Gorontalo, mimoza.tv – Dr. Apriyanto Nusa selaku saksi ahli dalam sidang kasus kepemilikan Narkoba dengan terdakwa Risman Taha mengatakan, ada perbedaan antara penerapan Pasal 114 dan Pasal 127, yakni terletak pada subjective onrecht element. Apakah narkoba itu digunakan untuk komersial, mendapatkan keuntungan, atau digunakan untuk diri sendiri.
Menurut Aprianto, jika kepemilikan Narkoba itu digunakan oleh Risman sendiri, maka sebenarnya tidak perlu malu-malu untuk menerapkan Pasal 127.
“Sebenarnya ada kelalaian negara dalam hal merumuskan Pasal 114. Membeli disitu sebenarnya harus dipahami secara kontekstual . Sebenarnya secara tekstual, tidak tertulis membeli. Sehingga dipahami, ketika di beli untuk diri sendiri pun membeli,” ucap Apriyanto diwawancarai usai persidangan di pengadilan Negeri Gorontalo, Senin (23/10/2023).
Lanjut dia, padahal sebenarnya membeli di situ harus dihubungkan dengan tujuan untuk diperdagangkan sehingga mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
“Bukan membeli untuk diri sendiri. Kalau membeli untuk diri sendiri, berarti penyalahguna di Pasal 127. Ini sebenarnya rumusan yang tidak selesai. Akhirnya dalam praktek terjadi kesalahan dalam penegakan hukum. Orang yang membeli untuk diri sendiri, dipasang dengan Pasal 114 karena memang itu dianggap unsur yang berdiri sendiri,” ujarnya.
Dosen hukum di salah satu perguruan tinggi swasta di Gorontalo ini juga menjelaskan soal ada persamaan pandangan antara majelis hakim dengan dirinya terkait dengan adanya pemufakatan jahat, sementara terdakwa Risman hanya membeli untuk diri sendiri. Menurut Apriyanto, terkait dengan pemufakatan jahat itu merupakan hal yang aneh dalam perumusan Undang-Undang Narkotikan di Indonesia.
Pemufakatan di Pasal 132 itu penjelasannya diatur dalam ketentuan umum. Sementara percobaannya, sebagai paralelnya itu diatur dalam penjelasan pasal . Pemufakatan itu dalam ketentuan umum harus ada persekongkolan antara dua orang atau lebih. Sehingga beban pertanggungjawabannya itu tetap dianggap sebagai perbuatan yang selesai.
“Dari Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, sampai seterusnya itu dianggap selesai. Pasal ini sebenarnya untuk Bandar Narkoba. Kesalahannya ini karena perumusan normanya. Disitu disebutkan, membeli, menjual. Membeli itu dianggap berdiri sendiri. Sehingga membeli untuk diri sendiri pun dianggap membeli dalam Pasal 114,” tegasnya.
“Pasal 112 ddan 114 itu tidak tepat. Karena konteks perbuatan itu bukan tujuan komersil. Pasal 127 pun kalau dipaksakan dalam putusan nanti, maka sebenarnya itu tidak tepat. Pasal 127 itu kalau dihubungkan dengan Pasal 103 yang dikongkritkan wujud perbuatannya di Sema tahun 2010, salah satunya, hasil tesnya positif dan tertangkap tangan. Faktanya, yang saya dengar bahwa Risman itu hasil tesnya negatif. Berarti tidak bisa diterapkan juga dengan Pasal 127,” tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, Adhan Dambea menyoroti soal jaksa penuntut umun (JPU) yang sering berganti setiap persidangan. Menurutnya, dengan sering gonta ganti itu bisa berakibat dalam penilaian.
“Ini gambaran bahwa sidang ini basa-basi. Mereka berpegang pada dakwaan. Saya kira dalam sidang ini ada perkembangan perkara. Kita harapkan jaksa juga harus menghargai pendapat para saksi, dan menjadi bahan pertimbangan dalam mementukan tuntutan. Muda-mudahan majelis putus dengan seringan-ringannya dan seadil-adilnya,” pungkas Adhan.
Penulis : Lukman.