Oleh : Budhy Nurgianto
Satu waktu, seorang politisi senior bercerita didatangi sekelompok wartawan untuk kepentingan wawancara terkait aktivitasnya mencalonkan diri sebagai calon legislatif tingkat Provinsi pada pemilu 2024. Ia mengaku ditanyai banyak hal, dari bagaimana strateginya dalam memenangkan pemilihan hingga apa yang akan diperjuangkan jika terpilih sebagai anggota DPRD. Ia menjawab panjang lebar dengan percaya diri tinggi. Mulai visi-misi, program kerja, hingga gagasan untuk masyarakat jika terpilih.
Di akhir wawancara, Ia mengaku terkejut dengan aksi seorang wartawan yang menawarkan hasil wawancaranya untuk dijadikan sebagai berita advertorial yang tayang pada halaman depan surat kabar tempatnya bekerja. Tentu dengan harga cukup bersahabat dan kompetitif. Ia pun menyetujui tawaran sang wartawan.
“Kalau menolak, bisa tidak akan jadi lagi objek berita. Terpaksa terima sajalah. Kebetulan harganya juga tidak terlalu mahal,” ujar si politisi itu.
Cerita si politisi tersebut, mengingatkan saya tentang cerita maraknya praktik “jurnalisme prabayar” di setiap tahun politik tiba. Praktik jurnalisme ini seperti sudah menjamur dan lazim dilakukan. Tak sedikit perusahaan media, baik di tingkat nasional maupun lokal memanfaatkan benar momen politik-seperti pemilu dan pemilihan kepala daerah- untuk mendulang pendapatan sebanyak mungkin. Tentu dengan “topeng” kerja-kerja jurnalistik dan menggunakan ruang redaksi sebagai mesin pendulang. Membangun kesepakatan jangka pendek dengan pimpinan partai politik ataupun elit politik lokal. Guna membangun opini publik yang lebih positif. Praktik tersebut seperti menjadi keuntungan dan berkah tersendiri bagi media.
Konsep prabayar sendiri adalah metode pembayaran dengan mekanisme membayar di awal sebelum mendapatkan manfaat atas suatu barang atau jasa. Dalam perspektif jurnalisme, pendekatan praktik jurnalisme prabayar merupakan konsep pembayaran atas berita yang dibuat.
Di Indonesia sendiri, praktek ini dapat dengan mudah dilihat di setiap musim pemilu tiba. Akan banyak berita prabayar yang muncul di halaman media. Biasanya berita yang muncul banyak menampilkan soal kebaikan, kepedulian sosial, dan kepribadian sosok tokoh politik tertentu.
Secara teoritis, praktik jurnalisme ini dikenal sebagai kegiatan “pencari iklan” atau disebut native advertising yaitu istilah yang merujuk pada pola penulisan di media yang membuat iklan terasa sebagai berita. Meski tidak bisa dikatakan sebagai produk pers atau karya jurnalistik, namun praktek ini kerap dilakukan ruang redaksi. Perusahaan media menjadikan praktek ini menjadi salah satu alat mendulang keuntungan.
Di Amerika Serikat, produk dari praktik jurnalisme prabayar ini dikenal sebagai konten bersponsor yang bermanifestasi sebagai video, artikel atau editorial berita. Iklan ditulis dan dirancang seolah-olah seperti berita nyata yang dibuat oleh orang-orang di dalam ruangan publikasi berita. Tujuannya tentu adalah mengecoh pembaca dengan konten yang seolah-olah berita tapi sesungguhnya iklan. Dalam banyak hal, laporan yang dihasilkan dari praktek ini kerap tidak memiliki byline, sehingga kebanyakan orang tidak menyadari bahwa iklan dapat dibuat oleh ruang redaksi.
Karena sifatnya komersial, produk dari praktek ini sudah tentu kerap mengabaikan prinsib-prinsib jurnalisme yang sebenarnya, seperti ketat verifikasi, menjaga aspek keberimbangan dan patuh pada kode etik jurnalistik. Produk jurnalisme prabayar lebih banyak bermain pada aspek pendapatan ketimbang kualitas jurnalistik. Dengan kata lain semangat utamanya adalah “cuan”, semakin banyak “berita beriklan” yang didapat, semakin banyak pendapatan yang akan didapat, itu semakin baik dan sehat bagi media.
Pada musim politik seperti pemilu saat ini, kue iklan yang besar akan sangat menggoda banyak perusahaan media untuk menggunakan standar ganda dalam ruang redaksinya, terutama dalam menghasilkan iklan berkedok berita. Pendekatan pendapatan mendorong ruang redaksi bekerja secara sembunyi-sembunyi dan terkadang bertentangan dengan misi pers seperti bekerja untuk kepentingan publik, serta mengabaikan kualitas liputan berita yang ditempatkan di depan pembaca. Media akan lebih banyak, menampilkan berita yang berhubungan dengan aktivitas elit politik ataupun partai politik.
Akibatnya tak jarang, berita beriklan yang dihasilkan banyak media di musim politik pelan-pelan mulai mengurangi kredibilitas ruang redaksi di mata publik. Ketidakpercayaan publik pada produk jurnalistik yang dihasilkan mulai mengerus integritas institusi media. Publik memandang salah satu elemen jurnalisme seperti loyalitas jurnalisme kepada warga (citizens) hanyalah tagline yang tidak berlaku di tahun politik. Ruang redaksi dan jurnalisnya hanya bisa memanfaatkan betul momen politik untuk mengumpulkan berita beriklan dan mendahulukan kepentingan ekonomi perusahaan.
Gallup dan Knight, seorang jurnalis Amerika Serikat pernah melacak penurunan kepercayaan pada media akibat dari agenda politik yang dimainkan dalam bentuk berita. Temuannya mencatat banyak orang yang mulai tidak percaya pada berita yang berhubungan dengan politik melampaui orang yang tidak percaya pada media berita. Laporan American Views tahu 2020 bahkan menunjukkan orang di Amerika Serikat saat ini saja sudah mulai “sangat prihatin” tentang meningkatnya bias politik dalam liputan berita. Persepsi perusahaan media “mendorong suatu agenda politik” kelompok tertentu sangatlah besar.
Meski di Indonesia, menurut Edelman Trust Barometer Global Report 2022, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media masih relatif baik dan tergolong tinggi, namun suburnya praktik jurnalisme prabayar di tahun politik, bukan tidak mungkin bisa menjadi satu penyebab publik makin tidak percaya pada media. Akan semakin meragukan produk berita yang dihasilkan ruang redaksi.
Kondisi inilah yang seharusnya menjadi peringatan dini bagi lembaga pers kita. Di tahun politik 2024 ini, media diharapkan bisa lebih banyak memproduksi berita atau informasi yang berimbang, akurat, serta tervalidasi ketimbang menghasilkan berita beriklan yang banyak menampilkan elit politik. Tidak menggunakan ruang redaksi menjadi mesin pendulang cuan, memisahkan fungsi wartawan dengan pencari iklan, dan membuat garis api yang ketat antara ruang redaksi dengan divisi periklanan.
Dengan beragamnya sudut pandang media dalam mengelolah suatu isu, praktik jurnalisme prabayar di tahun politik seharusnya tak menjadi aktivitas yang dilakukan ruang redaksi secara sembunyi-sembunyi. Media bisa mendorong praktik jurnalisme yang lebih bermutu dengan mengedepan kepentingan publik diatas kepentingan politik. Berperan meningkatkan kualitas demokrasi yang kita tahu sangat bergantung pada pers independen yang memberi tahu warga negaranya dengan informasi yang akurat, tanpa ada bias kepentingan politik tertentu.
Bisnis pers yang berbasis “kepercayaan publik”, harus dijadikan dasar semua perusahaan media untuk tidak mencampuradukkan fungsi kewartawanan dengan divisi pencari iklan. Meletakkan pondasi kepentingan publik sebagai pondasi utama. Pers harus kredibel dan menjamin loyalitas audiensnya. Meski kepentingan politik, dan ekonomi media sesuatu hal yang tidak bisa dielakkan, namun perusahaan pers tidak sepatutnya juga ikut menyuburkan praktik jurnalisme prabayar dan mengkomersialisasikan media (too commercialized) secara berlebihan yaitu mengutamakan keuntungan daripada memenuhi standar kualitas yang benar. Intinya semua platform media penting agar bisa mentaati prinsip netralitas penyiaran, bersikap independen, menghasilkan berita yang berimbang serta memberikan contoh kepada publik praktik jurnalisme yang profesional dan beretika.
—
*Penulis adalah Member of the Alliance of Independent Journalists (AJI) Indonesia.