Gorontalo, mimoza.tv – Sehari setelah putusan majelis hakim dalam perkara pencemaran nama baik antara Adhan Dambea dan Rusli Habibie, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan banding atas putusan tersebut. Dan beberapa hari setelah JPU melayangkan banding, Adhan Dambea pun melakukan hal serupa.
Kepada wartawan ini Ketua TPHI AD, bathin Tomayahu menyampaikan kontra memori banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Gorontalo nomor : 61/PID.SUS/2022/PN.GTO tanggal 13 September 2022 Pasal 311 ayat 1 KUHP, bahwa keberatan JPU dalam perkara a quo terhadap putusan Majelis Hakim tingkat pertama terhadap tidak terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kombinasi kumulatif ke 1, yakni tentang Pasal 45 ayat 3 UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sangat tidak beralasan secara hukum.
“Pada fakta persidangan atas tuntutan JPU terhadap Pasal 45 ayat 3 UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sama sekali tidak dilakukan oleh terdakwa. Karena sebagaimana pertimbangan hukum Majelis Hakim didalam Putusan a quo maka kami tim penasehat hukum terdakwa sangat sependapat dengan pertimbangan dimaksud karena sudah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,” ucap Bathin.
Sebagaimana dalam fakta persidangan lanjut dia, baik keterangan dari Ronaldo Ali (wartawan), keterangan terdakwa dan keterangan saksi lainnya terungkap bahwa terdakwa pada saat adanya acara ulang tahun di Coffe Toffee, saksi Ronaldo Ali datang ditempat tersebut atas undangan melalui telfon dari Deno Djarai dan bukan atas inisiatif dari terdakwa. Selanjutnya menurut Ronaldo Ali setelah dia melihat terdakwa hadir juga diacara tersebut maka Ronaldo Ali mewawancarai terdakwa .
“Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama menyebutkan, yang bertanggung jawab atas perbuatan mentrasmisikan dan atau mendistribusikan, dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik adalah setiap orang yang dapat menggunakan elektronik. Karena hal ini berhubungan dengan UU ITE, maka yang bertanggung jawab adalah orang yang melakukan perbuatan yang berhubungan dengan penggunaan system informasi elektronik,” ujarnya.
Sehingga kata dia, titik berat penerapan dalam pasal a quo adalah pada perbuatan mendistribusikan dan atau menstrasmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang dilakukan secara langsung oleh setiap orang atau organisasi badan hukum.
Bahwa perbuatan terdakwa sebagai pemberi informasi kepada institusi pers yang selanjutnya di olah dan diberitakan itu merupakan cara kerja jurnalistik.
“Maka titik berat perbuatan yang membuat dapat diaksesnya informasi elektronik adalah kepada institusi pers dimana diberlakukan mekanisme sesuai dengan ketentutan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai Lex Spesialis dan bukan kepada terdakwa sebagai pemberi informasi,” ucap bathin.
Bathin mengatakan, dalam pertimbangan lainnya Majelis Hakim mempertimbangkan juga tentang hak imunitas karena terdakwa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo sebagaimana diatur dalam Pasal 122 ayat 1 UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana terdakwa juga menyuarakan hal tersebut karena demi kepentingan umum.
Dalam konta memori banding itu pihaknya menyampaikan, dalam putusannya Majelis Hakim mempertimbangkan tentang adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang menyebutkan bahwa terhadap adanya pengaduan atas delik penghinaan atau pencemaran nama baik UU ITE yang berhubungan dengan korupsi, maka yang didahulukan proses hukumnya adalah dugaan tindak pidana korupsinya, serta mempertimbangkan tentang lembaga DRPD dengan Gubernur berkedudukan sebagai mitra.
“Maka kalau ada anggota DPRD menyampaikan pendapat, evaluasi atau kontrol terhadap kinerja pemerintah daerah merupakan bagian dari fungsi kontrol check and balance. Sehingga tindakan terhadap evaluasi kinerja pemerintah merupakan tindakan yang wajib dilindungi oleh konstitusi sebagai hak konstitusional yaitu hak imunitas,” tutur Bathin.
Pertimbangan Majelis Hakim lainnya kata dia, berupa mempertimbangkan tentang adanya mekanisme yang harus ditempuh apabila seorang DPRD mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang merugikan. Badan Kehormatan DPR kata dia harus menegakkan kode etik bagi para anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran kode etik.
“Klien kami juga tidak melakukan perbuatan mendistribusikan dan atau menstrasmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik. Terdakwa hanya sebatas diwawancarai oleh wartawan Ronaldo Ali, yang kemudian sebagai seorang jurnalis, wartawannya menyediakannya dalam system elektronik sehingga hasil wawancara tersebut menjadi dokumen dan informasi elektronik,” urainya.
Meskipun demikian lanjut dia, fakta hukum dan fakta persidangan perkara a quo yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam putusannya, JPU masih tetap memaksakan kehendaknya tanpa dilandasi oleh fakta hukum dan fakta persidangan yang jelas, bertanggung jawab dan bermartabat. Sikap yang demikian itu menurutnya tidak mencerminkan rasa keadilan, mengabaikan kepastian hukum, dan mencerminkan arogansi dan kesewenangwenangan didalam penegakan hukum, serta terkesan tebang pilih dalam menegakkan hukum sehingga mengabaikan asas kemanfaatan hukum.
Keberatan JPU dalam perkara a quo terhadap Putusan Majelis Hakim tingkat pertama terhadap tidak terbuktinya Terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan ke 2 lebih subsidair yakni tentang pasal 310 ayat 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
“Terhadap keberatan JPU, kami selaku penasehat hukum terdakwa sependapat dengan Majelis Hakim karena sesuai fakta hukum dan fakta persidangan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 310 ayat 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP, dengan mengambil pertimbangan hukum sebagaimana dalam pertimbangan hukum dalam Pasal 45 ayat 3 UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga terhadap pertimbangan hukum ini kami tidak lagi menguraikannya lebih jauh akan tetapi mengambil seluruh pertimbangan hukum yang ada dalam unsur pasal 45 ayat 3 UU ITE dimaksud,” kata Bathin.
Keberatan TPHI AD selaku penasehat hukum Adhan Dambea atas memori banding yang diajukan oleh JPU adalah terhadap pembuktian unsur dalam pasal 310 ayat 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP, dimana JPU tetap memaksakan kehendaknya yang tidak sesuai dengan fakta hukum dan fakta persidangan.
Sebagaimana dalam pembelaan tertulis TPHI AD terdakwa sebelumnya, bahwa unsur pasal 310 ayat 1 KUHP yang dibuktikan oleh JPU dalam surat tuntutannya, maka unsur pasal dimaksud tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa terkait dengan adanya barang bukti yang diajukan oleh JPU dalam perkara a quo, yakni berupa sebuah handphone merk Samsung A6 No Imei 1:357931093514847, No Imei 2:357932093414845.
“Terbukti dipersidangan bahwa barang bukti tersebut tidak digunakan oleh saksi Mardun Sadue dalam melakukan perekaman pada saat terdakwa diwawancarai oleh sejumlah wartawan di Pengadilan Tipikor Gorontalo setelah Terdakwa menghadiri sidangnya Asri Banteng. Barang bukti yang dimaksud kami tolak. Karena barang bukti dimaksud tidak ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Barang bukti yang dihadirkan oleh JPU yang sebelumnya saksi korban mendengarkan hasil rekaman bukan dari alat rekaman yang langsung digunakan oleh saksi Mardun Sadue, sehingga terhadap barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini diragukan keabsahan dan kualitas suara hasil rekamannya,” tutup Bathin.
Pewarta : Lukman.