Gorontalo, mimoza.tv – Menanggapi pemberitaan yang mengangkat isu pentingnya tidak memilih pemimpin dengan latar belakang mantan napi korupsi, Sulaiman Abas, warga Bulango Utara, mengimbau agar para pendukung calon kepala daerah di Gorontalo tidak bereaksi berlebihan atau “baperan” (bawa perasaan).
Menurut Sulaiman, dinamika pemberitaan ini adalah hal yang wajar dan seharusnya dilihat sebagai refleksi dari realitas, bukan sekadar isu. “Itu bagian dari dinamika. Apalagi, ini bukan hanya isu semata, melainkan kenyataan yang sudah terjadi,” ujar Sulaiman dalam wawancara pada Ahad (6-10-2024).
Sulaiman, yang kini tengah menyelesaikan studi S3 di bidang hukum di Jakarta, menjelaskan bahwa selain menjalani sanksi hukum, mantan napi korupsi biasanya menghadapi sanksi sosial dari masyarakat.
“Sanksi sosial adalah reaksi atau hukuman dari masyarakat kepada mereka yang melanggar norma, termasuk korupsi. Sifatnya informal dan diberikan langsung oleh lingkungan sekitar. Jadi, tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap pemberitaan itu,” kata Sulaiman.
Sulaiman menjelaskan bahwa sanksi sosial ini dapat berupa pengucilan, hilangnya rasa hormat, serta kepercayaan dari masyarakat.
“Saya pikir bukan hanya di Gorontalo, di daerah lain juga begitu. Mantan koruptor seringkali dijauhi atau ditolak dalam pergaulan sosial dan profesional, karena dianggap tidak berintegritas,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa mantan koruptor kerap menjadi bahan pembicaraan negatif, baik secara langsung maupun melalui media sosial. “Mereka sering dihujat atau dikritik secara terbuka sebagai bentuk ketidaksukaan masyarakat atas perbuatan mereka. Bahkan dalam kegiatan ekonomi pun, sulit bagi mereka mendapat dukungan bisnis karena reputasi yang buruk,” katanya.
Zainal Kasim, warga Tilongkabila mengungkapkan hal yang sama. Ia menilai, sanksi sosial kepada koruptor memiliki tujuan untuk memberikan efek jera dan menyadarkan pelaku akan kesalahannya, sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran serupa.
Penulis: Lukman.