Oleh : Budi Nurgianto/Jurnalis, Pemerhati Sosial
Pada satu kesempatan di sela-sela kegiatan ToT Cakap Digital yang diselenggarakan Universitas Negeri Gorontalo (UNG), seorang mahasiswa jurusan komunikasi bertanya pada saya mengapa hoaks sangat berbahaya? Apa yang menyebabkan hoaks bisa tumbuh subur di Indonesia? dan mengapa banyak masyarakat yang mudah termakan hoaks?
Pertanyaan yang disampaikan seorang mahasiswa itu mengingatkan saya pada tiga cerita hoaks yang sempat menggemparkan dunia dan menjadi perbincangan di jagat maya.
Di beberapa negara cerita hoaks yang menyebar di publik itu bahkan menimbulkan kecemasan, kepanikan dan sesama warga saling curiga hingga berakhir pada aksi kekerasan.
Pada 07 Juli 2019, cerita Audrey Yu -warga Indonesia yang bekerja di NASA- ditolak masuk menjadi anggota TNI viral dan ramai menjadi perbincangan di jagat maya. Beberapa media nasional di Jakarta sampai ikut-ikutan menyebarkan informasi tentang kejeniusan si Audrey lebih dari sepekan. Beberapa diantaranya menjadikan berita utama.
Puncaknya, saat presiden Jokowi dikabarkan bertemu Audrey Yu disela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G-20) yang dilaksanakan di Jepang pada 28-29 Juni 2019, dan menawarkan dia untuk masuk menjadi peneliti pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau menjadi salah satu calon menteri dari kalangan milenial.
Linimasa di Indonesia langsung riuh. Ada yang percaya, memuji, dan mengagumi sosok Audrey, tapi tak sedikit pula yang curiga.
Belakang, setelah ditelusuri para pemeriksa fakta, informasi tentang Audrey Yu tidaklah benar atau merupakan informasi palsu. Audrey Yu diketahui tidak bekerja di NASA dan tidak pula bertemu presiden Jokowi saat KTT G20, apalagi ditawari kerja di BPPT atau calon menteri. Namun Informasi itu sudah kadung menyebar dan membuat sesama warga negara Indonesia saling caci linimassa.
Di Amerika Serikat, sebuah video tentang dahsyatnya wabah Covid-19 juga ramai jadi perbincangan di sosial media. Video yang memperlihatkan puluhan mayat berserakan di Brooklyn diklaim membuat komunitas Arab di Amerika Serikat kewalahan memakamkannya. Akibatnya mayat-mayat itu diletakkan begitu saja di ruang kantor dan menunggu antri untuk dimakamkan.
Alhasil, video itu membuat panik warga satu kota dan berhamburan menuju pusat perbelanjaan memborong semua kebutuhan makanan. Dalam waktu tak kurang dari tiga jam, semua kebutuhan makanan habis dibeli. Bahkan kebutuhan yang tidak dibutuhkan pun ikut dibeli. Informasi itu membuat masyarakat melakukan aksi panic buying. Belakangan informasi tersebut juga diketahui palsu dan tidak benar.
Di Srilanka, Informasi seorang pria beragama buddha sengaja menabrak seorang perempuan muslim hingga tewas ramai beredar di sosial media. Informasi itu lalu memunculkan pesan berantai yang beredar melalui aplikasi pengiriman pesan jika umat muslim akan menyerang kuil buddha sebagai bentuk balasan. Pesan berantai itu lalu memicu aksi kekerasan antar umat beragama di Srilanka. Beberapa kota di negara itu dilaporkan bereaksi akibat informasi tersebut dan berakhir pada aksi kekerasan. Belakangan informasi terkait insiden itu lagi-lagi merupakan kabar bohong dan palsu.
Tiga peristiwa diatas, sudah cukup memberikan gambaran pada kita, bahwa hoaks atau kabar bohong yang menyebar di tengah masyarakat sesungguhnya memiliki daya rusak tinggi dan sangat berbahaya.
Hasutan hoaks membuat umat manusia bisa saling membenci, merusak nilai sosial di tengah masyarakat dan bahkan menyebabkan saling curiga.
Kekuatan hoaks benar-benar menyebabkan guncangan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Membuat persepsi dengan tujuan untuk saling memecah belah. Menciptakan kebingungan, melubangi kebenaran,bmenimbulkan semacam efek rumah yang menyenangkan (fun-house effect) sehingga membuat masyarakat meragukan segalanya, termasuk berita nyata.
Masyarakat lalu mudah percaya terhadap informasi yang diterima meski informasi tersebut belum tentu benar. Studi di University of California San Francisco menemukan, mengkonsumsi hoaks secara terus menerus bahkan dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan mental masyarakat, seperti Post-Traumatic Stress Syndrome (PTSD), menimbulkan kecemasan, sehingga melakukan tindakan kekerasan.
Lebih buruknya lagi hoaks dapat memicu tindakan yang berakhir pada kematian dan menjadi penyakit yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan orang. Secara konseptual, hoaks sendiri dikenal sebagai sebuah informasi yang belum pasti kebenarannya atau lebih banyak memiliki unsur kebohongan. Dibangun berdasarkan fenomena yang belum terlacak dan menyesatkan.
Jika didefinisikan secara sempit, hoaks diartikan sebagai informasi yang dibuat-buat dengan tujuan untuk menipu atau sering kali ditujukan untuk menimbulkan kecemasan.
Biasanya penyebarannya dilakukan secara terstruktur dan diperkuat oleh teknologi terstruktur dan diperkuat oleh teknologi otomatis, dan didukung oleh sumber daya yang baik.
Dalam buku berjudul Jurnalisme “Fake News” & Disinformation” yang diterbitkan UNESCO ada dua jenis hoaks yang umum terjadi di masyarakat dan perlu untuk diwaspadai, yaitu disinformasi yang merupakan upaya disengaja dan teratur untukbmemanipulasi dan membingungkan orang dengan menyebarkan informasi palsu dan misinformasi yang diketahui sebagai informasi yang menyesatkan dan disebarkan secara tidak sengaja tanpa ada manipulasi tersembunyi, manipulatif atau niat jahat.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi, ada puluhan ribu konten atau informasi yang mengandung hoaks menyebar di masyarakat.
Sebuah riset bahkan menunjukan 30-60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya setiap harinya. Hanya 21-36 persen yang mampu mengenali hoaks.
Hingga Mei 2023 misalnya, sedikitnya ada 11.642 konten yang mengandung berita bohong ditemukan menyebar di masyarakat.
Kementerian Kominfo bahkan mendapati 11 siaran streaming TV yang mengandung muatan radikal dan 86 URL atau situs web yang ditengarai memproduksi hoaks.
Dengan kondisi itu, satu-satunya jalan yang harus dilakukanvuntuk menangkal hoaks, adalah dengan meningkatkan kemampuan literasi digital pada masyarakat. Kemampuan literasi menjadi modal dasar untuk menjamin masyarakat hidup lebih baik.
Dengan kemampuan membaca, menulis serta mengolah sumber informasi secara baik dan bertanggung jawab, maka masyarakat akan mempunyai wawasan yang lebih luas, membantu mereka untuk aktif berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang lebih toleran dan menghargai berbagai perbedaan.
Kemampuan literasi digital akan memberikan kontrol lebih pada khalayak dalam memaknai pesan yang berlalu-lalang di media digital. Kebutuhan literasi digital ini melibatkan kompetensi teknologi, kognitif, dan sosial dalam menghadapi perubahan teknologi digital.
Pengguna atau masyarakat harus terliterasi digital agar bisa menguasai tantangan sosiologis, kognitif, dan pedagogis akibat meningkatnya penetrasi internet, yang menurut James Porter dapat memberikan kesadaran kritis ketika berhadapan dengan informasi di media sosial.
Dengan adanya literasi digital maka masyarakat dapat memproduksi pesan atau informasi serta mampu selektif dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Apalagi berdasarkan sebuah penelitian, intervensi semacam itu dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membedakan antara berita utama dan berita palsu.
Secara konseptual, ada beberapa cara dalam meningkatkan literasi digital pada masyarakat seperti dengan mulai mengajarkan masyarakat untuk berpikir kritis terutama kritis atas informasi yang diterima dan mengajari kemampuan menguasai finding Information yaitu keterampilan dalam menganalisa sebuah informasi di internet sehingga dapat memilah secara akurat dan mengevaluasi informasi yang diterima ataupun disebarkan melalui platform digital.
Skill ini menitikberatkan pada penguasaan komunikasi, kesadaran sosial dan pengetahuan tentang pembuatan informasi di lingkungan digital. Masyarakat juga perlu diberikan pemahaman terkait digital culture terutama bagaimana memahami keberadaan internet dan pengaruhnya. Dengan memahami digital culture, masyarakat akan dapat lebih bijak melakukan sesuatu di dunia digital. Serta pemahaman akan soal keamanan saat mengakses Internet terutama untuk mendeteksi potensi-potensi yang bisa membahayakan diri.
Pada titik inilah, mengapa langkah penguatan dan kemampuan literasi digital menjadi penting dilakukan dan sudah sepantasnya menjadi program panjang negara.
Dampak hoaks yang tidak hanya merusak tatanan sosial kemasyarakatan, namun juga memiliki implikasi nyata terhadap kebijakan publik. Melatih dan mendorong masyarakat untuk berpikir lebih kritis adalah cara cerdas menangkal hoaks. Kita perlu melakukan itu. (***)