukti lantaran Rusli Habibie mendengarnya dari situ,” ujarnya.
Bererti kata Bathin, rekaman itu sudah di salin.
“Di persidang putusan kemarin, seolah-olah handphone ini dipakai oleh Mardun untuk merekam. Ini sudah terbalik. Seharusnya alat perekam itu dijadikan alat bukti dan bukan handphone,”singkatnya.
Disinggung jika pihak jaksa akan ada upaya banding, Bathin mengatakan, pihaknya juga akan melakukan hal yang sama.
Pewarta : Lukman.